Forget the spread ing of the hideous town,
Think rather of the pack-horse on the down
And dream of London, small and white and clean . . .
SEJAK yang penuh nostalgia ini saya temukan dalam kumpulan
sajak William Morris, The Earthly Paradise yang ditulisnya
antara tahun 1868 hingga 1870. Itu adalah akhir dari Revolusi
Industri yang bermula di Inggeris dan pada saat itu sudah meluas
ke seluruh daratan Eropa dan bahkan Amerika. Batubara yang telah
meletakkan dasar bagi kekayaan industri Inggeris ternyata telah
mengubah London yang kecil, putih dan bersih itu jadi besar,
legam dan berasap karena raungan mesin uap dan dentum piston
mesin industri.
Tapi benar perlukah kita kembali ke peradaban lampau?
Retrogresi? London memang pernah kecil, putih dan bersih. Tetapi
penduduknya tinggal dalam lingkungan yang kotor bukan kepalang
dan sekalipun tak banyak yang kelaparan tapi malnutrisi adalah
gejala umum kala itu.
Sabun mandi hanya dikenal di kamar mandi a la Victoria saja.
Pada jaman itu orang Inggeris percaya bahwa keringatlah yang
membersihkan tubuh dan bukan sabun. Culum Struan, dalam novel
Taipan, yang baru tiba di Hong Kong dari Inggeris pun tak kurang
herannya melihat orang Asia mandi setiap hari dan akhirnya sadar
bahwa keringat justru harus dibasuh dari tubuh.
Adalah industri yang mengubah sabun dari kemewahan menjadi
kebutuhan. Dari kemewahan yang hanya bisa dijangkau oleh para
duke dan duchess menjadi kebutuhan sehari-hari yang bisa
dijangkau oleh masyarakat pekerja. Adalah industri yang
memperkaya kehidupan manusia dalam progresinya ke arah kehidupan
yang lebih nyaman dan berarti. Dan adalah industri yang
membebaskan orang dari ketakutan yang konstan akan kemungkinan
gagalnya panen mereka, karena sebagian petani kemudian
tertampung sebagai pekerja dalam industri dan sektor
agrikultur-pun bahkan menjadi lebih terjamin karena industri.
Tapi karena 'hippy' muncul di awal tahun 1967 dengan protesnya
terhadap hasil industri modern. Para orangtua melihat
perkembangan anak mereka dengan harap-harap cemas, kuwatir si
anak akan menjadi 'ignoramus' terhadap produk industri modern.
Para pengamat sosial menganggap ini sebagai gejala retrogresi
yang tak perlu terjadi kalau orang bisa mencapai keseimbangan
dalam hidupnya.
Jadi, katakanlah kita tak setuju retrogresi, oke? Tapi bagaimana
kalau sesaat sesudah pemerintah mencanangkan K-15-N lalu seorang
pejabat tinggi negara yang menyetop kenaikan harga obat-obatan
sambil memperingatkan agar iklan dan pengepakan yang membikin
harga obat jadi mahal dikurangi?
Iklan agaknya memang suatu yang kontroversial. Setidaknya sudah
dua menteri di Silli yang bilang bahwa iklan itu menyebabkan
harga barang menjadi tinggi. Kemungkinan benarnya pernyataan itu
memang ada. Tapi kenyataan dan kemungkinan salahnya pun besar.
Coba dengar kata W.H. Lever yang pada akhir abad 19 saja sudah
'memboroskan' dua juta pon-sterling untuk mengiklankan sabun
Sunlightnya: Periklanan adalah semacam tenaga cadangan. Biaya
periklanan tidak dibayar oleh konsumen (dalam arti harga menjadi
tinggi!), melainkan hanya dapat dibayar oleh meningkatnya
penjualan.
Iklan menyebabkan suatu barang menjadi lebih luas di kenal.
Pengenalan ini bisa berakibat keputusan untuk membeli barang
tersebut. Dan bukankah produksi yang lebih banyak juga berarti
menurunnya biaya fabrikasi per unit?
***
Tapi ya sudahlah, soal ini memang terlalu panjang untuk
diperdebatkan.
Tetapi bahwa soal pengepakan dianggap sesuatu yang mubazir
agaknya baru sekali ini saya dengar. Karena itu mungkin tidak
terlalu salah kalau saya lantas saja menganggap ini sebagai
suatu gqala retrogresi. Dan ini cukup memprihatinkan.
Bungkus bagi suatu barang bahkan punya lebih banyak manfaat dari
pakaian dalam peradaban kita sekarang. Manfaat yang paling utama
dari pembungkus adalah melindungi barang itu dari pengaruh luar.
Pada jaman 'kuda gigit besi', sabun, misalnya, dijual dalam
lonjoran telanjang. Kalau ada orang mau beli, sabun itu dipotong
menurut jumlah yang diperlukan dan lalu dibungkus dengan kertas
koran. Karena itu sabun cepat jadi tengik dan keras bagian
luarnya disebabkan oleh proses oksigenisasi. Dus, merugikan
konsumen. Kertas bungkus ternyata lebih murah dari bagian kertas
yang harus dibuang konsumen. Artinya, pembungkus mutlak
diperlukan.
Bungkus juga berfungsi sebagai sarana identifikasi. Misalnya
saja kalau batangan sabun cuci dan sabun mandi berbentuk sama,
maka adanya bungkusan yang tercetak akan dapat membedakan mana
sabun cuci dan mana sabun mandi. Karbol bisa dibedakan dari
sirup atau kecap. Bungkus juga membedakan merek yang satu dengan
merek yang lain.
Bungkus memberikan kemudahan dalam penghitungan unit dan
pengangkutannya. Sebungkus sigaret berisi 20 batang rokok. Satu
bos berisi 10 bungkus dan satu karton berisi 12 bos. Kalau tak
dipak dalam bos kemungkinannya sangat besar bagi rokok itu rusak
sekalipun dipak lagi dalam karton. Tanpa karton maka bos-bos itu
akan berceceran dalam pengangkutan dan proses distribusi.
Sekarang kita Ise sebuah apotik yang bersih dan berhawa dingin.
Di sana akan berjejeran ratusan peti-peti obat yang lain.
Asisten apoteker bukan dewa. Dan manusia selalu membuat
kesalahan manusiawi. Misalnya kapsul X yang kebetulan sama warna
hijaunya dengan kapsul urus-urus. Karena identifikasi yang sulit
dalam sistim pengepakan begitu maka orang yang ingin sakit
kepalanya hilang bisa kaget kalau menemukan bahwa obat yang
ditelannya justru merepotkan dia karena terpaksa 'shuttle
service' dari dan ke kamar kecil.
Nah, sekarang kita sadar bahwa pembungkus bukan sekedar faktor
pengimbuh biaya yang tidak masuk akal. Apalagi dalam
obat-obatan. Blister dan aluminum foil perlu agar obat tidak
rusak karena terendus udara luar. Botol pun tak kalah
pentingnya. Lalu apa yang mau disederhanakan lagi? Apa ada unsur
yang berlebih-lebihan di sini? Apa mau obat batuk yang ditaruh
dalam jeriken dan pembeli harus bawa botol sendiri? O, mungkin
warna cetakannya! Tak perlu warna-warni. Hitam di atas putih
saja 'kan cukup? Silakan, boleh saja lakukan itu kalau dengan
penghematan yang 1-2% itu pabrik obat siap didemonstrasi oleh
para asisten apoteker yang sudah merah hijau matanya karena
lelah mencari bedanya 'Listerine' dan 'Visine' dalam sederetan
kotak yang semuanya putih bertulisan hitam. Maka kalau Trevelyan
bilang: 'except in imagination, there was no going back to the
past', dan Bung Karno bilang: 'ever onward, never retreat maka
saya yakin bahwa gejala retrogresi seperti yang saya kuwatirkan
itu tadi hanyalah impian belaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini