DANA boleh seret, pesta jalan terus. Rabu pekan silam, LBH (Lembaga Bantuan Hukum) merayakan ulang tahunnya yang kedua. Perhelatan berlangsung cukup ramai. Tampak hadir, ketua Serikat Buruh Merdeka H.J. Princen, dan Ketua Ikadin Harjono Tjitrosoebono, di antara ratusan undangan lainnya. LBH kini bukan cuma sibuk memberi bantuan hukum pada masyarakat, tetapi juga repot mencari dana. "Kami memang masih berupaya terus mencari dana," kata Ketua YLBHI Abdul Hakim Garuda Nusantara. Sejak Pemerintah memutuskan menolak bantuan pemerintah Belanda Maret lalu, LBH praktis kehilangan donatur. Maklum, 90 persen anggaran LBH berasal dari NOVIB (Nederlandse Organisatie voor Internationale Bijstand), lembaga swadaya masyarakat (LSM) Belanda yang memperoleh dana dari Departemen Kerja Sama Pembangunan Belanda. "Untuk tahun 1992 kami masih menggunakan dana NOVIB yang sudah diberikan. Dan untuk selanjutnya, komposisi bantuan NOVIB dalam anggaran LBH akan turun menjadi 50 persen karena kami tak bisa menerima dana NOVIB yang berasal dari pemerintah Belanda," kata Abdul Hakim. Menurut Herman Abels, manajer NOVIB untuk Thailand, Malaysia, dan Indonesia, dana NOVIB yang diberikan kepada LBH nanti adalah dana sumbangan masyarakat Belanda. "Kan sumbangan masyarakat Belanda tidak dilarang," katanya. Selain itu, LBH juga sudah mendapatkan dana dari National Endowment Fund for Democracy, sebuah LSM Amerika yang dibentuk Kongres AS. "Kami juga sedang menjajaki beberapa LSM di Jerman dan Skandinavia," tutur Abdul Hakim. Adapun usahanya untuk mencari dana dari beberapa LSM asing yang beroperasi di Jakarta, menurut Abdul Hakim, mengalami kesulitan. "Karena itu, saya berharap pada lembaga baru yang sedang dibentuk, bernama Dana Mitra Hukum. Lembaga ini akan bertugas mencari dana untuk operasi lembaga-lembaga bantuan hukum seperti LBH," kata Abdul Hakim. Karena kehilangan donatur, menurut Abdul Hakim, LBH terpaksa melakukan penyesuaian. "Staf dan pengacara LBH di 10 cabang dikurangi. Kontrak pengacara muda tidak diperpanjang. Yang terlibat kini bersifat sukarela, artinya akan dipanggil kalau dibutuhkan." Selain itu, ada beberapa program yang dikurangi, misalnya program pendidikan pengacara muda. Padahal, menurut Wakil Ketua YLBHI Mulyana W. Kusumah, LBH membutuhkan pengacara yang berwawasan luas dan penuh dedikasi. Tapi Abdul Hakim yakin, berbagai pengurangan itu tak akan mengurangi kualitas LBH. "Sejak dua tahun silam LBH memang sudah mengadakan efisiensi. Kami memprioritaskan penanganan empat macam kasus, yakni hak asasi manusia, masalah perburuhan, lingkungan hidup, dan tanah. Kasus-kasus inilah yang menyangkut kepentingan rakyat banyak," katanya. Tapi kritik tetap bermunculan, misalnya karena LBH mengurangi pelayanannya di desa-desa. Humas LBH Hendardi mengakui bahwa jumlah pos LBH di desa-desa -- konsep yang disusun Mulya Lubis ketika ia menjabat sebagai Ketua YLBHI -- dikurangi demi efisiensi. "Penutupan ini bukan karena soal dana saja, tapi karena tingkat kebutuhannya," kata Hendardi. Sebagai gantinya, LBH mengembangkan pos-pos di daerah-daerah rawan, misalnya Aceh, Lampung, dan Timor Timur. "Pertimbangan kami tentu saja karena daerah tersebut masih penuh persoalan politik yang menyangkut kepentingan rakyat," tutur Hendardi. Sesungguhnya LBH adalah lembaga yang "kenyang" diganggu masalah dana. Pernah, tujuh tahun silam, Pemda DKI, salah satu donatur utama LBH, menghentikan bantuannya sebesar Rp 2,5 juta per bulan. Pangkalnya, pada tahun 1978, LBH membela perkara berbagai perkara subversi. Pada saat itulah Pemda DKI, dengan persetujuan DPRD DKI, menghentikan anggaran untuk LBH. Meski sempat kelabakan, LBH toh bisa bertahan. Bangkit lagi setelah mendapat bantuan dari luar negeri. Pengalaman ini membuat LBH yakin bisa mengatasi kesulitan dana sekarang ini. "LBH akan tetap bertahan dan jalan terus, apa pun yang terjadi," kata Abdul Hakim tegas. Leila S. Chudori, Nunik Iswardhani (Jakarta) dan Asbari N. Krisna (Hilversum)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini