Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Sentul, di Antara Deru dan Utang

Sirkuit Sentul akan diserahkan ke pemerintah. Hanya pengelolaannya, bukan utang-utangnya.

12 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam keadaan ekonomi morat-marit begini, orang tentu berpikir ulang untuk main kebut-kebutan di sirkuit balap. Itulah sebabnya, Sirkuit Sentul, arena balap bertaraf internasional di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang biasanya ramai oleh deru mobil balap serta gemuruh penonton, belakangan jadi sepi.

Bukan hanya itu. Sirkuit yang diresmikan pada Desember 1992 oleh mantan presiden Soeharto dan menelan biaya pembuatan Rp 120 miliar itu kini terancam kesulitan dana. Karena itu, ada keinginan pengelolanya untuk menyerahkan Sirkuit Sentul ke kantor Menteri Pemuda dan Olahraga.

Penyerahan Sirkuit Sentul ke pemerintah adalah sebuah antiklimaks. Sebab, ketika dibangun, sirkuit yang dikelola oleh PT Sarana Sirkuitindo Utama milik Tommy Soeharto ini punya cita-cita tinggi, yakni menampung peristiwa olah raga otomotif kaliber internasional. Balap mobil formula, misalnya.

Itulah sebabnya, sarana yang dibangun tak tanggung-tanggung. Lintasannya, misalnya, dibuat selebar 15 meter dengan lapisan aspal impor jenis Porus. Tak mengherankan, banyak pembalap internasional memuji kehebatan sirkuit itu.

Kesulitan ekonomi membuyarkan segalanya. Sekarang, Sentul adalah sirkuit yang lesu. Ketika TEMPO mengunjungi sirkuit yang terletak di sisi Jalan Tol Jagorawi itu, hanya tampak satu spanduk iklan kegiatan drag race. Beberapa lokasi papan iklan tampak tak terisi. Bahkan, lahan kosong di lokasi seluas 74 hektare itu sebagian ditanami singkong dan padi.

Juni lalu, sirkuit ini pernah gelap-gulita karena aliran listriknya diputus pihak PLN. Masalahnya, pengelola Sirkuit Sentul menunggak pembayaran hingga Rp 7 juta.

Pudarnya kejayaan Sentul bukan hanya terlihat dari fisiknya. Dari agenda lomba yang akan diselenggarakan, perlombaan motor Grand Prix dan Super-Bike dunia, yang semestinya berlangsung selama September-Oktober ini, dibatalkan dengan alasan krisis ekonomi.

Beberapa sumber juga menyebutkan, sirkuit ini menyimpan utang. Salah satunya kepada PT Nindya Karya, yang dulu membangun dua tribun di lokasi tersebut. Dari nilai kontrak Rp 5 miliar, pengelola Sentul baru membayar Rp 500 juta.

Karena soal utang itulah, kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga berhati-hati dengan rencana pengambilalihan proyek ini. Tim Kementerian telah menunjuk Asian Appraisal Group untuk mengaudit PT Sarana Sirkuitindo sebelum keputusan terlanjur dibuat. Mereka juga melihat langsung lokasi sirkuit, tribun, rumah sakit, serta fasilitas lainnya.

Pemerintah juga akan meneliti status tanah Sirkuit Sentul melalui Badan Pertanahan Nasional. "Kalau memang belum dibayar, kami tak akan membayarnya," tambah Amrum Bustaman, Asisten Menteri. Agar serah-terima ini jelas, pihak Kementerian Olahraga meminta pihak PT Sarana Sirkuitindo mengajukan proposal tertulis.

Dari sisi pendapatan lewat sponsor, sampai saat ini Sirkuit Sentul mungkin masih aman. Soalnya, kontrak sponsor dilakukan dengan sistem tahunan, seperti yang dilakukan oleh produsen rokok Gudang Garam, yang pada 1998 ini terikat kontrak untuk delapan event reli dan baru akan berakhir pada Desember nanti.

Artinya, sampai tiga bulan ke muka, Sentul masih bisa bernapas. "Setelah itu, akan kami pikirkan apakah dilanjutkan atau tidak," kata I Nyoman Raka, Kepala Bagian Promosi PT Gudang Garam.

Namun, yang jadi persoalan, biaya operasional Sirkuit Sentul tidak bisa ditahan hanya untuk tiga bulan. Dengan biaya per bulan Rp 170 juta, pengelola Sentul tentu sulit memelihara aset mahal ini. Dulu, ketika biaya operasionalnya masih Rp 120 juta, Tinton Suprapto, Direktur Utama PT Sarana Sirkuitindo, secara bercanda mengatakan akan meminta bantuan teman-temannya. Tapi, kalau semua orang berkantong cekak, siapa yang bisa membantu?

Namun, Tinton tetap yakin. "Kami tidak akan menyerahkan utang ke pemerintah. Hanya menyerahkan pengelolaan, bukan kepemilikannya," ujar Tinton pendek. Ia juga menolak jika pihaknya dituduh menunggak utang ke PLN.

Di tangan pemerintah, pencinta olah raga otomotif harus berbagi kegembiraan dengan penonton lain. Sebab, jika sirkuit itu jadi dikelola pemerintah, bukan hanya deru mobil balap yang akan terdengar di Sentul, tapi juga tepuk sorak penonton lomba sepatu roda, atletik, atau lomba layang-layang internasional. Itu rencana pemerintah, kalau jadi.

Arif Zulkifli, Setiyardi, Mustafa Ismail

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus