Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pari manta adalah salah satu ikan terbesar di dunia yang hanya dapat ditemukan di lautan tropis. Di Indonesia, ikan seberat tiga ton ini paling-paling hanya bisa dilihat di Pulau Komodo, Pulau Sangalaki, atau Raja Ampat. Itu pun hanya pada bulan tertentu dan kalau beruntung. Dalam film Labuan Hati arahan Lola Amaria, adegan bawah laut yang menampakkan manta menari-nari di antara karang bisa dilihat sepuasnya. Durasinya dibikin cukup panjang.
Untuk merekam momen itu, Lola dan krunya harus menyelam empat kali sehari ke lautan Labuan Bajo yang terkenal berarus deras. Selain manta dan karang-karang aneka warna, lanskap cantik gugusan bukit demi bukit yang mencium pantai pasir putih dan air hijau emerald di Labuan Bajo turut dipamerkan segamblang-gamblangnya dalam film ini. Tak ketinggalan tentu komodo, hewan langka yang tak ada di belahan dunia mana pun kecuali di Taman Nasional Pulau Komodo. Lola memang meniatkan film ini sekaligus jadi pendongkrak wisata Labuan Bajo.
Plotnya sendiri berpusar pada tiga perempuan. Adalah Bia (Kelly Tandiono), Indi (Nadine Chandrawinata), dan Maria (Ully Triani), tiga karakter utama dalam film ini. Bia adalah ibu satu anak yang gemar baca buku motivasi, tipe sosialita asal Jakarta. Indi seorang cewek petualang, juga dari Jakarta, yang ingin puas-puas liburan sebelum menikah. Adapun Maria adalah pemandu wisata asli Labuan Bajo yang rendah diri. "Saya ingin setiap penonton perempuan yang menyaksikan film ini dapat relate dengan satu dari tokoh dalam film," kata Lola tentang pemilihan karakter tokohnya.
Tiga perempuan ini tak saling kenal dan baru dipertemukan saat sama-sama menginap di sebuah hotel di Labuan Bajo. Mereka lalu bersepakat untuk bepergian bersama keliling pulau, juga hidup di kapal, untuk menyinggahi berbagai pesisir dan titik penyelaman. Di antara perjalanan itulah persoalan masing-masing yang mereka hadapi mengemuka. Dan dari perjalanan pulalah mereka berharap menemukan solusinya.
Premis cerita yang hendak disampaikan Lola adalah perempuan, baik di kota besar maupun kecil, mengalami persoalan tak jauh berbeda: rumah tangga, rasa tidak percaya diri, kebimbangan memilih jalan hidup, dan tentunya cinta. Dengan mengangkat berbagai problema itu, Lola ingin perempuan punya sikap untuk menentukan pilihan sendiri.
Dalam eksekusinya, persoalan-persoalan itu tak digali juga tak disampaikan dengan baik. Dari babak pengenalan tokoh, penonton langsung dapat menangkap bahwa persoalan Bia adalah dia dikhianati suaminya, Indi muak terhadap kekangan tunangan yang posesif, dan Maria terus-terusan murung karena tidak bisa lepas dari mantan kekasihnya. Namun, seiring dengan berjalannya cerita, persoalan itu terus diulang-ulang tanpa penambahan nilai baru.
Lalu muncul pertanyaan tentang pembangunan karakter tiap tokoh. Bukankah Bia seorang ibu yang meninggalkan anaknya jauh di Jakarta sana? Mengapa dia tampak tak khawatir terhadap kondisi anaknya yang masih duduk di sekolah dasar dan hanya menelepon paling-paling sekali sehari? Dia bahkan tak tahu saat anaknya menghabiskan malam sendirian karena sang ayah baru pulang pada pagi hari. Atau Indi yang konon cewek mandiri dan gemar bertualang tapi pasrah-pasrah saja ketika direcoki pacarnya yang posesif.
Belum selesai konflik masing-masing itu digali, malah muncul seorang instruktur selam Mahesa (Ramon Y. Tungka). Sejak kemunculan Mahesa, fokus cerita berubah menjadi persaingan cinta. Duh.
Dalam film ini, Lola bekerja sama dengan Titien Wattimena, penulis skenario yang juga menulis Minggu Pagi di Victoria Park. Duet Lola dan Titien kala itu menuai pujian karena mampu menyajikan persoalan tenaga kerja wanita dari Indonesia di Hong Kong dengan fasih dan natural. Lola menyatakan kali ini dia ingin membuat film ringan yang lebih kuat unsur komersialnya. Tapi film ringan pun seharusnya dapat dibuat lebih bermakna dan tak terkesan hanya jadi tempelan untuk promosi wisata.
Moyang Kasih Dewimerdeka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo