IMPIAN PBSI mewujudkan Pusat Pengembangan Bulu Tangkis Indonesia akhirnya menjadi kenyataan. Sebuah kompleks lengkap di areal seluas 36.500 meter persegi di Desa Cipayung, Pasar Rebo, Jakarta Timur, akan diresmikan Presiden Soeharto Senin pekan depan. Kompleks ini memiliki ruang utama seluas 5.100 meter persegi, berisi 21 lapangan yang dilengkapi 70 lampu masing-masing berkekuatan 1.000 watt. Di situ ada pula fasilitas penunjang: ruang video/komputer untuk menganalisa tipe permainan, ruang physical fitness, dan perpustakaan. Ada pula bak khusus berisi pasir laut untuk latihan footwork dan arena joging. Di depan gedung utama tadi ada asrama atlet seluas 2.000 meter persegi yang bisa menampung 100 atlet. Tak jauh dari situ ada ruang serba guna dan ruang makan berkapasitas 200 orang. Asrama sudah diisi dengan peralatan lengkap. "Pokoknya, pemain tinggal datang saja, semua sudah tersedia," kata Justian Suhandinata, pimpinan projek pusat bulu tangkis ini. Biaya pembangunan projek itu Rp 8 milyar. Inilah sarana bulu tangkis terlengkap di Asia. Cina memang mempunyai gedung dengan 20 lapangan, tapi sarana penunjang, seperti komputer pengolah data dan penganalisa tipe permainan, tak mereka punyai. "Pusat pengembangan ini tidak hanya paling besar, tapi juga safeable untuk masa depan bulu tangkis kita," kata M.F. Siregar, ketua bidang pembinaan PBSI. Yang sekarang dibutuhkan, kata Siregar, pengelolaan yang profesional, pelatih yang tangguh, dan program yang memadai. Munculnya pusat pengembangan ini berawal pada Munas PBSI di Manado akhir tahun 1989. Waktu itu Justian melontarkan ide kepada Try Sutrisno, Ketua Umum PBSI. "Saya bilang, kalau kita ingin mengejar prestasi yang saat itu masih pasang-surut, perlu ada sarana," cerita Justian, wakil ketua PBSI. Sarana itu untuk mendukung regenerasi yang sistematis. Tanpa itu jangan harap Indonesia bisa merajai bulu tangkis secara langgeng. Contoh sudah banyak. Amerika, misalnya, yang tiga kali menjuarai Uber Cup di tahun 1950-an, rontok gara-gara tak ada regenerasi. Juga Malaysia, Jepang, dan Cina. Setelah sukses di Barcelona, "Kalau bisa, kita memborong tiga emas di Olimpiade Atlanta," kata Justian kepada Ruba'i Kadir dari TEMPO. Try Sutrisno menyambut ide itu. Adalah Justian yang ditunjuk sebagai pimpinan projek. Rencana pun dimatangkan. Masalah dana tampaknya bukan hambatan. Seorang pengusaha, yang tak mau disebut namanya, dengan sukarela menyerahkan tanahnya di Desa Cipayung. Dana mengalir dari donatur, sponsor, dan Menpora -- yang terakhir ini sumbernya SDSB. Setelah sarana ini berdiri, pengembangan lanjutan sudah diprogram. Di akhir tahun 1993, misalnya, di kompleks itu akan didirikan lagi gedung berlantai empat untuk pusat pendidikan kepelatihan, yang dianggarkan dengan dana Rp 4,5 milyar. "Selama ini kita mengambil pelatih hanya dari sarjana IKIP. Nantinya kita mencari pelatih yang berlatar belakang olah raga bulu tangkis," kata Justian. Sarana penunjang tadi juga menjadi alat penganalisa tipe permainan, baik tipe bangsa sendiri maupun pemain luar. Dari situ ditentukan, apa metode paling ampuh mendukung perkembangan bulutangkis kita. "Gedung ini semacam pusdiklat plus. Diorientasikan bukan saja pada olahragawan dan pelatih, juga ipteknya," kata Siregar kepada M.D. Adjie dari TEMPO. Nantinya, kata Siregar, pusat pengembangan ini bukan hanya monopoli PBSI. Artinya, tidak terbatas untuk kegiatan ilmu bulutangkis semata-mata, juga untuk ilmu olah raga lainnya. Ilmu bulutangkis itu sendiri sudah diantisipasi sampai tahun 2000-an. Apakah dengan semua sarana canggih ini berarti kita bisa mencetak pemain andal lebih cepat? "Bisa," kata Siregar pasti. Cuma, berapa lama pemendekannya, itu relatif, tergantung si pemain sendiri. Secara pukul rata, untuk mencetak pemain top dibutuhkan waktu 8-10 tahun. Mungkin bisa lebih cepat, mengingat semakin hari usia olahragawan mencapai puncak semakin cepat. "Karena apa? Karena kecanggihan metode latihan," katanya. Segi positif lain dari kompleks ini adalah kontrol atas atlet lebih mudah. Asrama yang menyatu juga menciptakan kondisi untuk lebih disiplin. Yang pokok lagi, pemain pelatnas utama dan pratama bisa disinkronkan programnya, dan lebih efisien. "Antara sesama pemain, karena sering melihat permainan, bisa saling meniru," kata Siregar. Selama ini gap pemain junior dan senior yang mencolok antara lain disebabkan asrama yang berserakan dan tak bisa latihan bersama. Tapi Siregar tak sependapat jika dikatakan prestasi junior-senior mencolok. Ia justru melihat dalam dua bulan terakhir pasca-olimpiade ini telah tampak pergeseran- pergeseran. Nama-nama pemain muda, Heryanto Arbi, Ricky, Rexy, Yuni Kartika, dan lain-lain sudah mulai berbunyi di arena internasional. Jadi bukan hanya mengandalkan Susi, Ardy, Alan, atau Hermawan. "Sekarang ini memang periode peralihan," kata Siregar. Setelah itu, di akhir tahun 1993, sudah bisa ketahuan nama-nama anggota tim yang dipersiapkan ke Olimpiade Atlanta tahun 1996. Kini pusat pengembangan bulu tangkis sudah terwujud. Tapi PBSI tak menjanjikan yang muluk-muluk. "Semua tergantung kepada software-nya, manusianya," kata Siregar. Widi Yarmanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini