Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, suasana adem-ayem itu diperkirakan akan sontak berubah hangat. September bukan saja bulan pertama musim semi tiba. Saat itu pun pertandingan demi pertandingan tingkat dunia sudah dimulai. Diperkirakan, selama ajang itu, ratusan ribu pengunjung akan bertebaran di kota terbesar di Australia ini tiap harinya.
Limpahan manusia inilah yang membuat sebagian penduduk Sydney tersenyum. Para turis adalah sumur uang. Soalnya, sudah pasti para wisatawan ini perlu penginapan, makan-minum, serta fasilitas lainnya. Hotel yang ada tak akan cukup menampung banjir manusia tadi. Sudah begitu, tarif tidak selamanya bersahabat bagi kantong turis. Sebagai ilustrasi, tarif hotel kecil bisa mencapai US$ 70 semalam, sementara untuk kelas Hilton bisa sepuluh kali lipatnya. Ceruk bisnis itulah yang ditangkap penduduk kota ini untuk menjadi pengusaha penginapan secara amatir.
Sekalipun mereka bukan pengusaha hotel resmi, cara-cara pengiklanan yang dilakukan penduduk Sydney tak kalah gencar. Di internet, misalnya, ada yang mengandalkan fasilitas rumahnya yang komplet. Yang lainnya membanggakan lokasi apartemennya yang begitu dekat dengan arena pertandingan sehingga para penyewa bisa minum kopi dengan para atlet di restoran yang sama. Penginapan yang ditawarkan bukan cuma bangunan rumah lumrah. Kabin-kabin kapal, begitu pula mobil-mobil karavan, berlomba disodorkan.
Calon pengunjung yang jauh-jauh hari sudah memesan tempat tak perlu lagi khawatir. Tapi yang belum sempat memang bakal menemui kesulitan. Soalnya, penginapan yang biasa-biasa saja kemungkinan besar ditubruk peminat. Lantas, apa akal? Cukup rogoh kocek senilai US$ 49,95, sebuah agen akomodasi akan membantu peminat mendapatkan daftar penginapan yang masih kosong dan memesankannya.
Lazimnya, ada tiga macam penawaran dari pengusaha "hotel" amatir. Pertama, sistem homehost. Dalam cara ini, tamu berbagi tempat dengan tuan rumah. Tamu disyaratkan menginap paling singkat satu minggu. Bila kurang dari itu, pembayarannya tetap untuk satu minggu. Cara kedua adalah homestay. Cara ini adalah penyewaan seperti yang lazim dikenal alias tamu tak harus berbagi dengan pemilik penginapan. Tempat semacam ini minimal harus disewa selama tiga minggu. Kelasnya dimulai dari standar sampai superior, bergantung pada fasilitas yang ada. Cara ketiga adalah home exchange. Cara ini sedikit "rumit" karena penyewa diharapkan punya rumah yang cukup layak untuk ditempati bila sang tuan rumah kelak di kemudian hari berniat berkunjung ke tempat asal penyewa. Apa pun pilihan penyewa, bila memanfaatkan tawaran ini, ia bisa menghemat dana hingga 50 persen.
Tentu tidak semua warga Sydney tertarik kedatangan tamu asing langsung di rumah mereka. Michelle Lees, warga Australia asli, bahkan tidak tahu-menahu tentang booming bisnis penginapan ini. "Penduduk Sydney sekitar dua juta jiwa. Mereka pergi dan datang. Itu hal yang biasa saja," kata Lees. Seorang warga lain juga mengaku tak berminat menyewakan rumahnya melalui sebuah agen sekalipun tawarannya menggiurkan.
Uniknya, beberapa penduduk Sydney yang bukan warga negara Australia justru gesit berusaha menjala uang. Wahyo Widianto, karyawan asal Indonesia yang tinggal di kota itu, adalah salah satu yang tak mau ketinggalan. Begini ceritanya. Wahyo tinggal bersama istri dan seorang anaknya di sebuah apartemen di kawasan West Ryde. Dalam satu bulan, ia harus mengeluarkan uang sewa US$ 350 untuk tempat tinggalnya, yang berukuran 15 x 15 meter persegi. Fasilitas yang tersedia adalah kolam renang, spa, sauna, tempat olahraga, dan taman untuk pesta barbecue.
Beberapa bulan lalu, ia hampir mendapatkan rezeki nomplok. Sebuah agen perumahan mengiriminya surat yang berisi tawaran menyewakan apartemennya selama satu bulan selama Olimpiade. Harga yang diajukan adalah US$ 3.120. "Itu harga gila-gilaan, sekalipun tentu saja agen ini akan menaikkan harga pada penyewa baru," kata Wahyo. Rencananya, Wahyo akan memakai uang dari agen itu untuk berlibur ke Selandia Baru. Sayang, rencana ini tak terwujud karena ada persoalan kantor yang tak bisa ditinggalkannya.
Akhirnya, ia memutuskan untuk menyewakan salah satu kamarnya. Harga yang ia patok berkisar mulai US$ 1.500 hingga US$ 1.600. Harga ini dirasa pantas karena tempatnya hanya berjarak 15 menit perjalanan kereta dari Olympic Park. Dengan harga itu, semua fasilitas apartemen ditambah dengan segala barang elektronik di rumahnya bisa dipakai penyewa. Barang tersebut antara lain mesin cuci, televisi layar datar 24 saluran ditambah audio, serta berbagai alat masak. Wahyo juga menyediakan alat komunikasi, seperti komputer yang dilengkapi akses internet, pesawat telepon, dan mesin faksimile. Tapi, "Kalau untuk itu, harga dasarnya harus dibicarakan lagi," kata Wahyo berpromosi.
Wahyo tidak cuma gesit menawarkan tempatnya sendiri. Ia terbukti berhasil menawarkan dua tempat milik tetangganya. Uniknya, dua keluarga dari Cina yang tempatnya disewa itu tidak harus mengungsi ke luar kota atau bahkan ke luar negeri. Mereka cukup menginap di rumah satu keluarga lain yang juga tinggal di apartemen itu. Jadi, tiga keluarga berkumpul menjadi satu selama sebulan. "Kekeluargaan mereka tinggi karena sesama orang Cina," papar Wahyo. Namun, bukan cuma itu alasannya. Tetap tinggalnya dua keluarga tersebut di apartemen yang sama itu adalah siasat yang cerdik. Soalnya, sewaktu-waktu, pemilik atau pengelola gedung apartemen datang mengecek. Nah, kalau para penyewa ini ketahuan menyewakan lagi tempatnya, pemilik akan mencukai 50 persen dari nilai transaksi. Dengan tetap tinggalnya mereka di situ, transaksi "gelap" itu tak akan mudah tercium.
Namun, bukan tidak mungkin pihak pengelola lebih cerdik lagi. Buktinya, demi calon tumpukan uang di depan mata, para penghuni yang habis masa sewanya menjelang Olimpiade tak lagi diperkenankan memperpanjang masa huniannya. Para pemilik apartemen ini tak bisa disalahkan. Soalnya, apa boleh buat, Olimpiade memang kian komersial.
Olimpiade Los Angeles, Amerika Serikat, pada 1984, adalah titik balik yang menentukan. Sebelumnya, gara-gara Olimpiade Montreal 1976 yang merugi hampir US$ 100 juta, nyaris tak ada negara yang berminat menjadi tuan rumah. Namun, lewat tangan dingin Peter Ueberoth, sang organizer jempolan, Olimpiade Los Angeles menjelma menjadi tambang uang. Duit ratusan juta dolar bisa dikeruk. Sejak saat itu, kota-kota besar dunia berlomba menawarkan diri.
Sydney, yang tahun ini beruntung menjadi tuan rumah, juga tak malu-malu dalam menggerakkan mesin uang ini. Buktinya, mulai Juli lalu, pajak good and service mulai diterapkan. Dalam prakteknya, setiap orang yang berbelanja atau beraktivitas bisnis di negeri itu dikenai pajak sepuluh persen untuk tiap transaksi. Tak ayal, biaya hidup kian berat. Wajar bila penduduk Sydney ingin kebagian kue Olimpiade, sekalipun hanya remah-remahnya.
Yusi A. Pareanom dan Agus Slamet Riyanto (Sydney)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo