TANPA diketahui jelas riwayatnya mula-mula, jenis kain tenun
yang disebut tenunan Batubara sudah tersohor sampai ke
Semenanjung Melayu. Di hari-hari lampau tenunan yang berpangkal
di Tanjung Tiram itu, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, jadi
idaman orang di kampung-kampung -- misalnya sampai di Aceh --
dan jadi alat kebanggaan. Laiknya, kain Batubara ini hanya
dipakai bila ada acara khusus: pesta sunatan, perkawinan, khatam
Quran dan semacamnya.
Nurma, 35 tahun, yang sudah mulai menenun sejak gadis, juga tak
tahu sejak kapan tenunan Batubara muncul di tempatnya tinggal --
di Kampung Panjang, Kecamatan Talawi, Asahan. Tapi ada sebuah
celana komprang model Minang yang sudah disimpannya
turun-temurun dan dikatakan kini berusia hampir 100 tahun. "Kata
nenek saya, celana ini modelnya dari Pagaruyung," ucap Nurma.
Berkat urusan tenun-menenun ini Nurma sempat terbang ke Negeri
Belanda. Dia ikut I'ong Tong Fair di sana dan memperkenalkan
cara membuat tenunan Batubara. Nutma tinggal di sana 15 hari.
Setelah habis berpameran, alat-alat tenunnya yang dibawa dari
Batubara tinggal di sana pula: masuk museum di kota itu.
Tertarik oleh motif tenunan Batubara pula, beberapa waktu lalu
pihak Bidang Kesenian Departemen P&K Sumatera Utara turut
menjelajahi kawasan Talawi. Nurma juga jadi sasaran interpiu
Djohan A. Nasution, kepala bidang itu yang berkantor di Medan.
Motif-motif tenunan Batubara yang sudah klasik itu dan nilai
artistiknya perlu diinventarisir," kata Djohan kepada
Koresponden TEMPO yang dibawanya ke Asahan. "Kalau tidak
motif-motif itu bakal punah, dan berapa orang lagilah yang bisa
menjaga keasliannya atau mau melanjutkan. "
Lagi pula biaya untul mencatat-catat itu sudah tersedia dari
P&K. Tapi sampai di mana hasil kerja Djohan, sampai sekarang
belum terdengar lagi beritanya. Hanya ko non para penenun yang
tak bermesin itu (ATBM) selama ini disebut-sebut menerima kredit
ringan sekitar Rp 50.000 dari Dinas Perindustrian, untuk
mendukung usaha mereka di bawah lantai rumah yang bertiang
tinggi itu -- konon.
Nurma sendiri menggaet bahan baku tenunannya justru tidak lewat
koperasi yang sudah dibentuk. Dia lebih senang mencarinya ke
Medan atau Pematang Siantar. Orang orang seperti dia (almarhum
suaminya juga pengrajin handalan, meninggal 10 tahun lalu) ada
300 orang di Tanjung Tiram. Sedang yang berkenan masuk koperasi
hanya 78. "Dan yang memenuhi syarat jadi anggota cuma 28 orang,"
ungkap Yahya Basyrah, Wakil Sekretaris Koperasi.
Padahal syaratnya amat ringan: uang pangkal Rp 2 ribu dan iyuran
Rp 50 per bulan. Toh lebih banyak yang tak mau bayar. Padahal
tujuan koperasi sudah jelas -- walaupun koperasi di Tanjung
Tiram itu baru diberi Kredit Modal Kerja Permanen atau KMKP oleh
Pemerintah sebesar Rp 2 juta. "Padahal modal yang kita butuhkan
Rp 30 juta," kata Yahya bersungut. Dia membayangkan: "Soal
pemasaran tenunan Batubara jangan khawatir. Penawaran sekarang
sudah banyak dari berbagai tempat."
Untuk mendapat apa yang disebut KIK (Kredit Investasi Kecil),
para penenun di sana juga masih harus menjerit. Walau begitu,
beberapa waktu lalu datang uluran dari Sugiri, Dirjen Aneka
Industri dan Kerajinan Rakyat. Sugiri telah memberi gratis 2 kg
benang perak, benang katun dan rayon dan 3 lampu petromak
(khusus untuk Kampung Panjang) kepada 100 penenun. Akan hal
Nurma, dibantu atau tidak, usaha memang harus jalan terus. Apa
lagi kini dia selalu jadi intipan pesanan.
Nampaknya Nurma memang punya keistimewaan juga. Ibunya sendiri
masih terus menyimpan . contoh-contoh motif tertentu yang sudah
turun-temurun. "Ini warisan nenek kami sejak dahulu," katanya
kepada TEMPO sembari membentangkan kain yang penuh warna-warni.
Ada sulaman Pucuk Bertikam, Pucuk Kaul, Tolap Berantai,
Jambangan dan semacamnya. Menurut Nurma, disain yang dia miliki
itu yang terlengkap.
Di rumahnya di Kampung anjang ia tak bekerja sendiri. Adiknya
yang sudah bersuami turut pula menarik-narik alat tenun kayu
itu. Nampaknya mengerjakan kain-kain ini memerlukan banyak
kesabaran. "Selembar kain yang bagus dan merupakan pesanan kita
harus mengerjakannya sampai sebulan. Paling cepat 25 hari," kata
Nurma. Dia mengatakan tenunannya yang paling laris adalah yang
Pucuk Bertikam. Harganya antara Rp 10 ribu. Tapi kalau mau
lengkap dengan kain tudung atau selendangnya, harga bisa
meningkat Rp 20 ribu. Karena bahannya juga pilihan, dan
mengerjakannya tidak semberono.
Benang yang dipakai terdiri dari katun atau rayon 42 S. Yang
membikin lama menenun yaitu ketika memberi bingkai pada
pinggiran kain. Bingkai terdiri dari benang warna keemasan atau
perak. Kini Nurma juga sudah sering membuat perlengkapan untuk
pengantin perangkat tenunan terdiri dari sprei, sarung bantal
dan guling dan rumbairumbai kelambu. Harganya 1 stel lengkap
antara Rp 75 ribu sampai Rp 100.000.
"Biasanya yang memesan adalah bapak-bapak pembesar yang datang
ke mari," kata Nurma. Nah, bapak-bapak !
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini