Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Buang Sampah ke Kawat Listrik

Sistem pembangkit listrik kerakyatan menggunakan asupan energi dari sampah, biogas, dan panel surya. Cocok untuk listrik skala kecil dalam komunitas.

17 April 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Separuh kapasitas empat bak bambu sepanjang dua meter dan setinggi satu meter itu berisi beragam sampah. Ada gundukan potongan sayuran, daun, serpihan kertas, hingga sisa makanan. Namun tak ada bau busuk menguar dari bak yang terletak di gedung pengolahan Sekolah Tinggi Teknik Perusahaan Listrik Negara (STT-PLN) di Duri Kosambi, Jakarta Barat, itu.

Bak bambu tersebut menjadi bagian dari sistem pengolahan sampah untuk memproduksi listrik skala kecil. Josef B. Dwiyono, peneliti STT-PLN, mengatakan bau anyir sampah yang dicampur air lindi hasil fermentasi sampah organik (biodigester) hilang setelah hari kedua penumpukan. "Hari kesepuluh sudah siap dipanen, dicacah, dan disaring, lalu dicetak menjadi briket untuk bahan bakar pembangkit listrik," kata Josef, Rabu pekan lalu.

Fasilitas di atas lahan sekitar 200 meter persegi itu merupakan purwarupa pembangkit listrik tenaga sampah berkapasitas 10 kilowatt. Setiap hari, 500 kilogram hingga satu ton sampah campuran disetor dan dipilah di gedung tersebut. "Sampah plastik besar, seperti botol dan kemasan yang mudah diambil, sudah disaring lebih dulu," ujar Josef.

Ketua STT-PLN Supriadi Legino menyebutkan sistem pembangkit kecil itu sebagai konsep listrik kerakyatan. Fasilitas ini mudah dipasang di atas lahan terbatas di setiap wilayah desa atau kelurahan, seperti perumahan, pertokoan, perkantoran, dan pasar. Listrik yang dihasilkan pun bisa disambung dengan jaringan PLN. "Proyek ini juga menjadi solusi untuk mengatasi tumpukan sampah di perkotaan," kata Supriadi dua pekan lalu.

Sistem listrik kerakyatan merupakan pengembangan dari konsep tempat pemilahan dan bank sampah yang sudah ada. Namun sistem itu hanya memilah sampah yang bisa dijual kembali, memprosesnya menjadi pupuk kompos dan biogas. Adapun konversi sampah menjadi energi listrik dengan model listrik kerakyatan dapat mengatasi masalah sampah sebanyak apa pun. "Saya menyebutnya sebagai konsep buang sampah ke kawat listrik," ucap Supriadi.

Prosesnya diawali dengan pemilahan sampah organik dan nonorganik. Sampah berukuran besar, seperti botol dan kemasan plastik, kardus, serta kayu, biasanya sudah dipisah lebih dulu oleh operator. Sisanya, berupa sampah organik, serpihan kertas, dan kemasan hingga popok bayi sekali pakai, dimasukkan ke bak bambu dan dicampur air lindi. "Potongan plastik kecil-kecil pun tak jadi masalah," kata Josef.

Konsep pengolahan sampah dengan proses kimiawi alami menggunakan bakteri ini dikembangkan Sonny Djatnika Sundadjaya, salah seorang peneliti dan inisiator pengembangan sistem listrik kerakyatan. Alih-alih pembusukan, proses yang mirip fermentasi zat organik itu justru menghasilkan biomassa kering. Proses yang dijuluki "peuyeumisasi" itu kemudian digabungkan dengan konsep listrik kerakyatan yang dikembangkan Wakil Ketua STT-PLN Djoko Paryoto dan peneliti bahan bakar pembangkit biomassa pohon kaliandra merah, Santoso Janu Warsono.

Air lindi dari tumpukan sampah yang biasanya dihindari orang justru menjadi komponen utama dalam sistem listrik kerakyatan. Limbah cair didapat dari biodigester yang dipasang bersebelahan dengan bak bambu penampung. "Sampah yang boleh masuk bak ini hanya tipe organik," kata Sucipto, peneliti STT-PLN.

Biodigester juga menghasilkan gas yang bisa digunakan sebagai bahan bakar kompor untuk memasak atau mengoperasikan generator kecil. Adapun tumpukan sampah dari bak bambu setelah "matang" akan diambil untuk dicacah dan disaring. Selama sampah disuplai ke dalam bak, proses kimiawi alami itu akan terus berlangsung. Namun suhu di bak perlu dijaga antara 50 dan 60 derajat Celsius agar kinerja bakteri lebih efisien.

Selain menggunakan bahan bakar briket dan gas, sistem pembangkit listrik kerakyatan bisa dikombinasikan dengan energi dari panel surya. Saat ini, STT-PLN sudah memiliki pembangkit energi surya berkapasitas 17 kilowatt yang dipasang di atap bangunan di sebelah gedung pengolahan sampah. "Tinggal dipasangi inverter sebagai media penyimpanan energi dari kedua fasilitas itu lalu dihubungkan ke jaringan listrik," kata Josef.

Bekerja sama dengan Universitas Darma Persada, STT-PLN membangun fasilitas listrik kerakyatan di tempat pengolahan sampah Kelurahan Pondok Kopi, Jakarta Timur. Menurut Erwin Lobo, yang menjabat Lurah Pondok Kopi, saat fasilitas itu beroperasi pada April tahun lalu, wilayah tersebut punya masalah besar tentang sampah. Produksi sampah yang dihasilkan kelurahan itu dalam sehari mencapai 24 ton.

Menurut Erwin-kini menjabat Lurah Kuningan Barat, Jakarta Selatan-masalah sampah seharusnya diselesaikan segera di hulu atau lokasi penghasilnya dan bukan hanya ditumpuk di tempat pembuangan akhir. Sistem bank sampah pun hanya memilah sampah yang masuk. "Saya periksa data kelurahan ternyata ada perjanjian dengan STT-PLN untuk pengembangan listrik kerakyatan ini. Saya teruskan saja," katanya.

Fasilitas listrik kerakyatan di Pondok Kopi dirancang untuk mengolah sampah satu ton per hari. Zona utama dalam sistem listrik kerakyatan dibangun di RW 04, sementara ada tiga zona yang dibangun di sekitarnya untuk memproses sampah organik dan campuran menjadi briket. Fasilitas listrik kerakyatan di Pondok Kopi juga sudah dilengkapi panel surya yang terkoneksi dengan jaringan listrik. "Pembangkit listrik utamanya memakai biogas dengan generator yang sudah dimodifikasi," kata Erwin.

Erwin berencana mengembangkan sistem listrik kerakyatan di Kuningan Barat, yang tidak memiliki tempat pembuangan sampah sementara. Kelurahan itu setidaknya menghasilkan sampah 12 ton sehari. "Sudah ada beberapa yang bersedia membantu pendanaan, tapi kami kesulitan tempatnya karena lahan milik pemerintah di sini terbatas sekali," tuturnya.

Sistem listrik kerakyatan bisa menjadi model penyediaan dan pengembangan energi listrik skala kecil dalam komunitas. Biaya pembangunan dengan kapasitas 1 megawatt sebesar Rp 500 juta. Dengan konsep distribusi dan bersamaan, biayanya akan murah dibanding membangun satu pembangkit besar. "Membangun 1.000 unit pembangkit skala kecil yang merata sama hasilnya dengan membuat satu unit pembangkit besar berkapasitas 1.000 megawatt," kata Supriadi.

Sistem listrik kerakyatan yang terintegrasi juga dapat mengatasi kendala pembangunan pembangkit konvensional berskala besar yang mahal. Selain itu, pembangunan pembangkit besar membutuhkan lahan luas, perizinan, dan jaringan transmisi yang kompleks. Diperlukan waktu setidaknya lima tahun untuk membangun pembangkit dengan kapasitas 1.000 megawatt.

Adapun pembangkit skala kecil yang bisa dimasukkan ke jaringan listrik microgrid untuk komunitas, seperti panel surya, biogas, dan sampah, bisa dibangun dalam waktu kurang dari satu tahun. Menurut Supriadi, pembangkit kecil seperti sistem listrik kerakyatan ini bisa dibangun secara bersamaan dan akan menguntungkan komunitas dalam pengolahan sampah. "Jika dikonversi menjadi listrik dengan model ini, sampah sebanyak apa pun akan habis," katanya.

Gabriel Wahyu Titiyoga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus