Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada usia 38 tahun, ia mengundurkan diri dari ring tinju. Floyd Mayweather Jr. bukan orang spiritual semacam George Foreman, yang menjadi pendeta setelah gantung sarung tinju. Ketenaran, uang, mobil sport mutakhir, perempuan cantik, dan pesawat pribadi silih berganti mengisi kehidupannya yang keras tapi gemerlap itu.
Mayweather sangat "duniawi", tapi penuh perhitungan—termasuk kalkulasi tentang saat yang tepat untuk pensiun. "Rekor diciptakan untuk dipecahkan. Mudah-mudahan kita akan menyaksikan Floyd Mayweather berikutnya yang dapat memecahkan rekor ini. Dan saya (selaku promotor) ingin menjadi bagian dari ini," katanya setelah kemenangannya yang terakhir, di Las Vegas, melawan juara sementara kelas welter Asosiasi Tinju Dunia (WBA), Andre Berto, petinju keturunan Haiti, dua pekan lalu. Dengan kemenangan itu, Mayweather tak terkalahkan dalam 49 pertandingan—sebuah rekor istimewa yang menyejajarkannya dengan legenda tinju sepanjang zaman, Rocky Marciano.
Banyak yang ragu terhadap keputusannya pensiun, mengingat begitu melimpahnya uang yang mengalir ke kantong sang petinju dalam setiap pertandingan. Mayweather adalah olahragawan dengan bayaran tertinggi di dunia. Selama bertinju di ring profesional, ia berhasil meraup US$ 800 juta atau sekitar Rp 11,4 triliun. Namun kunci keberhasilannya terletak pada kesabaran dan ketenangannya dalam bertinju. Ia seorang petinju bergaya bokser dengan taktik pertahanan yang luar biasa.
Sama-sama tak terkalahkan, gaya bertinju Mayweather berseberangan dengan style "si dagu besi" Rocky Marciano—seorang slugger and brawler yang berpedoman maju terus, pantang mundur, menekan lawan sambil melontarkan pukulan. Gaya bertahan ortodoks Mayweather itu diajarkan ayahnya, Floyd Mayweather Sr., dan pamannya, Roger Mayweather, di ring tinju amatir. Ia menaikkan bahu kirinya hingga menempel ke pipi. Tangan kirinya diturunkan sejajar dengan perut, sementara tangan kanan sedikit agak naik untuk memblok dan menangkis pukulan lawan dari arah kanan.
Pertahanan itu didukung footwork yang sangat bagus ke kiri-kanan, maju-mundur, memancing tensi lawan untuk maju menyerangnya. Pada momentum inilah Mayweather mundur selangkah (back step) ke kiri atau kanan sambil melontarkan pukulan hook, jab, atau straight. Kalau pukulan balasan ini mengena, ia akan melangkah maju seraya melontarkan kombinasi jab, hook, straight, dan uppercut.
Dengan cara itulah dia menyesuaikan diri dengan taktik apa pun yang diterapkan lawannya. Dengan terus bergerak ke kiri-kanan (sidestep) sepanjang pertarungan, ia membuat lawan kehilangan sasaran. Ini sebuah taktik bertahan yang benar-benar manjur, tapi kerap tak bersahabat dengan harapan audiens akan "drama" atau agresivitas di atas ring layaknya pertarungan dua gladiator. Dalam pertandingan tinju profesional, knockout atau technical knockout menyimpan daya tarik sangat besar bagi audiens.
Jelas sekali, Mayweather bukan Mike Tyson, yang senantiasa siap merobohkan lawan pada ronde-ronde awal dengan pukulan geledeknya. Kemenangan KO terakhir Mayweather, di MGM Grand, Las Vegas, manakala melawan Victor Ortiz pada 2011, pun masih diwarnai kontroversi. Hook kiri Mayweather menyambar wajah Ortiz, yang belum lagi siap untuk melanjutkan pertandingan setelah wasit menghentikan match barang sesaat. Terpana oleh serangan di luar dugaan itu, Ortiz pun mendapat pukulan kedua Mayweather, yang membuatnya tersungkur.
Mayweather juga bukan petinju seperti Muhammad Ali, yang pandai "menari" mengitari ring bagai kupu-kupu dan menyengat dahsyat bagaikan lebah. Bagi Mayweather, tinju bisa disederhanakan sebagai gaya berkelit, menangkis, menyempitkan ruang pukul lawan, sambil sesekali melontarkan pukulan. Dengan gaya seperti itu, ia tidak hanya keluar dari ring tinju tanpa wajah biru lebam—sehingga dijuluki "The Pretty Boy"—tapi juga menolak sistem yang mendudukkan tinju sebagai hiburan berdarah semata.
Hubungan Mayweather dengan audiens pencinta tinju memang tak begitu mesra. Tak ada tepukan tangan panjang atau dukungan penonton yang meneriakkan namanya di sepanjang pertandingan ataupun setelah wasit mengangkat tangannya sebagai pemenang. Namun sosok Mayweather, yang sudah terbentuk sejak masa remaja di Grand Rapids, Michigan, Amerika Serikat—sejak anak-anak sebayanya larut dalam kecanduan narkotik, sementara dia berlatih di sasana tinju setempat—tak mudah berubah. Dengan gaya bertahan seperti di atas, Mayweather Jr. bertarung 90 kali—dengan catatan mengesankan: 84 kali menang (27 kali KO) dan enam kali kalah di ring tinju amatir. Ia memenangi Golden Glove atau Sarung Tinju Emas pada 1993, 1994, dan 1996.
Namun, pantas dicatat, di balik gemerlap hidupnya sekarang, kehidupan Mayweather dibayang-bayangi masa lalu yang kelam. Ia lahir di Grand Rapids pada 24 Februari 1977. Ia tak punya pilihan selain bertinju. Ia dibesarkan dalam keluarga petinju. Ayahnya petinju kelas welter yang pernah bersaing dengan Sugar Ray Leonard. Pamannya, Jef Mayweather dan Roger Mayweather, juga petinju.
Mayweather mengenang, sewaktu dia kecil, ayahnya sering membawanya ke sasana dan mengajarinya tinju—berbeda dengan anak-anak lain, yang dibawa ayahnya ke taman, nonton bioskop, atau makan es krim. Pada umur sembilan tahun, ia pindah ke New Jersey dengan ibunya. "Listrik di tempat kami sering padam (karena keluarganya tidak mampu membayar)," ujar Mayweather. Ia mengalami masa paling kelam saat putus sekolah dari Ottawa Hills High School, New Jersey. Ibunya menjadi pecandu narkotik dan bibinya meninggal karena AIDS, juga lantaran narkotik.
Berpuluh tahun berselang, kekerasan cukup kerap mewarnai hidup Mayweather. Pada 2002, ia didakwa melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan, karena itu, menerima hukuman percobaan enam bulan dua hari serta mesti melakukan 48 jam pelayanan masyarakat. Pada 2004, penahanannya selama setahun di penjara ditangguhkan. Tapi ia harus menjalani konseling untuk "sikap cepat marah" dan membayar denda US$ 1.000 atau Rp 14 juta lebih (atau melakukan seratus jam pelayanan masyarakat) karena kekerasan terhadap dua teman wanitanya.
Dia tidak pernah menyangkal apa yang telah dilakukannya, juga tak berusaha keras menjelaskan. "Orang tidak tahu 'neraka' yang telah saya lalui," tutur Mayweather, yang dikenal arogan terhadap media dan bisnis tinju di Amerika, lirih. Ya, di mana-mana, termasuk di pelosok-pelosok Nusantara, tinju bukan sekadar olahraga, melainkan juga sarana bagi anak muda buat keluar dari keterpurukan ekonomi untuk menjangkau dunia yang gemerlap dengan ketenaran dan uang. Mayweather berhasil melewati semua itu dengan baik dan meninggalkan legasi: petinju tidak harus menyudahi pertandingan dengan wajah lebam.
Agus Baharudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo