Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Pertemuan Jenggala Gagal

Belasan "partai Islam", dengan segala variasinya, mulai unjuk gigi. Ada yang punya target menolak Pancasila sebagai asas partai. Masihkah diminati umat?

12 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROFESOR Ismail Suny boleh merasa kecewa. Gagasannya untuk mengumpulkan tokoh Islam "modernis" yang ramai-ramai mendirikan partai politik ternyata gagal. Padahal, di rumahnya, di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, belum lama ini, para panutan itu sudah sempat bertemu. Ada M. Amien Rais dari Partai Amanat Nasional (PAN), Deliar Noer (Partai Umat Islam), Buya Ismail Hasan Metareum (PPP), dan bos Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra. "Karena semuanya pengen jadi presiden, jadinya enggak ada titik-temu, ha-ha-ha...," ujar Suny kepada TEMPO.

Kenapa hanya kaum "modernis" yang umumnya (atau, istilah Yusril Ihza, secara grand idea) berkiblat pada Masyumi? Tadinya Suny punya rencana mengajak serta ulama "tradisionalis", termasuk dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU). "Tapi tidak berhasil," kata Suny. Skenario Jenggala--ini alamat rumah Suny--berubah total. Apalagi perkembangan politik belakangan ini menampakkan kemungkinan terjadinya koalisi antara petinggi NU Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, figur sentral Partai Kebangkitan Bangsa, dan Ketua PDI Perjuangan Megawati. Para pengamat menyebut koalisi mereka sebagai "gandeng tangan Islam tradisional dengan kekuatan nasionalis."

Tentu saja, kalau koalisi itu benar-benar terjadi, keduanya bisa merupakan kekuatan politik yang dahsyat--memenangi pemilihan umum dan membentuk pemerintahan. Maka, kelompok yang berseberangan dengan mereka, termasuk "kaum modernis muslim", dikhawatirkan Suny, akan tersingkir dan menjadi oposisi. Bisa jadi malah bergandengan dengan Golkar, yang kini dipimpin Akbar Tandjung, tokoh yang lebih kental dengan kemodernan. Karena itulah Suny, dan konco-konconya, bermaksud menyusun strategi persatuan "demi umat". "Dengan begitu, mereka bisa memenangi pemilu nanti," kata tokoh Golkar dan Muhammadiyah ini. Atau setidaknya, "Agar para pendukung partai Islam itu tidak gontok-gontokan."

Tak jelas kenapa gagasan Suny tak bergitu disambut hangat. Mungkin saja para tokoh itu sudah telanjur mengikatkan diri dalam sebuah wadah khusus. Namanya forum silaturahmi partai-partai Islam, yang terbentuk pada 28 September lalu. Sejauh ini, sudah ada enam partai yang bergabung: Partai Keadilan, Partai Islam Persatuan Indonesia, Partai Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Tharikat Islam Indonesia, dan Partai Ummat Islam. Keenamnya secara eksplisit mencantumkan Islam sebagai "asas", "ciri khas", atau "akidah" partai. "Kami semua secara eksplisit menggunakan dasar atau berasaskan Islam," kata Nur Mahmudi, Presiden Partai Keadilan--istilah ini untuk mendesakralkan presiden.

Pancasila? Itu dasar negara, bagi para tokoh forum silaturahmi, bukan harus menjadi asas partai. "Itu kan interpretasi politik Orde Baru yang salah," kata Yusril Ihza, Ketua Partai Bulan Bintang, yang juga pakar hukum tata negara. "Penolakan" terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam berpartai dan berormas itulah yang kini mereka gembar-gemborkan dalam safari kunjungannya ke pelbagai instansi.

Sehari setelah wadah ini terbentuk, forum langsung menemui Fraksi Persatuan Pembangunan dan Utusan Daerah. Awal Oktober lalu, mereka bertemu dengan Majelis Ulama Indonesia. Puncaknya, menghadap Presiden B.J. Habibie. Sekelompok partai--yang secara hukum dan konstitusional menilai pemerintahan Habibie absah--ini menuntut dicabutnya peraturan ihwal keharusan parpol berasas Pancasila.

Agenda kelompok silaturahmi ini memang begitu kental dengan segala yang berbau Islam--kalau bukan nama partainya, ya, idiom yang digunakannya. Lain halnya PKB, dengan basis massa NU, yang notabene mencantumkan Pancasila sebagai asas partai. Tak ada masalah. Mungkin PKB masih merujuk posisi negara di mata para ulama dan kiai NU terdahulu. "Bagi kami, masalah negara sudah final," kata Matori Abdul Jalil, Ketua Umum PKB. Mereka pun tak hendak mempersoalkan "negara kesatuan", sebagaimana misalnya PAN, yang membuka wacana tampilnya "negara federal".

Peta bumi partai Islam ini--dengan segala variasi bentuk dan agenda politiknya--tentu bakal punya daya tarik tersendiri bagi massa pendukungnya: kaum muslimin. Tapi, sebelum terjebak dalam gebyar umat yang belum jelas betul fanatismenya, agaknya pernyataan cendekiawan Nurcholish Madjid menarik dicermati. "Benar bahwa 90 persen orang Indonesia beragama Islam. Tapi tidak mungkin yang 90 persen itu akan menjadi anggota partai Islam," kata Cak Nur. Jika pendapat ini diteruskan, akan timbul "Islam antropologi", menjadi "politik aliran" atau "politik santri". Padahal, ada orang Islam yang memilih Golkar atau partai "umum" lainnya (lihat tabel).

Lalu, kalau dikalkulasi, siapa bakal unggul di antara 60-an partai, termasuk belasan partai Islam, yang sudah terdaftar di Departemen Dalam Negeri? Setelah termenung sejenak, Cak Nur yang tokoh ICMI ini punya jawaban: Golkar memang susah meraih suara 70 persen sebagaimana "masa jayanya", tapi masih mampu meraih 30 persen suara. PDI Perjuangan sekitar 15-20 persen--sama kansnya dengan PKB dan PAN. Partai Bulan Bintang (PBB) disokong sekitar 10 persen. "Bagaimanapun, Golkar partai yang paling mapan," kata Cak Nur kepada TEMPO. PKB masih mengharapkan massa tradisionalnya yang loyal. Begitu pula PDI Mega. Sisanya dibagi rata antara PAN dan PBB. Sedangkan Suny meramalkan Golkar dan Mega sama-sama meraup 30 persen suara. Partai Islam "modernis" dan "tradisionalis" tadi akan berebut 30 persen suara. Dan sisanya, 10 persen, akan dikeroyok partai gurem lainnya.

Jika begini posisinya, akan susah bagi partai Islam untuk memenangi pemilu. Karena itu, jauh-jauh hari Nurcholish menegaskan kembali sikapnya yang pernah mencuat pada 1970-an: tak setuju partai Islam. Lo? "Ini kan menyebabkan Islam menjadi agama partisan, bukan agama nasional yang dimiliki semua orang," katanya, sengit. Toh, sikap para pendiri partai Islam bukan lagi eksklusif. "Boleh saja kami terbuka bagi penganut agama lain untuk bergabung," kata Deliar Noer. Bahkan, mereka bisa juga menjadi pengurus. Asal bukan ketuanya, ya, Pak Deliar?

Wahyu Muryadi, Ardi Bramantyo, Iwan Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus