Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua hari sebelumnya, 15 Agustus kemarin, ribuan orang berjejal di Taman Imbi, Jayapura. Bintang Satari (fajarRed.) dikibarkan. Lagu perjuangan Hai Tanahku Papua dikumandangkan. Siang itu, sebuah demonstrasi besar kembali meledak. Tuntutan dibacakan Theys: sahkan nama Papua, tunda pemilihan gubernur, tarik pasukan non-organik, laksanakan dialog internasional untuk menelusuri sejarah Papua, dan kembalikan kedaulatan rakyat Papua. Simbol "M" (merdeka) kembali marak di pulau berpenduduk 2,3 juta jiwa dan penyumbang devisa US$ 3 miliar (sekitar Rp 24 triliun) per tahun itu.
Jayapura lumpuh. Syukurlah, kendati aparat menyita sejumlah granat, bom molotov, dan senjata tajam, rusuh tak terjadi.
Demonstrasi kali ini adalah "jawaban" atas suara galak anggota MPR di sidang tahunan kemarin. Hampir semua fraksi mengecam kebijakan kompromis Presiden Abdurrahman Wahid: mengubah nama Irianjaya tanpa persetujuan parlemen, membolehkan pengibaran Bintang Fajar, dan menyumbang dana semiliar rupiah bagi penyelenggaraan Kongres Rakyat Papua II yang akhirnya menuntut kemerdekaan. "Jika Bintang Fajar diturunkan, Merah-Putih akan kami turunkan," kata Theys lagi. Lebih jauh, Don King Papua inibegitu Theys dijulukijuga menolak opsi otonomi khusus sebagaimana ditawarkan Jakarta selama ini.
Sebuah sikap yang makin keras. Padahal, 4 Juli lalu, saat Dewan Papua menyerahkan hasil kongres kepada Presiden Abdurrahman di Istana Merdeka, Jakarta, sudah ada kesediaan berkompromi. Ketika itu, Gus Dur menjamin akan memenuhi apa pun permintaan Dewan Papua, kecuali satu hal: merdeka. Paket otonomi khusus ditawarkan. Dewan Papua memang masih bersikukuh menginginkan kemerdekaan. Tapi, menurut Frans Maniagasi, pengamat masalah Papua, "Yang terpenting, mereka masih mengakui pemerintah pusat dan mendengar Gus Dur."
Jalan tengah terus digodok. Salah satu formulanya berbunyi, pada tahap pertama, otonomi khusus diterapkan lima sampai sepuluh tahun. Setelah dievaluasi, jika opsi ini tak juga menyejahterakan rakyat Papua, barulah referendum digelar. Sayang, demo keburu meletup. Karena itulah, untuk menyelamatkan proses negosiasi, Maniagasi mendesak agar Jakarta segera menggelar dialog.
Masalahnya adalah soal kepercayaan. Menurut Maniagasi, pada 1962-1970, otonomi pernah diterapkan. Mata uang yang beredar adalah IBRp (rupiah Irian Barat). Program "Papuanisasi" memprioritaskan penempatan putra Papua di semua jabatan struktural di pemerintah daerah. Pengusaha lokal diproteksi. Papua bahkan membuka jalur perdagangan langsung dengan Singapura dan Australia. Kesejahteraan sempat dikecap. "Ketika orang Jakarta belum memakai jins, kami di Irian sudah mengenakannya," kata Maniagasi.
Sampai tibalah politik sentralistis Orde Baru. Kebijakan transmigrasi tanpa ampun meminggirkan orang Papua. Pasar tradisional dikuasai kaum pendatang dari Buton, Bugis, Makassar, Jawa, dan Bali. Di tanah mereka yang kaya-raya, warga Papua tersungkur di taraf hidup "koteka". Karena itulah tawaran otonomi selalu dicurigai.
Dan kecurigaan kronis itu seperti menemukan pembenarannya melalui berbagai pernyataan keras di Senayan. Nama Papua itu, misalnya, jelas bukan cuma urusan perundang-undangan seperti yang diributkan anggota parlemen. Di mata warga Papua, nama "Irianjaya" adalah simbol keterjajahan mereka selama ini.
Nama Papua, menurut catatan Lukas Karl Degey, Wakil Ketua Fraksi PDI-P di DPR, punya sejarah panjang. Ilha de Papoia (Pulau Papua) bisa ditemukan dalam catatan perjalanan Antonio d'Abreu, pelaut Portugis, ketika melayari pulau ini pada 1511 silam. Dalam bahasa setempat, kata Maniagasi, Papua juga berarti sebuah jati diri: bangsa berkulit kelam berambut keriting.
Nama Irian, singkatan dari Ikut Republik Indonesia Anti-Nederland, yang diresmikan pada 1963, diambil dari nama kelompok pro-Indonesia di Papua Barat yang didirikan pada akhir 1945. Nama ini pertama kali diperkenalkan dalam Konferensi Malino pada 1947. Itu sejarah panjang, dan sayang, "Para anggota MPR itu tidak punya kepekaan. Mereka cuma berpikir soal politik," kata Lukas. Ia ingin sejarah dan perasaan rakyat Papua menjadi pertimbangan utama.
Karaniya Dharmasaputra, Rommy Fibri, Kristian Ansaka (Papua Barat)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo