Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Bunyi Pletak, Lalu Jatuh

Penyakit tulang rapuh tak hanya terjadi pada orang tua, tapi juga anak-anak. Penanganannya hampir sama.

17 April 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOCAH sebelas tahun itu berhenti bermaingamedi sabak komputer barunya, Rabu pekan lalu. Ia kemudian berguling dari kasur tipis dan meninggalkan tiga sepupu yang menemaninya. Dengan mengesot, Fahri-bocah lelaki itu-menuju kamar mandi di rumahnya di Bandung. Uwaknya yang melihat dia beringsut lalu mengangkatnya ke kamar kecil untuk berkemih.

Sejak usia lima tahun, saat teman-teman seusianya mulai aktif berlarian, Fahri justru sudah tak bisa berdiri. Beberapa kali tulang kakinya patah karena tak sanggup menopang berat badannya. Yang pertama dan paling parah saat usianya empat tahun, Fahri tiba-tiba terjatuh tanpa sebab saat berjalan menuju sekolah taman kanak-kanak. Insiden itu membuat tulang kering kaki kanannya patah."Tiba-tiba kaki kanannya bunyi ’pletak’, lalu dia jatuh. Bangun, bunyi ’pletak’ lagi, sampai empat kali,"kata ibunya, Sri Astati Nursani.

Menurut Nursani,Fahriawalnyalahir dan tumbuh normal. Gejala kelainan pada tubuh sulung dua bersaudara itu mulai terlihat ketika ia jatuh pada umur empat tahun itu.Setelahsetahun Fahri bolak-balik ke rumah sakit,dokter subspesialis endokrinanakmenyimpulkanbahwa anak itu menderitaosteogenesis imperfectaaliastulang rapuh.Batuk kecil atau tertimpuk bantal tidur saja bisa membuat rangkanya patah."Bunyinya ’pletak’ dan dia sangat kesakitan," ujar Nursani, 32 tahun.

Kelainan ini membuat seluruh tulang di tubuh Fahri bisa patah dan tumbuh membengkok. Kaki kanan di bagian tulang keringnya membentuk huruf L. Tulang rusuk, tulang belakang, dan lengan atasnya yang pernah mengalami fraktur juga menonjol.Hanya leher, kepala, dan tangannya yangmasih aman.Keadaan ini membuat Fahri jadi ketinggalan di sekolah. Ia terpaksa berhenti saat masih TK dan sekarang baru duduk di kelas I sekolah dasar.

Nursani menderita kelainan serupa sejak umur lima tahun. Tanpa diobati, patah tulangnya berhenti saat usianya 17 tahun. Ia menduga ini terjadi karena tulangnya sudah berhenti tumbuh pada umur itu. Nursani hanya diterapi di tukang urut di seberang rumah. "Saya harap Fahri juga akan begitu, patahnya berhenti setelah tulangnya berhenti tumbuh," katanya.

Dokter spesialis bedah ortopedi konsultan ortopedi anak Aryadi Kurniawan mengatakanosteogenesis imperfecta(OI) aliasbrittle bones diseasemirip dengan penyakit osteoporosis. Sementara umumnya osteoporosis terjadi pada orang tua, OI justru terjadi pada anak-anak. Kelainan ini muncul karena faktor keturunanataumutasi gen. Dua faktor ini menyebabkan tubuh penderita kurang memproduksi kolagen tipe I.

Padahal kolagen tersebut bertugas mengikat bahan-bahan pembuat tulang yang lain, misalnya kalsium. "Kalau diibaratkan bangunan, kolagen itu seperti semen sedangkan kalsium itu batu bata. Jika kolagennya kurang, sebanyak apa pun bahan tulang yang lain, tulangnya akan tetap rapuh," ujarnya.

Banyak gejala yang menandakan kelainan ini (lihat boks). Umumnya patah tulang tersebut mulai terjadi sejak kanak-kanak, bahkan sejak dari dalam kandungan. Dokter spesialis anak konsultan endokrin, metabolik, dan diabetes anak Aman Bhakti Pulungan mengatakan gejala ini sudah bisa terdeteksi sejak janin. "OI itu khas. Di-USG sewaktu hamil bisa terlihat tulangnya bengkok karena patah," katanya.

Aman mengatakan tipenya pun bervariasi, dari yang ringan sampai parah. OI ringan bisa tak menimbulkan gejala sehingga penderitanya sampai tak merasakannya. Sedangkan tipe berat bisa berakibat fatal. Misalnya, karena tersenggol sedikit, tengkorak bisa mengalami fraktur sehingga menyebabkan perdarahan pada otak atau tulang rusuk bisa patah sehingga melukai jantung atau paru-paru. "Anak yang menderita OI parah bisa meninggal sebelum atau sesaat setelah dilahirkan," ujarnya.

Menurut Aman, prevalensi penyakit ini tak langka, kisarannya 1 : 15 ribu sampai 1 : 20 ribu kelahiran. Dengan perhitungan ini, jika rata-rata ada 5 juta kelahiran di Indonesia per tahun, berarti ada sekitar 250 bayi yang dilahirkan dengan OI tiap tahun. "Tapi yang terdata baru 180-an, yang lain tak terdiagnosis," ucapnya.

Selain karena OI, menurut Aman, banyak sebab lain yang bisa membuat tulang pada anak gampang mengalami fraktur. Misalnya penyakit metabolik seperti protein intoleran yang lambat-laun menyebabkan tulang keropos secara signifikan dan sindrom tertentu, seperti sindrom Marfan, yaknipenyakit genetik yang membuat jaringan ikat yang bertugas menjaga struktur tubuh terganggu.Juga penyakit seperti rematik pada anak; cerebral palsy; penggunaan obat berlebihan, terutama golongan steroid; dan hiperparatiroid. "Maka harus ditegakkan dulu diagnosisnya. Jika anak mengalami patah tulang berulang, segera ke dokter subspesialis ortopedi anak atau endokrin anak," tuturnya.

Jika masalahnya adalah OI, kata Aman, jalan satu-satunya adalah dengan memberikan obat penguat tulang, misalnya zoledronate acid, yang diberikan enam bulan sekali. Obat ini tak menyembuhkan penyakit tersebut, tapi membuat kualitas hidup penderita meningkat karena tulang makin kuat sehingga mengurangi kejadian patah.

Aman menyatakan semakin cepat diobati semakin baik karena OI akan menurunkan kualitas hidup anak. Orang tua penderita OI, yang memiliki anak dengan OI, juga tak bisa menyamakan kasusnya dengan kasus sang anak. Sebab, bisa jadi derajat keparahannya tak sama. "Jika diobati, mereka jadi bisa beraktivitas normal," ucapnya.

Menurut Aryadi Kurniawan, obat zoledronate dan sejenisnya mulanya digunakan untuk mengobati osteoporosis. Fungsinya menghambat siklus penyerapan tulang. Sama seperti sel yang terus beregenerasi, demikian juga tulang. Komponen tulang yang lama akan diserap tubuh dan diganti yang baru. Nah, obat penguat tulang ini memperlambat proses penyerapan tersebut sehingga makin lama tulang akan menguat.

Selain obat, kata Aryadi, perlakuan pada penderitanya mesti khusus. Bayi atau anak balita tak boleh terus-menerus digendong karena akan berpotensi membuat tulang mereka patah. Lebih baik dibaringkan di tempat tidur lunak. Jika hendak menyusui, ibu mesti mendekatkan payudaranya ke bayi. Jika sudah besar, mereka juga tak boleh melakukan aktivitas yang memungkinkan terjadinya benturan, misalnya ikut olahraga bela diri dan bertanding sepak bola. Renang adalah olahraga yang aman bagi penderita penyakit tulang rapuh.

Untuk menguatkan tulang, anak juga perlu dipasangi pen agar tulang-tulangnya tak terus-menerus patah. Pen tersebut khusus karena akan ikut memanjang seiring dengan pertumbuhan tulang anak. "Jadi cuma sekali pasang," ujarnya.

Nur Alfiyah, Anwar Siswadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus