MPR telah berpacu dengan waktu, dan kalah. Dinilai demikian karena sidang tahunan MPR yang ditutup 18 Agustus lalu menyisakan 8 bab rancangan perubahan UUD 1945 yang sama sekali tak dibicarakan, di samping 5 bab yang dibahas tapi tidak tuntas. Hanya 6 bab yang disetujui, dan secara konstitusional, amendemen dari tahun 2000 itu tidak menawarkan sesuatu yang lebih berarti dibandingkan dengan amendemen 1999. Yang disebut terakhir ini menonjol karena tegas menetapkan masa jabatan presiden, sedangkan amendemen 2000 bisa dianggap tidak sepenuhnya menjiwai dinamika reformasi.
Ketua Kontras, Munir, S.H., misalnya, menggugat ayat 1 pasal 28I tentang hak asasi manusia. Ayat itu berbunyi, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Asas tidak berlaku surut itu langsung mengacu ke satu hal: bahwa setiap perbuatan yang menginjak-injak asas hak asasi manusia—seperti terjadi dalam kasus Tanjungpriok, Aceh, Sampang, Marsinah, Trisakti, Semanggi—tak dapat diadili karena orang tidak dapat dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Kalau benarlah demikian maknanya, hanya ada dua kemungkinan: pertama, hukum yang berlaku surut dianggap melanggar hak asasi; kedua, pasal 28I bertentangan dengan ayat 2 pasal 28G, yang berbunyi, setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia.
Adanya pertentangan antara dua pasal dari bab hak asasi, serta ketidaklengkapan pada bab tentang pemerintahan daerah—seperti disinyalir Andi Mallarangeng—sebaiknya dianggap sebagai kesalahan formulasi dan mungkin pula tak disengaja. Padahal, jika mau menyikapinya secara agak ekstrem, hal itu bisa dianggap aib. Soalnya, asas tidak berlaku surut memang lazim untuk bentuk-bentuk pelanggaran yang lain, tapi tidak untuk pelanggaran hak asasi.
Dari dua kasus itu saja bisa disimpulkan bahwa kesempurnaan sebuah konstitusi tidak bisa diukur dari jumlah orang yang menyusunnya (Panitia Ad Hoc I MPR beranggotakan 44 orang), intensitas kerja mereka, dan waktu delapan bulan yang dicurahkan untuk itu. Bahwa MPR berencana membentuk sebuah komisi keahlian—dalam menyusun amendemen—itu dapat dinilai sebagai keputusan yang rendah hati. Bahwa dianggap perlu untuk menyebarluaskan rancangan perubahan UUD 1945, ini pun pertanda sikap yang lebih dewasa. Tapi akan lebih baik jika MPR setiap kali melakukan pencerahan diri, hingga tidak telanjur mewarnai amendemen yang mereka siapkan dengan kepentingan politik atau target tertentu.
Benar, sebuah konstitusi tidak dibuat dalam ruang hampa udara, juga tidak dihasilkan oleh para orang suci dan cerdik cendekia. Sebaliknya, konstitusi juga tidak akan mengejawantahkan semua aspirasi warga bangsa kalau para penyusunnya masih terpaku dalam cara pandang lama yang menjadikan UUD sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan dan menghalalkan segala cara.
Memang, masih ada tiga tahun sebelum semua amendemen harus diselesaikan. Namun, adakah jaminan bahwa dalam waktu itu panitia ad hoc masih bekerja dan sidang tahunan MPR tetap terlaksana? Pertanyaan ini mungkin mengada-ada, tapi tidak terlalu salah juga kalau bangsa ini mempersiapkan diri untuk kemungkinan yang sama buruk dengan yang sudah-sudah. Jangan lupa, demokrasi baru berakar kuat di Prancis setelah satu abad. Sedangkan kita harus jujur bahwa setelah setengah abad, Indonesia tetap terpaku dalam posisi jalan di tempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini