SETELAH ditunda beberapa kali, Pemerintah akhirnya menepati janji yang pernah diucapkannya sejak setahun lalu. Bertepatan dengan hari ulang tahun ke-46 Departemen Keuangan, Jumat pekan lalu, Menteri Keuangan J.B. Sumarlin mengumumkan empat peraturan baru yang ditunggu-tunggu para praktisi bisnis. Keempat peraturan tersebut menyangkut bisnis perbankan dan asuransi. Dari peraturan yang baru itu (PP Nomor 70), penting sekali ketentuan yang menetapkan bahwa modal disetor untuk bank umum dinaikkan dari Rp 10 milyar menjadi Rp 50 milyar. Sedangkan untuk bank campuran, modal disetornya naik dari Rp 50 milyar menjadi Rp 100 milyar. Dan adalah menarik, persyaratan modal untuk bank perkreditan rakyat (BPR) tetap Rp 50 juta. Bahkan, dengan PP Nomor 71, ruang gerak BPR diperlebar, dengan izin beroperasi di perkotaan atau kabupaten (sebelumnya dilarang). Perangkat lain adalah aturan merger. Bank umum swasta nasional, bank pemerintah, dan BPR, kalau perlu boleh melakukan merger. Syaratnya, harus seizin Menteri Keuangan, dan aktiva hasil merger tak boleh melebihi 20% dari jumlah aktiva semua bank umum yang ada di Indonesia. Mengenai pemilikan saham bank, investor asing kini diperbolehkan membeli saham bank-bank yang masuk bursa (go pub lic), asal tidak melebihi 49% dari saham yang terdaftar di bursa. "Seharusnya, peraturan tentang bolehnya investor asing membeli saham bank ini sudah lama diturunkan," komentar pakar ekonomi Sjahrir. Namun, langkah ini pun tidak terlalu terlambat. Transaksi di Bursa Efek Jakarta, Jumat pekan lalu menunjukkan, perdagangan saham bank mencapai 43% dari total transaksi saham. Ada 3,4 juta lembar saham bank yang pindah tangan dengan nilai Rp 11 milyar. Ini menunjukkan bahwa "penciuman" para investor -- tentang akan turunnya peraturan yang membolehkan asing membeli -- cukup tajam. Tapi hal itu tidak menjamin bahwa saham bank akan menjadi rebutan. "Saya kira tidak akan sedramatis itu," kata Rizal Ramli, dosen UI yang juga pengamat ekonomi. Soalnya, investor asing juga tidak akan main tabrak. "Mereka akan membeli saham bank yang risikonya kecil tapi returnnya tinggi," Rizal menambahkan. Sjahrir juga berpendapat sama. "Tergantung banknya. Apa saham Bank Duta bakal dicari orang?" ia balik bertanya. Benar juga. Saham Paninbank, saham Lippobank, dan Bank Bali memang laku keras. Tapi saham Tamara Bank, Bank Niaga, dan Bank Surya tidak mengalami transaksi sama sekali. Lantas bagaimana nasib saham bank pemerintah kelak? Bukankah PP yang baru ini juga mengisyaratkan bahwa bank pemerintah boleh menjual 49% sahamnya? Bahkan ada yang membisikkan, Bank BNI sudah mengambil ancang-ancang untuk terjun ke bursa (sekitar akhir 1994). Tentang ini, seorang pengamat pasar modal menyatakan, di bursa tak pilih bulu. Sekalipun yang dijual saham bank pemerintah, kalau kinerjanya jelek, tetap tidak akan dilirik orang. "Siapa sih yang mau membeli saham BRI, BBD, dan BDN, yang kredit macetnya segitu gede? Kecuali saham BNI dan Bank Exim. Itu sih oke," kata seorang investor asing, blak-blakan. Apa pun komentar orang, secara garis besar dapat dikatakan bahwa melalui paket peraturan 30 Oktober 1992, Pemerintah akhirnya melakukan koreksi terhadap Paket Oktober 1988 (Pakto 88), sekaligus melengkapi paket deregulasi itu. Seperti diketahui, sejak Pakto 88, bank tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Jumlahnya menjadi dua kali lipat (sekitar 200). Mungkin karena persyaratan Pakto tergolong mudah, dan mungkin juga karena kurang prudent, bank-bank baru tersebut tidak semuanya sehat. Beberapa bank malah tumbang, walaupun belum mati. Itulah sebabnya, menurut Sjahrir, syarat permodalan bank umum dinaikkan. Sumarlin sendiri mengatakan, peraturan yang baru dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan kesehatan bank. Yang dipersoalkan kini, apakah peraturan permodalan yang baru tersebut berlaku juga bagi bank yang sudah berdiri. Kalau dikenakan terhadap mereka, pasti akan menimbulkan gejolak. Bukan rahasia, banyak bank yang kemampuan modal disetornya di bawah Rp 50 milyar. Jadi, kuat dugaan, persyaratan modal disetor Rp 50 milyar hanya berlaku bagi bank baru. Tak jelas bagaimana komentar para bankir tentang itu. Hanya terkesan kuat, Pemerintah selain berusaha membatasi jumlah bank, juga secara tak langsung ingin menjaga keselamatan nasabah bank. Bahkan juga keselamatan nasabah perusahaan asuransi. Bukankah ramai diberitakan, banyak perusahaan asuransi swasta nasional yang sempoyongan karena tersaingi asuransi asing yang beroperasi secara "gerilya". "Perusahaan asuransi sedang kacau, banyak broker hancur," ujar Sjahrir. Untuk melindungi pemegang polis asuransi, pemerintah menurunkan PP Nomor 73. Di situ ditetapkan bahwa perusahaan asuransi (tergantung jenis usahanya) diharuskan memiliki modal disetor Rp 2 milyar sampai Rp 10 milyar. Sedangkan pialang asuransi, cukup Rp 500 juta saja. Juga tak kalah penting adalah laporan keuangan perusahaan asuransi. Kini, neraca dan perhitungan labarugi perusahaan asuransi dan pialangnya harus dibuat tepat waktu. Jika tidak, sanksinya Rp 1 juta untuk setiap hari keterlambatan. Sedangkan denda bagi pialang adalah Rp 500 ribu per hari keterlambatan. Tapi sampai kini tidak ada penalti terhadap sektor perbankan. Padahal bank, sebagai lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat, juga dihadang risiko yang sama besarnya. Tapi sering terjadi, laporan keuangan bank yang sedang kelimpungan selalu ditutup-tutupi. Sampai kapan? Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini