Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari masih pagi, belum lagi lewat dari pukul 09.00. Namun, Senin dua pekan lalu, Adenor Leonardo Bacchi sudah terlihat di Tempat Suci Bunda Maria di Caravaggio, Farroupilha, Provinsi Porto Alegre, Brasil. Tempat ini termasyhur terutama bagi keturunan Italia. Mereka kerap berkunjung ke sana untuk berdoa.
Begitu pula Tite-nama populer Bacchi. Selain datang untuk berdoa, dia menemui pemimpin di sana untuk berterima kasih karena telah ikut mengiringinya dengan doa dan restu dalam menjalankan tugas sebagai pelatih tim nasional Brasil.
Ini bukan yang pertama. Akhir tahun lalu, Tite (diucapkan "Titi") juga datang ke tempat yang sering dikunjungi para pelatih dan pemain sepak bola Negeri Samba jika mereka beroleh prestasi bagus itu.
Sebelumnya, dia datang setelah mengantar Corinthians menjadi juara Liga Brasil, dua tahun lalu. Saat itu, dia memilih berjalan kaki sepanjang 22 kilometer dari Caxias menuju Farroupilha. "Pekan ini memang lebih tenang. Mungkin itu sebabnya Tite datang hari ini," kata Jocimar Romio, 32 tahun, pastor di sana.
Tite memang harus memilih waktu yang tepat. Selain ingin berdoa dalam suasana yang tenang, kedatangannya kali ini lebih cepat daripada yang diperkirakannya. Penyebabnya, Brasil, tim yang dibimbingnya, lolos ke putaran final Piala Dunia lebih cepat. Hampir 14 bulan sebelum putaran final digelar pada pertengahan tahun depan, Selecao-tim asuhannya-sudah bisa dipastikan main di sana menyusul Rusia, sang tuan rumah, yang lolos tanpa kualifikasi.
Lolosnya Brasil terjadi di Corinthians Arena, Sao Paolo, akhir Maret lalu. Dalam pertandingan ke-14, Brasil menang telak atas Paraguay dengan skor 3-0. Tambahan tiga poin yang menggenapkan perolehan angka menjadi 33 itu menjadikan Brasil sebagai pemimpin klasemen.
Kabar baik pun bertambah. Di Lima, Peru, tuan rumah menundukkan Uruguay 2-1. Dengan kekalahan Uruguay itu, poin yang dikumpulkan Brasil dipastikan mustahil membuatnya terlempar dari zona empat besar di akhir babak kualifikasi Oktober mendatang. Otomatis, Brasil punya hak lolos langsung ke putaran final.
Kualifikasi untuk Conmebol, yang diikuti sepuluh negara, memang unik. Semua tim bermain dalam sistem kompetisi penuh selama dua tahun. Ibarat liga, mereka harus berebut empat peringkat teratas. Tim peringkat kelima akan diadu dengan wakil dari Oseania melalui pertarungan playoff untuk lolos ke putaran final.
Tentu Tite senang dengan pekerjaan bersama para pemainnya itu. "Kesenangan terbesar bagi saya adalah saat bisa berbagi kegembiraan," katanya. "Melihat kegembiraan di keluarga, pada para pemain, dan di wajah anak-anak adalah sebuah kepuasan tersendiri. Lebih menyenangkan."
Karena Tite, rakyat Brasil akhirnya bisa menemukan kembali kebahagiaan dan kebanggaan, yang dalam dua tahun terakhir hilang. Hal itu dimulai di Belo Horizonte ketika tim nasional Brasil digasak 1-7 oleh Jerman dalam semifinal Piala Dunia. Ini adalah kepedihan nasional kedua yang tidak terperikan, setelah kegagalan merebut gelar juara dalam Piala Dunia 1950 saat dikalahkan Uruguay.
Luiz Felipe Scolari pun mundur. Penggantinya adalah Dunga, yang menangani Brasil dalam Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Namun, di tangan Dunga, Brasil malah tampil dungu.
Dalam pergelaran seratus tahun Copa America di Amerika Serikat, tim Brasil pulang cepat, tersingkir di babak awal. Dalam babak kualifikasi Piala Dunia, tim asuhan Dunga juga tak bagus. Brasil hanya bisa bercokol di peringkat keenam. "Sewaktu dipegang Dunga, saya tidak pernah mau menonton Brasil main," ujar Joao Carlos, penduduk Sao Gonzalo, kepada Tempo melalui WhatsApp pekan lalu.
Yang kesal kepada Dunga bukan hanya Joao Carlos. Sebab, di tangan Dunga, dalam enam laga, tim Brasil hanya menang dua kali. Selebihnya tiga kali seri dan kena "gampar" Cile 0-2. Federasi Sepak Bola Brasil menangkap gelagat buruk. Bila ini dibiarkan, air mata negeri itu bisa tumpah lagi. Selepas kegagalan di Copa America, Dunga-yang berarti kurcaci-dipecat.
Menurut banyak orang Brasil, Tite adalah pelatih bagus. Sebagai pemain, karier pria kelahiran Caxias do Sul, 25 Mei 1961, ini terhenti pada usia 27 tahun ketika lututnya cedera parah. Tapi kehebatannya memang di pinggir lapangan.
Sebagai manajer, ia mempersembahkan gelar juara Liga Brasil untuk klubnya, Corinthians. Juga juara Piala Libertadores-Liga Champions-nya Amerika Latin-kemudian juara Piala Dunia Antarklub pada 2012. Ketika itu, Corinthians mengalahkan klub raksasa Inggris, Chelsea.
Satu kekurangannya, ia mengambil jarak dengan pengurus federasi sepak bola negeri itu. Bahkan, pada akhir 2015, dia ikut meneken surat desakan mundur kepada Marco Polo Del Nero dari jabatan presiden federasi sepak bola di sana. Alasannya, Del Nero masuk daftar orang yang terlibat skandal penyuapan. Bersama seratus orang lain, termasuk legenda sepak bola Brasil, Pele dan Zico, dia meneken petisi agar Del Nero mundur.
Federasi sendiri membuat Tite meradang. Itu terjadi saat Dunga terpilih menggantikan Felipe Scolari. Dia berharap bisa terpilih. Menjelang pengumuman penggantian Scolari, namanya sempat disebut-sebut media. Tapi namanya hanya ramai di koran. Nyatanya, dia tak masuk hitungan.
Padahal, demi mendapatkan jabatan itu, Tite rela menghentikan cuti panjangnya di Eropa-berguru pada Carlo Ancelotti dan Arsene Wenger. Dua orang itu dianggapnya sebagai orang paling hebat di dunia sepak bola modern.
Namun dia gagal mendapatkan kursi pelatih tim nasional. Tite pun kembali ke Corinthians. Kesempatan datang ketika Dunga dipecat. Pertengahan tahun lalu, dia beroleh mandat menangani tim nasional Brasil. "Dia adalah orang yang tepat untuk menangani Brasil," kata Zico mengomentari terpilihnya Tite.
Tite meraih mimpinya. Dia pun duduk di bench saat Brasil menjalani lanjutan babak kualifikasi di Estadio Olimpico Atahualpa, Quito, Ekuador. Senangkah dia? "Dengkul saya seperti tak pernah berhenti gemetaran," katanya.
Dalam pertandingan itu, tuan rumah Ekuador dibuat malu dengan tiga gol dari para pemain Brasil. Pelatih baru memberi semangat yang juga baru bagi para pemain. "Tite datang dan membuat penyesuaian," ujar Neymar. "Pemain tidak berubah banyak. Yang berbeda adalah cara kami bermain."
Marquinhos, pemain Paris Saint-Germain, menambahkan, "Sepak bola jadi lebih sederhana. Bagi dia, kolektivitas lebih penting ketimbang permainan individu. Itu yang membuat tim kami berbeda."
Kolektivitas adalah kunci permainan Brasil di tangan Tite. Mereka bermain lebih variatif. Tidak melulu menyerang, tapi sesekali mengendurkan tempo sambil diam-diam mencari celah kosong dan menusuk melalui serangan balik yang cepat.
Bermain secara kolektif ini pula yang membuat tim asuhannya tak lagi bergantung pada Neymar. Tentu ini berbeda dengan tim lain yang masih menaruh peran penting pada seorang pemain. Argentina, misalnya, sangat bertumpu pada Lionel Messi. "Tim ini tidak pernah bergantung pada saya," kata Neymar.
Terobosan lain Tite adalah kembali memanggil pemain yang sudah dianggap "habis". Paulinho, yang terkubur di Liga Cina, masuk skuadnya. Tite memahami betul bekas pemainnya di Corinthians itu sebelum dia merantau ke London, empat tahun silam.
Hal lain yang tidak pernah dilakukan pelatih Brasil sebelumnya adalah merotasi kapten. Tite memiliki beberapa pemain yang disebutnya sebagai group leader. Hasilnya, dalam tiap pertandingan, Tite punya kapten berbeda. Dalam pertandingan terakhir, melawan Uruguay, Neymar adalah kapten keenam yang dipilihnya.
Dengan perpaduan yang sempurna bak segelas caipirinha-minuman khas Brasil nan segar-skuad asuhannya tampil menggelegar. Dalam delapan pertandingan bersama Tite, Brasil meraup nilai penuh: 24 poin. Juga produktif: mencetak 24 gol dan kebobolan 2 gol saja.
Sukses memang. Tapi ini baru separuh jalan. Ajang pertarungan sebenarnya ada di putaran final di Rusia tahun depan. Tite pun tahu tim ini harus memiliki kehebatan para pemain dan taktik permainan di lapangan. Tapi dia juga butuh dukungan lain. Salah satunya dengan berkunjung ke peziarahan Bunda Maria itu. "Sebelum diberkati pastor kepala," kata Jocimar Romio, "dia berdoa dengan khidmat sekali."
Irfan Budiman (Globo, Skysports, BBC, Goal, Guardian)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo