SALAHKAH jika Presiden Abdurrahman Wahid menginginkan Partai Kebangkitan Bangsa menjadi juara Pemilihan Umum 2004 nanti? Tentu tidak. Namun, jika sebagian orang mulai cemas terhadap apa yang mungkin akan dilakukannya untuk mencapai tujuan itu, boleh-boleh saja. Demokrasi memang membebaskan orang untuk berpikir bebas dalam menentukan tujuan akhir, tapi membatasi koridor proses pencapaiannya dalam aturan main yang disepakati bersama sebelumnya.
Pekan ini, salah satu pertanda apakah Abdurrahman Wahid akan taat menjalani koridor ini atau tidak, boleh jadi, akan segera terlihat dalam susunan kabinet yang diumumkan. Bila deretan nama yang muncul dilihat orang ramai sebagai pencerminan tim yang tangguh dan dapat diandalkan untuk memulihkan Indonesia dari berbagai krisis yang menerpanya, indikator yang menunjukkan Gus Dur memilih jalan yang benar akan menyala terang. Sebab, itu berarti Presiden berkeyakinan bahwa partainya hanya akan memanen suara kemenangan bila pemerintahannya berhasil membawa bangsa ke kondisi yang lebih baik.
Sebaliknya, jika susunan pembantu Presiden ternyata lebih mencerminkan penciptaan peluang mengumpulkan dana dan kekuatan untuk memperkuat PKB, sikap mereka yang mulai merasa khawatir memang beralasan. Soalnya, pilihan ini mencerminkan sisi buruk penguasa yang cenderung ingin mempertahankan kekuasaannya dengan cara apa pun, at all cost.
Bukan berarti upaya mempertahankan kekuasaan itu keliru. Pengelolaan wewenang, termasuk mempertahankan kekuasaan, adalah tugas utama sebuah pemerintahan dalam menjalankan fungsinya sehari-hari. Namun, tujuan pemberian wewenang itu adalah demi kemaslahatan masyarakat. Karena itu, orang-orang yang mengelola pemerintahan harus diawasi agar tak melenceng dari tujuan ini dan wajib diganti jika dinilai tak becus lagi. Untuk itulah pemilihan umum diadakan secara periodik dan demokratis.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana memastikan bahwa pemilihan umum yang memakan banyak tenaga dan biaya itu akan menghasilkan pengelola negara yang diinginkan. Bukan perkara mudah untuk menjawabnya. Sebelum itu, harus ditanggapi dulu persoalan yang lebih mendasar: bagaimana mengetahui "keinginan" rakyat—yang di Indonesia jumlahnya lebih dari 200 juta.
Dalam tataran teori, partai politik adalah bagian penting dari mekanisme pengelompokan dan penyaluran berbagai "keinginan" yang tumbuh di masyarakat. Sebab, dalam negara yang normal, partai adalah tempat bertemunya mereka yang mempunyai persamaan aspirasi, yang kemudian memformulasikannya dalam sebuah platform. Setelah itu, para kader yang dianggap paling piawai untuk merealisasikan aspirasi ini dicalonkan untuk menjadi pengelola negara. Lantas, bersamaan dengan berputarnya roda waktu, aspirasi umumnya akan berubah karena bergesernya tantangan zaman. Walhasil, pergantian personel di pucuk-pucuk pemerintahan pun menjadi sebuah kebutuhan dan pada akhirnya akan menjadi bagian dari rutinitas belaka.
Di Indonesia, rutinitas itu kini masih jauh dari gapaian. Salah satu warisan Orde Baru yang tak mudah dilenyapkan adalah kebiasaan untuk bertumpu pada seorang pemimpin yang sama, yang memenangi pemilu demi pemilu selama tiga dasawarsa, melalui organisasi pengumpul suara yang didukung semua aparat dan institusi negara, yang memamerkan legitimasi pembawa aspirasi rakyat lewat "prestasi" sebagai pemegang mayoritas tunggal. Organisasi yang mapan, mempunyai jaringan luas, dan terbiasa menjaring dukungan melalui kooptasi kekuasaan ataupun uang. Sebuah mesin yang tak serta-merta hancur oleh kehadiran reformasi. Buktinya, Golongan Karya, yang kini tak lagi malu-malu untuk memasang kata "partai" itu, memperoleh peringkat kedua dalam perolehan suara pemilihan umum lalu.
Maka, wajar saja jika banyak pengelola partai menginginkan mesin yang sama, yang sebetulnya mereka sadari hanya akan berfungsi maksimal bila dilengkapi dengan amunisi untuk kooptasi kekuasaan atau dana. Juga wajar jika sebagian orang mulai khawatir bahwa para pemimpin partai sekarang ini—termasuk Gus Dur—mulai tergoda untuk menggunakannya pada tahun 2004 nanti.
Tanda-tanda dari kuatnya godaan ini terlihat dari kesibukan semua partai untuk memasukkan kadernya dalam susunan kabinet dan keengganan yang merata untuk menjadi partai oposisi. Trauma Orde Baru—yang secara efektif memarginalkan semua kekuatan oposisi—agaknya masih terasa kental. Dan kita risau karena nyaris tak terdengar suara yang prihatin dan berupaya menghilangkan alasan untuk hadirnya trauma itu.
Salah satu terapi yang berpeluang mujarab adalah menganggarkan sumbangan dana yang memadai bagi partai politik seperti di banyak negara maju. Ada yang menentukan besar-kecilnya sumbangan berdasarkan jumlah kursi yang diraih, ada juga yang memberikan kucuran senilai sumbangan sukarela yang bisa dikumpulkan partai tersebut dari para pendukungnya. Cara ini memang menambah beban anggaran pendapatan dan belanja negara, tapi boleh diduga akan mengurangi potensi kebocoran akibat "korupsi politik". Selain itu, akan memberikan dampak keadilan terhadap partai yang didukung penduduk miskin, yang harus bersaing dengan partai yang ditopang para pengusaha kaya. Lagi pula, penggelontoran dana publik ini akan membuat keuangan setiap partai yang menerimanya menjadi wajib untuk diaudit dan dikelola secara transparan.
Transparansi partai akan membuat masyarakat pemilih semakin mudah dan akurat dalam memberikan suaranya. Selain itu, godaan terhadap para pemimpin partai untuk menggalang dana dari tempat yang remang-remang diminimalkan. Kekhawatiran terhadap "kekeliruan" dalam pembentukan kabinet juga dapat berkurang dan berubahnya Indonesia menjadi negara normal pun dapat dipercepat.
Lantas, mengapa tak segera kita lakukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini