Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tenunan nurma, di bawah kolong

Kain tenun tanjung tiram, asahan, yang dikenal dengan "tenunan batubara" terkenal sampai ke semenanjung melayu. biasanya, ia dipakai pada acara sunatan, perkawinan, khatam qur'an dll.(kbd)

30 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANPA diketahui jelas riwayatnya mula-mula, jenis kain tenun yang disebut tenunan Batubara sudah tersohor sampai ke Semenanjung Melayu. Di hari-hari lampau tenunan yang berpangkal di Tanjung Tiram itu, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, jadi idaman orang di kampung-kampung -- misalnya sampai di Aceh -- dan jadi alat kebanggaan. Laiknya, kain Batubara ini hanya dipakai bila ada acara khusus: pesta sunatan, perkawinan, khatam Quran dan semacamnya. Nurma, 35 tahun, yang sudah mulai menenun sejak gadis, juga tak tahu sejak kapan tenunan Batubara muncul di tempatnya tinggal -- di Kampung Panjang, Kecamatan Talawi, Asahan. Tapi ada sebuah celana komprang model Minang yang sudah disimpannya turun-temurun dan dikatakan kini berusia hampir 100 tahun. "Kata nenek saya, celana ini modelnya dari Pagaruyung," ucap Nurma. Berkat urusan tenun-menenun ini Nurma sempat terbang ke Negeri Belanda. Dia ikut I'ong Tong Fair di sana dan memperkenalkan cara membuat tenunan Batubara. Nutma tinggal di sana 15 hari. Setelah habis berpameran, alat-alat tenunnya yang dibawa dari Batubara tinggal di sana pula: masuk museum di kota itu. Tertarik oleh motif tenunan Batubara pula, beberapa waktu lalu pihak Bidang Kesenian Departemen P&K Sumatera Utara turut menjelajahi kawasan Talawi. Nurma juga jadi sasaran interpiu Djohan A. Nasution, kepala bidang itu yang berkantor di Medan. Motif-motif tenunan Batubara yang sudah klasik itu dan nilai artistiknya perlu diinventarisir," kata Djohan kepada Koresponden TEMPO yang dibawanya ke Asahan. "Kalau tidak motif-motif itu bakal punah, dan berapa orang lagilah yang bisa menjaga keasliannya atau mau melanjutkan. " Lagi pula biaya untul mencatat-catat itu sudah tersedia dari P&K. Tapi sampai di mana hasil kerja Djohan, sampai sekarang belum terdengar lagi beritanya. Hanya ko non para penenun yang tak bermesin itu (ATBM) selama ini disebut-sebut menerima kredit ringan sekitar Rp 50.000 dari Dinas Perindustrian, untuk mendukung usaha mereka di bawah lantai rumah yang bertiang tinggi itu -- konon. Nurma sendiri menggaet bahan baku tenunannya justru tidak lewat koperasi yang sudah dibentuk. Dia lebih senang mencarinya ke Medan atau Pematang Siantar. Orang orang seperti dia (almarhum suaminya juga pengrajin handalan, meninggal 10 tahun lalu) ada 300 orang di Tanjung Tiram. Sedang yang berkenan masuk koperasi hanya 78. "Dan yang memenuhi syarat jadi anggota cuma 28 orang," ungkap Yahya Basyrah, Wakil Sekretaris Koperasi. Padahal syaratnya amat ringan: uang pangkal Rp 2 ribu dan iyuran Rp 50 per bulan. Toh lebih banyak yang tak mau bayar. Padahal tujuan koperasi sudah jelas -- walaupun koperasi di Tanjung Tiram itu baru diberi Kredit Modal Kerja Permanen atau KMKP oleh Pemerintah sebesar Rp 2 juta. "Padahal modal yang kita butuhkan Rp 30 juta," kata Yahya bersungut. Dia membayangkan: "Soal pemasaran tenunan Batubara jangan khawatir. Penawaran sekarang sudah banyak dari berbagai tempat." Untuk mendapat apa yang disebut KIK (Kredit Investasi Kecil), para penenun di sana juga masih harus menjerit. Walau begitu, beberapa waktu lalu datang uluran dari Sugiri, Dirjen Aneka Industri dan Kerajinan Rakyat. Sugiri telah memberi gratis 2 kg benang perak, benang katun dan rayon dan 3 lampu petromak (khusus untuk Kampung Panjang) kepada 100 penenun. Akan hal Nurma, dibantu atau tidak, usaha memang harus jalan terus. Apa lagi kini dia selalu jadi intipan pesanan. Nampaknya Nurma memang punya keistimewaan juga. Ibunya sendiri masih terus menyimpan . contoh-contoh motif tertentu yang sudah turun-temurun. "Ini warisan nenek kami sejak dahulu," katanya kepada TEMPO sembari membentangkan kain yang penuh warna-warni. Ada sulaman Pucuk Bertikam, Pucuk Kaul, Tolap Berantai, Jambangan dan semacamnya. Menurut Nurma, disain yang dia miliki itu yang terlengkap. Di rumahnya di Kampung anjang ia tak bekerja sendiri. Adiknya yang sudah bersuami turut pula menarik-narik alat tenun kayu itu. Nampaknya mengerjakan kain-kain ini memerlukan banyak kesabaran. "Selembar kain yang bagus dan merupakan pesanan kita harus mengerjakannya sampai sebulan. Paling cepat 25 hari," kata Nurma. Dia mengatakan tenunannya yang paling laris adalah yang Pucuk Bertikam. Harganya antara Rp 10 ribu. Tapi kalau mau lengkap dengan kain tudung atau selendangnya, harga bisa meningkat Rp 20 ribu. Karena bahannya juga pilihan, dan mengerjakannya tidak semberono. Benang yang dipakai terdiri dari katun atau rayon 42 S. Yang membikin lama menenun yaitu ketika memberi bingkai pada pinggiran kain. Bingkai terdiri dari benang warna keemasan atau perak. Kini Nurma juga sudah sering membuat perlengkapan untuk pengantin perangkat tenunan terdiri dari sprei, sarung bantal dan guling dan rumbairumbai kelambu. Harganya 1 stel lengkap antara Rp 75 ribu sampai Rp 100.000. "Biasanya yang memesan adalah bapak-bapak pembesar yang datang ke mari," kata Nurma. Nah, bapak-bapak !

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus