Dr. Mahathir Mohamad sudah lama dikenal sebagai tokoh yang kontroversial. Kejutannya yang terakhir adalah pemecatan, penangkapan, dan penganiayaan yang dilakukan pemerintahannya terhadap Anwar Ibrahim, pemimpin populer didikannya sendiri yang kini meringkuk di tahanan polisi entah di mana.
Dr. M, yang sudah 17 tahun menjadi Perdana Menteri Malaysia, berkilah semua yang dilakukannya itu semata-mata untuk kepentingan bangsa dan dilakukan berdasarkan hukum. Dia seakan-akan lupa--atau berpura-pura tak ingat--bahwa hukum yang digunakannya itu dibuat di zaman darurat. Undang-Undang Keselamatan dan Ketenteraman Negara atau yang lebih dikenal dengan nama ISA adalah produk pemerintah kolonial Inggris ketika menyelamatkan Malaya dari pemberontakan bersenjata komunis, puluhan tahun silam.
Produk seperti ini tentunya tak lazim lagi digunakan di negara yang, antara lain karena kepemimpinan Mahathir, cukup makmur dan damai dibandingkan dengan banyak negara lainnya itu. Bayangkan, mantan wakil perdana menteri Anwar Ibrahim ditangkap bersama 16 pengikutnya oleh satuan polisi bertopeng dan bersenjata mesin kendati tak ada tuntutan resmi yang diajukan pada mereka. Keluarga dan penasihat hukum tak dapat menengok dan tak ada kejelasan kapan mereka akan dibebaskan.
Memang sebagian besar pendukung Anwar Ibrahim itu kini sudah dibebaskan dan mengaku mendapat perlakukan baik dalam tahanan. Tapi bengkaknya mata Anwar Ibrahim yang mengenakan pembebat leher saat disidangkan di pengadilan membuat banyak orang bertanya-tanya benarkah pernyataan "diperlakukan dengan baik" itu atau justru ini menunjukkan betapa mereka telah dibuat begitu takut hingga mau membuat pernyataan apa pun yang diminta polisi.
Pertanyaan seperti ini sepatutnya tidak muncul di tanah yang membanggakan keberhasilan Dasar Ekonomi Baru dalam meningkatkan dan memeratakan kemakmuran hingga ketegangan antarpuak pun mengendur jauh. Sebab, bila benar ketegangan itu telah begitu kendur, bukankah berarti ISA tidak diperlukan lagi? Apalagi dalam menghadapi kelompok Anwar Ibrahim yang jelas-jelas mengampanyekan gerakan damai itu. Mahathir seperti tak mau membedakan antara apa yang disebut ancaman politik dan ancaman keamanan. Gerakan reformasi yang digulirkan Anwar Ibrahim jelas masuk dalam kategori politik.
Kita tidak ingin berpihak dalam pertikaian antara Mahathir dan Anwar Ibrahim karena ini adalah masalah yang harus diselesaikan oleh rakyat Malaysia sendiri. Namun, kita berpihak kepada siapa pun yang jelas-jelas mendapat perlakuan tidak adil dan hak-hak kemanusiaannya dirampas. Betul bahwa di Indonesia pun masih banyak persoalan yang serupa, tapi sokongan kepada para korban ketidakadilan ini memang tak boleh terhambat hanya oleh pagar-pagar batas negara.
Dalam kerangka berpikir seperti inilah sikap bangsa Indonesia terhadap masalah yang terjadi di Malaysia harus dipahami. Sokongan yang muncul bukanlah karena mempunyai tujuan mengacaukan Malaysia atau menggulingkan pemerintahannya. Ini semata-mata hanya mengingatkan bahwa dunia telah mengalami perubahan dan cara-cara lama perlu ditanggalkan. Perangkat hukum yang efektif puluhan tahun silam mungkin kini malah hanya akan menjadi bumerang.
Bahwa Mahathir adalah seorang patriot sejati rasanya tak akan ada yang menafikan. Namun, di negara modern yang berada dalam arus kesejagatan, tingkat kerumitan persoalan telah begitu tinggi hingga tak memungkinkan lagi seseorang--betapapun ia cerdas dan berpengalaman--dapat memegang monopoli definisi apa yang disebut sebagai kepentingan bangsa.
Sebab, sebuah bangsa seperti Malaysia terdiri atas berjuta-juta jiwa dengan aspirasinya masing-masing. Apalagi tingkat kesejahteraannya telah mencukupi kebutuhan sandang pangan yang minimal. Ditambah lagi semakin lama seseorang berkuasa biasanya membuat semakin tebal dan tinggi tembok yang mengisolasikan dirinya dari dinamika arwah rakyatnya.
Maka, jika ada suara-suara kritis dari Indonesia, Mahathir sepatutnya berterima kasih. Sebab, suara-suara itu bukan dimaksudkan untuk menggulingkannya, melainkan semata-mata mencoba merobohkan tembok isolasi yang mengelilinginya.
Supaya ia sadar bahwa di balik tembok itu zaman telah berubah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini