Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Amendemen Setengah Hati

Sulitnya merevisi konstitusi yang puluhan tahun dianggap sakral.

20 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Murid sekolah menengah akan melihat ada yang berubah dalam mata pelajaran ketatanegaraan. Isi UUD 1945 tidak lagi sama dengan tahun lalu, bahkan tidak sama dengan yang puluhan tahun diajarkan kepada ayah dan kakek mereka. Pekan lalu, MPR mengesahkan sejumlah bab baru yang mengganti dan melengkapi bab-bab konstitusi yang dibuat pada awal kemerdekaan itu.

Bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan, amendemen ini juga telah membuka lembaran baru yang bersejarah. Telah terlalu lama UUD 1945 dianggap final, tidak mungkin diubah, bahkan sakral.

Meski bersejarah, perubahan konstitusi itu, sayangnya, tidak menyentuh soal-soal terpenting dalam ketatanegaraan. Ada 20 bab rancangan perubahan UUD 1945 yang diajukan oleh Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR—panitia yang dibentuk khusus untuk mencari rumusan perubahan. Namun, hanya enam bab yang akhirnya disahkan MPR. Lima bab lain "tersesat" dalam perdebatan yang tak kunjung habis, dan akhirnya ditolak. Adapun bab-bab selebihnya bahkan tidak sempat dibicarakan sama sekali oleh Komisi A MPR—komisi yang ditugasi mengkaji rancangan Panitia Ad Hoc.

Sebagian dari yang disetujui hanya mencakup pasal-pasal tentang bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan, yang sebenarnya tidak mengalami perubahan apa pun dibandingkan dengan UUD 1945. Sebagian lainnya memang merupakan bab-bab baru, yakni mengenai otonomi daerah, pemisahan TNI dan Polri, serta tentang hak asasi manusia. Namun, Komisi A melewatkan bab penting seperti pemilihan umum, fungsi dan peran DPR/MPR, serta pembatasan peran eksekutif.

Salah satu yang ditolak adalah usul mengenai bab tentang pemilihan presiden langsung—bab ini penting karena dianggap bisa menegaskan sistem kenegaraan mana yang ingin dipakai, presidensialkah atau parlementer. UUD 1945 asli memang mengisyaratkan penerapan sistem presidensial. Namun, karena presiden dipilih oleh parlemen (MPR), terbuka pula penafsiran parlementer di situ. Kekacauan konstitusional inilah yang belakangan hangat diperdebatkan, terutama tentang apakah parlemen memiliki hak interpelasi yang bisa menggugat posisi presiden.

Komisi, sebaliknya, justru menyetujui bab baru yang mengesahkan masuknya wakil TNI dalam parlemen tanpa dipilih. Ini agak ironis di tengah tuntutan yang kian luas agar tentara melepaskan diri dari politik, bahkan di tengah kian besarnya kesadaran tentara sendiri untuk kembali ke peran profesionalnya.

Apa yang telah dilakukan Komisi A MPR sebenarnya hanya menyeleksi rancangan amendemen UUD yang telah disiapkan Panitia Ad Hoc I. Panitia itu Juli lalu mengusulkan perubahan 70 pasal UUD. Sebelumnya, sidang MPR 1999 telah mengeluarkan draf Perubahan Pertama UUD 1945 sebanyak 9 pasal. Dengan kata lain, mestinya, kerja Komisi A lebih mudah. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Menurut Jakob Tobing, Ketua Komisi A MPR, biang keladi terganjalnya amendemen ini adalah waktu yang terlalu ringkas, empat hari. Dengan keterbatasan waktu itu, Komisi A menyusun prioritas pembahasan berdasarkan tingkat kesulitan dan kemungkinan alotnya perdebatan. Artinya, pasal-pasal "aman"—seperti lagu kebangsaan—didahulukan. Sementara itu, "Materi yang mengundang perdebatan, perselihan, dan perpecahan memang dikebelakangkan," kata Jakob.

Tapi seorang anggota komisi A asal Partai Golkar menilai sumber kemacetan justru dari Jakob sendiri. Jakob datang dari PDI Perjuangan—partai yang sejak awal memang enggan melakukan amendemen. Adalah Sukarno, ayah Ketua Umum PDI-P, Megawati, yang pada 1959 menerapkan kembali UUD 1945, mencabut UUD Sementara, dan menghentikan proses pembuatan konstitusi baru.

Rekan-rekannya di Komisi A menyebut Jakob sering mengulur-ulur waktu, misalnya dengan cara membiarkan debat yang bertele-tele berlangsung. Dalam pembahasan tentang batas negara dengan mengundang pakar hukum laut Prof. Hasyim Jalal, Prof. Dimyati Hartono, dan seorang ahli dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), debat keras terjadi dan memakan waktu berjam-jam. Usul anggota komisi lainnya agar diadakan rapat terpisah ditolak Jakob. "Ya, nantilah, satu putaran lagi," kata anggota DPR asal PDI-P itu, seperti dikutip sumber tersebut. Beberapa kali, satu putaran pembahasan baru disetop setelah lebih dari 15 orang bicara. Akibatnya, banyak waktu terbuang.

Pada pembahasan tentang kekuasaan kehakiman dan penegakan hukum, Jakob membiarkan anggota Komisi A berputar-putar pada pasal kepada siapa hakim agung harus bertanggung jawab, MPR atau DPR. Pasal itu akhirnya didrop. "Ada masalah-masalah yang ditunda pembahasannya, dan dilanjutkan esok harinya. Lalu, karena tidak ada titik temu, pasal tersebut ditinggal dan dilanjutkan dengan pasal lain," kata Muhammad Assegaf, anggota Komisi A dari Fraksi Utusan Golongan.

Diletakkannya pembahasan tentang MPR dan DPR di urutan bawah dari prioritas juga dicurigai sebagai upaya Jakob, salah satunya, untuk mengamankan posisi TNI di legislatif. Sebagaimana diketahui, PDI-P merupakan fraksi yang cukup keras dalam mempertahankan TNI di parlemen. Padahal, dalam rancangan amendemen yang diusulkan Badan Pekerja MPR, tentara dipastikan akan mental dari DPR tapi tetap dipertahankan di MPR.

Menurut sumber Golkar tadi, dalam pembahasan tentang MPR dan DPR, ada kesan pemimpin sidang menunggu rekomendasi Komisi B MPR yang mengurus ketetapan MPR tentang keanggotaan TNI dan Polri. "Begitu Komisi B mengeluarkan putusan bahwa pasukan baju hijau itu masih akan bertahan di legislatif sampai 2009, Komisi A aman. "Akibatnya," kata sumber itu, "pembahasan tentang peran politik TNI di parlemen jadi dilewati."

Jakob Tobing membantah tuduhan itu. Menurut dia, apa yang dilakukannya hanyalah memoderatori perdebatan. "Apa yang sebetulnya diartikan amendemen, ya, perubahan yang bisa disetujui. Dan yang disetujui itu cukup signifikan," kata Jakob. Ia bahkan menuduh anggota Komisi A yang terlalu banyak bicara. "Mungkin mereka menganggap bahwa mereka memang dibayar untuk bicara," katanya.

Namun, menurut pengamat politik Andi Mallarangeng, kesalahan dalam penyusunan amendemen tidak semata-mata terletak pada kerja Komisi A. Menurut Andi, sejak awal amendemen memang tidak disiapkan dengan seksama. Pembahasannya diserahkannya hanya kepada anggota DPR yang pemahaman tentang hukum tata negara sangat terbatas.

Bahkan, terhadap pasal amendemen yang sudah disepakati, Andi menilai juga masih kurang fokus. Bab VI amendemen tentang pemerintahan daerah, misalnya, hanya disebutkan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, dipilih secara demokratis. "Padahal," kata doktor politik lulusan Universitas Ohio itu, "pasal itu seharusnya memuat tata cara pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota secara langsung." Maksudnya, agar masyarakat bisa belajar memilih pemimpinnya secara langsung dari tingkat yang paling bawah sebagai modal pelaksanaan pemilihan presiden langsung.

Bias politik parpol yang tidak proporsional juga dinilai Andi memacetkan jalannya proses amendemen. Perdebatan panjang tentang perlunya "menjalankan syariat Islam" dimasukkan ke pasal 29 UUD—meski hanya didukung oleh Partai Bulan Bintang dan PPP—dinilai Andi sebagai upaya kedua partai itu untuk mendapat dukungan dari pemilih Islam ketimbang niat yang sungguh-sungguh untuk merevisi dasar negara.

Faktor kesalahan inilah yang diharapkan bisa dijadikan bahan pelajaran bagi pelaksanaan amendemen putaran berikut. Setelah SU MPR usai, BP MPR masih akan kembali merumuskan draf amendemen berikut. Rancangan itu akan dibahas dalam SU MPR tahun depan. Untuk sementara, amendemen tahun ini memang belum menghasilkan banyak perubahan. Merombak konstitusi yang telah puluhan tahun disakralkan ternyata tak mudah.

Arif Zulkifli, Romi Fibri, Adi Prasetya, Andari Karina Anom, Purwani Dyah Prabandari


Materi amendemen yang disetujui Komisi A MPRPerbedaan amendemen hasil Komisi A MPR dengan UUD 1945Perbedaan amendemen hasil Komisi A MPR dengan rancangan amendemen kedua hasil PAH I Badan Pekerja MPR
Pemerintahan daerahAmendemen mengakui otonomi daerah, UUD 1945 tidak.
  • Amendemen Komisi A lebih ringkas
  • Jaminan negara kepada hukum adat dan hak ulayat dalam rancangan amendemen kedua diberi syarat, yakni asalkan sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan (amendemen Komisi A)
  • Rumusan otonomi daerah dalam amendemen Komisi A diperlunak

Wilayah negara

Amendemen mengatur wilayah negara, UUD 1945 tidak

Rincian batas geografis dalam amendemen kedua MPR dihilangkan

Warga negara dan penduduk

Amendemen memasukkan hak kewajiban warga negara untuk membela negara dalam bab tentang warga negara dan penduduk serta bab tentang pertahanan negara, UUD 1945 hanya dalam bab tentang warga negara

Tidak ada perbedaan

Hak asasi manusia

HAM dalam UUD 1945 tidak diatur khusus melainkan masuk dalam bab tentang warga negara, yakni jaminan UUD atas kesamaan hak warga negara di depan hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27) dan hak berserikat dan berkumpul (Pasal 28)

Rumusan tentang HAM lebih ringkas

Pertahanan dan keamanan negara

Amendemen menekankan pertahanan negara dilakukan oleh TNI serta menegaskan perbedaan TNI dan polisi

Tidak ada perbedaan

Bendera, bahasa, dan lambang negara serta lagu kebangsaan

Tidak ada perbedaan

Tidak ada perbedaan

Materi amendemen yang dibahas tapi tidak disetujui Komisi A MPR
  • Kekuasaan kehakiman dan penegakan hukum
  • Dewan perwakilan daerah
  • Pemilihan umum
  • Keuangan
  • Badan Pemeriksa Keuangan
Materi amendemen yang tidak dibahas komisi A MPR

  • Bentuk (dasar) kedaulatan
  • Kekuasaan pemerintahan negara
  • MPR
  • Perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial
  • Pendidikan dan kebudayaan
  • Agama
  • Perubahan UUD
  • DPA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus