ANCAMAN pemerintah menuntut pengusaha yang mengabaikan nasib buruh bukan gertak sambal. Di Medan, enam pengusaha kini sedang diadili karena melanggar ketentuan upah minimum. Di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin pekan lalu, Hakim J. Sukardi menghukum dua pengusaha, masing-masing satu bulan penjara. Mereka terbukti mempekerjakan tenaga asing tanpa izin dan melanggar ketentuan perburuhan lain. Persidangan yang di Jakarta itu berlangsung panas. Terjadi silang pendapat antara Hakim Sukardi dan pengacara senior Sudjono, kuasa hukum dua pengusahan tadi -- Ferry Effendi, pemilik PT Indoko Solprima Industri, dan Halimin Lotan, pemimpin PT Subur Jaya Sempurna. Pada persidangan pertama, Sudjono menyatakan, pengajuan perkara kedua kliennya tidak sah karena menyimpang dari KUHAP. Soalnya, pembawa perkara ini hanya seorang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Departemen Kehakiman, bukan jaksa penuntut umum. Selain itu, Sudjono memprotes tata cara penyidikan, yang ditangani juga oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Departemen Tenaga Kerja. Padahal, menurut pasal 107 KUHAP, PPNS seharusnya bekerja di bawah koordinasi polisi. PPNS juga harus melaporkan setiap tindak pidana yang disidiknya ke polisi untuk diteruskan ke pengadilan melalui penuntut umum (jaksa). Tata cara seperti itu dinilai Sudjono bertentangan dengan hukum acara pidana. Dengan alasan ada penyimpangan, Sudjono melarang kedua kliennya hadir di persidangan. Tapi hakim Sukardi tak peduli. Tanpa kehadiran terdakwa dan pembela, ia melangsungkan pemeriksaan. Dan Senin pekan lalu ia menjatuhkan putusan verstek (putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa), dengan hukuman masing-masing 1 bulan penjara. Terdakwa Ferry Efendi terbukti melanggar ketentuan jaminan sosial tenaga kerja dan mempekerjakan tiga orang tenaga kerja asing (dari Korea) tanpa izin. Terdakwa Halimin dinyatakan bersalah karena tidak mendaftarkan karyawannya ke Asuransi Sosial Tenaga Kerja, tidak membayar upah hari libur, dan mempekerjakan wanita lebih dari 9 jam per hari. Sukardi merasa punya alasan kuat menyidangkan perkara itu tanpa terdakwa dan pembela. Menurut Sukardi pemeriksan perkara ini tergolong acara pemeriksaan cepat karena berkaitan dengan tindak pidana ringan, seperti pelanggaran lalu lintas. "Ancaman hukumannya saja cuma tiga bulan," kata Sukardi. Karena itu, dalam kasus tersebut, ketentuan pasal 107 KUHAP tidak berlaku. "Pasal itu berlaku untuk perkara pemeriksaan biasa yang bukan pemeriksaan cepat." Untuk kategori terakhir ini, kata Sukardi, pedomannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 1985. Di situ dibenarkan pula adanya putusan verstek bagi tindak pidana ringan. Sudjono bertahan pada sikapnya. "Saya akan mengajukan verset untuk menggugurkan putusan hakim," katanya. Tentang alasan hakim memeriksa perkara sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung, Sudjono berkomentar, "Saya mau tanya, lebih tinggi mana kedudukan KUHAP dengan Surat Edaran Mahkamah Agung?" Tak puas dengan sikap hakim itu, pekan lalu Sudjono melaporkan masalah tersebut ke Hakim Pengawas Daerah (Hawasda) DKI Jakarta. "Saya hanya ingin mencari kepastian hukum, bukan mempersoalkan vonis," ujarnya. Aries Margono, Taufik T. Alwie, dan Heddy Lugito
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini