Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Membeli? Kata itulah yang tepat untuk menggambarkan aktivitas di Yayasan Ibu Suri, tempat tinggal Ismi, yang terletak di sebuah kompleks pemukiman di Bekasi, Jawa Barat. Di dalam rumah berlantai dua yang relatif mewah itu, siapa saja bisa datang dan mengambil Ismi atau bayi-bayi yang ada dengan membayar biaya administrasi kepada pemilik Yayasan, Suryati Fatimah alias Ibu Suri, 45 tahun. Biayanya, "Sekitar Rp 6 juta,?? kata Adriyati, pegawai Bappeda DKI yang ditemui TEMPO sedang memilih satu dari 12 bayi yang ada di Yayasan. Pilihannya kemudian jatuh pada bayi perempuan berusia empat bulan yang tampak tenang dalam dekapannya.
Kegiatan penjualan bayi seperti inilah yang dilakoni Ibu Suri sejak lebih dari 15 tahun lalu. Istri sersan kepala marinir yang berprofesi sebagai bidan ini tak menganggap apa yang dilakukannya itu salah. Bahkan, sepanjang percakapan, ia terus menonjolkan diri bahwa ia telah menolong sesama. Yang ia maksud adalah ibu-ibu hamil yang tak punya biaya untuk melahirkan bayinya.
Jumlah ibu seperti ini, yang menyandarkan harapan pada Ibu Suri, meningkat tiga kali lipat selama krisis moneter ini. Menurut ibu beranak empat ini, ia selalu membuka diri untuk menolong mereka, tak peduli apa latar belakangnya. "Hamil di dalam atau di luar nikah itu urusan agama. Saya tidak mau memojokkan orang. Kalau mau menolong, ya, menolong saja,?? ujarnya enteng. Ibu-ibu hamil yang datang ke yayasan bisa makan dan tidur gratis. Rumah itu bisa menampung sampai 30 orang. Bila saat melahirkan tiba, Ibu Suri sendiri yang turun tangan. Kadang kala, kalau ada kesulitan melahirkan, mobilnya siap mengantar mereka ke rumah sakit. Ia juga yang membayar biaya rumah sakit.
Bayi-bayi yang dilahirkan itu kemudian ditaruh di dalam boks panjang di ruang tamu, sehingga tiap tamu yang datang bisa melihatnya. Beberapa pengasuh bayi membantu mengurus bocah-bocah tersebut. Tentu, si ibu kandung diharapkan menyusui sendiri bayinya, walau Ibu Suri juga menyiapkan susu kaleng sebagai pengganti. Begitu bayi berumur 1-2 bulan, dengan halus bidan lulusan Sekolah Bidan Budi Kemuliaan itu akan mengusir para tamunya. Mereka dipersilakan kembali ke kampungnya dengan dibekali biaya transportasi. Soal bayi, itu sudah menjadi urusan Ibu Suri. Inilah yang terjadi pada Ismi, yang ibunya sudah kembali ke kampungnya di Cianjur, Jawa Barat.
Usaha Ibu Suri ini rupanya sudah diketahui oleh wanita dari pelbagai kota. Wanita berperut gendut dari daerah di sekitar Bekasi, bahkan dari Medan, Bali, hingga Irian, terus mengalir ke sana. Umumnya, mereka wanita berpendidikan rendah yang miskin. Tapi tak semuanya mengandung anak di luar nikah. Uun, 34 tahun, ibu muda asal Karawang, misalnya, yang baru melahirkan bayi laki-laki, mempunyai suami yang sah. Apa daya, pendamping hidupnya yang sudah memberinya tiga anak itu tak punya pekerjaan tetap untuk menghidupi keluarga. Terpaksalah, sejak usia kandungannya enam bulan, Uun hidup di Yayasan. Walau merasa bersyukur bahwa bayinya nanti akan ada yang merawat, tak urung rasa kesedihan yang dalam tergurat di wajahnya. Sambil meneteki Teguh Purnama, anaknya, berulang kali ia menciumi kepalanya. "Moga-moga Teguh diambil orang Islam, kan nanti bisa diajarin sembahyang...,?? ujarnya pelan.
Tentu tak semua seperti Uun. Asih, 24 tahun, misalnya, kini tengah menunggu kelahiran anak hasil hubungan dengan pacarnya. Wanita tamatan SD yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga itu merasa berterima kasih kepada Ibu Suri karena mau menampung anak yang tak ia harapkan itu. Segera setelah melahirkan, ia ingin kembali bekerja. Melupakan pengalaman buruknya. Juga anaknya.
Namun, tak semua ibu bisa melupakan darah dagingnya begitu saja. Jumat pekan lalu, untuk pertama kali setelah sekian tahun berkecimpung dalam masalah penjualan bayi, Ibu Suri terpaksa berurusan dengan polisi. Jacklin, seorang ibu yang melahirkan anaknya delapan bulan lalu di Yayasan, menuntut anak perempuannya kembali. Ibu Suri bersedia menyerahkan asal ia membayar semua biaya yang sudah dikeluarkan, sekitar Rp 15 juta. Karena Jacklin tak bersedia membayar, persoalan ini sampai ke polisi. Akhirnya, Jacklin, yang membawa pengacara, bisa mendapatkan kembali bayinya tanpa mengeluarkan uang sesen pun. Persoalan ini pun dianggap selesai. "Secara hukum yang dilakukan yayasan itu tidak melanggar hukum karena itu dilakukan atas kemauan ibu bayi itu sendiri,?? ujar Kapolres Bekasi, Adjie Rustam Ramdja.
Sebenarnya, apa yang dilakukan Ibu Suri itu lebih banyak mengandung unsur bisnis. Dalam soal pembiayaan, misalnya, ia amat cermat berhitung. Ongkos hidup ibu dan bayi dipatok Rp 50 ribu tiap harinya, biaya persalinan Rp 500 ribu, dan uang transpor untuk ibu sekitar Rp 300 ribu. Dari sini, didapatlah harga Rp 6 juta, yang harus dibayar oleh pembeli seperti Adriyati di atas. Makin lama ibu tinggal di yayasan, makin tua umur bayi, dan makin sulit persalinan, akan membuat bayi itu makin mahal.
Namun, Ibu Suri mengaku tak terlalu kaku kepada pembeli. "Kalau tidak bisa langsung lunas, ya, boleh mencicil. Semampunya berapa,?? kata Ibu Suri, yang mengaku menggunakan mata hatinya untuk menilai apakah pembeli bayinya mampu secara ekonomi atau tidak. Prinsip itu tampaknya harus ia lakukan karena pada saat krisis seperti sekarang, jumlah pembeli tak sebanding dengan bayi yang dilahirkan. Bahkan, ia sampai perlu memasang iklan di Pos Kota.
Rupanya, kegiatan penjualan anak ini sudah diketahui oleh Dinas Sosial Bekasi. "Itu kan menolong anak dan ibunya, jadi baik. Tapi, kami sudah menegurnya dan kami akan segera mengatasinya,?? kata Mohammad Toha, Kepala Dinas Sosial Kodya Bekasi. Ucapan bernada permisif ini jelas bertentangan dengan aturan Departemen Sosial, yang mensyaratkan banyak hal terhadap yayasan yang melakukan pengangkatan anak. "Kami tahu ada beberapa tempat yang melakukan praktek seperti Ibu Suri itu, tapi cukup sulit membasminya. Mereka kan bekerja seperti mafia,?? kata Sugiharsono, Kepala Seksi Anak di Departemen Sosial.
Diah Purnomowati dan Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo