Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Saya Tidak Mau Sembarangan Main Hantam

21 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa hari belakangan, tanda pagar #melawanasap jadi topik terhangat di situs microblogging Twitter. Musababnya adalah adanya puluhan ribu kicauan para tweeps—"penduduk" Twitter—yang mengeluhkan kian tebalnya kabut asap hasil pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Yang membikin penduduk resah, asap bahkan sampai menyusup ke rumah mereka, juga rumah sakit.

Kabut asap yang melanda sebagian wilayah barat Indonesia dan negara tetangga itu memang kian membahayakan. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan kualitas udara di Provinsi Riau dan Sumatera pada umumnya semakin buruk. Ini bisa dilihat dari indeks standar pencemaran udara kota-kota di Pulau Andalas yang tergolong bahaya dan sangat tidak sehat.

Pemerintah pun akhirnya menetapkan status darurat asap di Provinsi Riau. Sejumlah 20 pesawat pengebom air dan pembentuk awan hujan dikerahkan untuk memadamkan titik-titik api. Namun itu saja tak cukup. Banyak kalangan masih mempersoalkan sikap pemerintah yang terlalu adem menghadapi ulah keterlaluan para pembakar hutan dan lahan itu.

Jeritan warga itu bukannya tak disadari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. Karena itu, ia mendesak BNPB menetapkan status darurat di Riau. "Karena kan memang masyarakatnya sudah gila-gilaan. Itu kalau tidak diturutin, demo, kali. Jangan-jangan kantor gubernurnya diduduki," kata Siti saat menerima wartawan Tempo Tulus Wijanarko, Isma Savitri, Prihandoko, Rusman Paraqbueq, Untung Widyanto, dan Denny Sugiharto serta fotografer Frannoto di ruang kerjanya di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Jumat pagi pekan lalu.

Dalam wawancara yang berlangsung sekitar satu setengah jam itu, Siti blakblakan berbicara soal upaya pemerintah mengusir asap dari langit Nusantara. Menurut dia, banyak hal terkait dengan sistem dan birokrasi yang mesti diubah demi membikin jera para penjahat kabut asap. Salah satunya dengan memastikan pelaku pembakaran lahan dan hutan mendapat ganjaran setimpal jika kasusnya berujung di pengadilan.

Pemerintah dinilai telat menangani asap karena kondisinya telanjur parah di mana-mana. Sebenarnya seperti apa koordinasi penanganannya?

Saya memang semula berkonsentrasi di Riau. Atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat, akhirnya berkonsentrasi juga di Sumatera Selatan. Jambi sebelumnya tidak saya hitung karena coverage vegetasinya bagus. Saya berkonsentrasi ke Riau karena selama belasan tahun kawasan ini terkenal tidak beres. Tapi, setelahnya, saya juga menghitung Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Jambi. Ketika saya sedang berada di Norwegia, asap dari Sumatera Selatan dan Jambi deras. Dilihat dari datanya, area terbakar paling besar memang Sumatera Selatan, mencapai 40 ribu hektare.

Sesuai dengan struktur, induk penanganan asap adalah Undang-Undang Bencana Alam. Nah, yang terjadi sebelum ini, penanganannya jalan sendiri-sendiri. Saya enggak mau seperti itu, jadi akhirnya kami mengintensifkan koordinasi. Pada Desember tahun lalu, kami berkoordinasi dengan Bareskrim (Badan Reserse Kriminal) dan BNPB, juga swasta. Ini karena saya berpandangan bahwa pemberian izin mesti diikuti instrumen kontrol. Gubernur berinteraksi, sementara swasta juga harus bertanggung jawab.

Selama ini koordinasi dengan kepala daerah seperti apa?

Saya sudah terus-menerus mengontak gubernur. Sudah begitu saja masih jebol.

Koordinasi penanganan asap dan kebakaran ada di BNPB, tapi seperti apa batasnya?

Enggak, bukan. Pengendalian kebakarannya itu di kami. Tapi, ketika dikatakan muncul gejala bencana atau kemudian terjadi bencana, ya itu di BNPB.

Berarti perlu ditetapkan status bencananya dulu, baru bisa mengambil langkah penanganan?

Yang di waktu lalu, iya begitu. Tapi, setelah saya di LHK, saya minta kepada Kepala BNPB agar pengertian darurat diubah. Tidak menunggu sudah terbakar semua baru disebut darurat. Saya juga minta, kalau ada indikator yang mengarah ke posisi itu, kita harus menamakan statusnya pra-darurat. Mereka sepakat, dan menamakan kondisi itu siaga darurat. Buat saya, apa pun namanya, yang penting ketika hotspot-nya tinggi dan pencemaran udaranya naik, kita bareng-bareng menanganinya.

Betulkah Anda marah karena sempat ada gubernur yang menolak menetapkan status itu?

Bukan. Waktu itu saya marah karena soal kanal. Kalau yang darurat kemarin itu memang saya insisting juga. Karena kan memang masyarakatnya sudah gila-gilaan. Itu kalau tidak diturutin, demo, kali. Jangan-jangan kantor gubernurnya diduduki.

Mengapa proses pemadaman asap oleh pemerintah terkesan lama?

Memperkuat legitimasi negara itu butuh teknologi juga, apalagi untuk Indonesia yang sangat luas. Sebetulnya enggak fair kalau kemarahannya itu kepada pemerintah pusat. Sebab, mandat menjaga wilayah kan sebetulnya tugas kepala daerah. Jadi ujung persoalan ini adalah kita memang harus memperbaiki sistem pemerintahan dan birokrasi.

Dari penelusuran kami, kebakaran itu terjadi di lahan gambut Riau yang begitu banyak. Secara teori itu bisa diatasi kalau gambutnya tidak kering. Saya amati juga di lapangan, memang gila-gilaan karena konsesi areanya disodet abis. Kerapatan drainase per areanya tinggi banget.

Ada pemetaan gambut sesuai dengan kedalamannya juga?

Ini baru akan kami teliti. Selama ini sih belum ada karena kedalaman baru bisa dilihat dengan LiDAR. Itu teknologi yang baru akan kami minta adakan. Tapi dengan kerapatan yang tinggi itu gambutnya jadi kering karena airnya habis, kan. Nah, karena itu kami ada ide agar ini disekat kanal di area konsesi. Swasta sih sudah kami suruh bikin dan sebagian dari mereka sudah menyekat kanal agar kerapatan drainasenya berkurang.

Pada Mei, saya minta Badan Nasional Penanggulangan Bencana membantu pemerintah daerah. Kami minta kanal, tapi sesuai dengan struktur birokrasi yang mengerjakan kan harus pemda. Yang terjadi, sejak Mei sampai Juli, enggak jadi juga. Saya akhirnya ngotot, dan pada Juni kenceng banget minta tolong. Tapi pemda tidak berani karena takut kena sanksi hukum. Kata mereka, apa hubungannya kanal dengan bencana? Jadi ada persepsi seperti itu di kalangan birokrat yang menghambat pengambilan keputusan di gubernurnya.

Anda sampai menelepon Gubernur Jambi ya gara-gara itu?

Iya, tengah malam saya telepon. Karena saya dulu di Kementerian Dalam Negeri, ya, jadi lebih familiar pada situasi pemda. Jadi, ketika Gubernur Jambi bilang bahwa bawahannya menyebutkan penyekatan kanal belum bisa dilakukan, saya minta dia melihat kondisi dan data, memakai instrumen, dan mendengarkan apa yang dipersoalkan masyarakat. Akhirnya saya bilang gini, "Elu kerjain atau gue laporin elu ke Presiden kalau elu enggak perform sebagai gubernur." Keesokan paginya akhirnya jalan.

Telepon itu bukan untuk meminta gubernur mengeluarkan status siaga asap?

Bukan. Itu masih akhir Agustus. Kalau yang di Riau sebetulnya kan manageable sampai terakhir. Yang jebol kan yang di Sumatera Selatan. Ketika Presiden datang kan hotspot-nya tinggi, Jambi juga, dan kemudian asapnya terbawa angin sampai ke Riau dan terakumulasi di sana.

Langkah apa yang akan diambil pemerintah dalam waktu dekat?

Kasus yang di kepolisian kan sudah jalan. Kalau yang administratif, setelah saya selesai melakukan pemetaan, PPLH-nya baru akan kami panggil sebelum mereka turun ke lapangan. Kami juga akan memberi tahu perusahaan yang dianggap bermasalah, dengan indikasi kebakaran di area mereka seperti apa. Setelah kami melakukan klarifikasi, berita acaranya baru akan keluar. Di LH sendiri sanksinya berlapis, dari administrasi paksaan, pembekuan, sampai pencabutan izin lingkungan.

Presiden pernah bilang pemberian izin kepada perusahaan-perusahaan ini harus dikaji ulang....

Sebenarnya ada evaluasi reguler. Mengkaji izin kan tidak gampang karena ada belasan ribu permohonan.

Dari sejumlah perusahaan yang sudah diidentifikasi oleh pemerintah, seperti apa saja profilnya?

Kami pakai teknologi analisis citra indra jauh, ternyata ada 149 perusahaan di pemanfaatan hutan dan perkebunan dari lahan pelepasan hutan. Nah, yang lahan dengan hak guna usaha itu ada 147 perusahaan.

Bagaimana menentukan nama 147 dan 149 perusahaan?

Kami memakai hitungan yang lebih toleran. Yang dihitung yang terbakarnya 10 hektare ke atas aja. Dari situlah ketemu jumlah entitas 149 dan 147.

Dari beberapa temuan warga dan sejumlah lembaga nirlaba, ada beberapa perusahaan, baik APP Group, Wilmar, maupun lainnya, yang berulang kali mengalami kebakaran di daerah konsesinya. Apakah ini juga masuk temuan kementerian?

Iya.

Apa tindakan untuk mereka?

Saya enggak mau spesifik menyebut nama. Tapi seperti apa sanksi untuk entitas, apakah teguran dan diminta melengkapi persyaratan, dibekukan, dicabut izinnya, ataukah dibawa ke ranah pidana atau perdata, kami sampai berlapis-lapis bikin telaahnya. Untuk memutuskan itu, kami turun ke lapangan dengan berita acara perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH), karena itu yang paling ampuh.

Selama ini yang kena lebih sering pembakar hutan. Dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup, apakah perusahaan akan lebih mudah kena?

Iya, kena. Bisa di administrasinya.

Seperti penanganan atas kasus PT Kallista Alam, yang membakar hutan dua tahun lalu—dan akhirnya didenda Rp 366 miliar?

Itu kami jadikan referensi. Saya sudah mengajak Kejaksaan Agung bareng-bareng membereskan masalah ini. Dengan Badan Reserse Kriminal sebenarnya sudah bareng, tapi memang ada tujuh kasus yang mereka tangani dan ada yang masih di kami. Sudah saya bilang ke direktur jenderal, apa yang sudah diolah Bareskrim dan Polda lepas saja. Tapi kami berikan backup materinya.

Sudut pandang penanganan antara Kementerian Kehutanan dan polisi sudah sama?

Kalau yang "sebelah sana" saya enggak tahu. Tapi yang di kami akan dibuka mana yang pidana. Kayak PT Nasional Sagu Prima, itu kan masuk pengadilan tapi produksinya jalan terus. Ini berarti ada instrumen yang belum jalan, yakni hukum administratif yang harus kita jalankan sekarang.

Apa kriteria menentukan berat-ringannya pelanggaran lingkungan sebuah perusahaan?

Di sinilah pentingnya referensi empiris. Akhirnya kami pakai kriteria, yang melakukan pembakaran di bawah 100 hektare, kami tegur dulu. Selanjutnya kami meneliti apakah mereka punya menara api, berapa jumlah unit peralatannya, dan personelnya harus berapa. Selanjutnya akan kami minta mereka memperbaiki diri sampai akhir Oktober. Di situ akan ketahuan dia berniat baik atau tidak.

Bagaimana dengan kategori perusahaan yang kegiatannya dibekukan?

Ini tergantung, setelah kami melihat ke lapangan. Sebab, dari hasil klarifikasi lapangan, ketahuan mana yang bisa ditarik ke pidana atau tidak. Kalau yang kebakarannya berat, di atas 500 hektare, masuk ke pidana.

Audit kepatuhan UKP4 (Oktober 2014) di Riau menyatakan ada 17 perusahaan yang diketahui tidak punya peralatan pemadam kebakaran. Personelnya juga hanya sedikit.

Iya, memang yang kayak gitu-gitu, tuh. Betul. Tapi, terus terang, memang di peralihan rezim begini enggak gampang transfer data dan dokumen. Soal ini saya banyak baca dari mana-mana, termasuk dari media. Tapi data kolektif yang bisa dijadikan pegangan susah mengumpulkannya. Makanya saya bilang kami kerja dulu sesuai dengan pola kami, nanti sambil jalan kalau ada tambahan data akan kami kumpulkan.

UKP4 menyarankan penindakannya multidoors. Artinya bisa pakai undang-undang apa saja, yang penting bisa mengenai mereka yang bersalah.

Sudah. Tapi itu mesti dikaji lebih mendalam dan kondisi empirisnya jalan. Sebab, kalau tidak ada kondisi empirisnya, kami susah untuk memutuskan. Nah, dengan adanya tekanan seperti sekarang, setelah LH dan Kehutanan menyatu, berarti kita bisa memakai undang-undang LH, termasuk untuk perkebunan.

Dalam kasus PT Kallista Alam di Rawa Tripa, LHK menang di pengadilan Meulaboh karena undang-undang itu dipakai. Ini kan contoh bahwa kejahatan pembakaran hutan bisa dibawa ke pidana.

Saya bukan membela diri, tapi di dalam prosesnya mungkin eksplorasinya saja yang belum jalan. Pada 2012, 2013, dan 2014 juga ada beberapa kasus. Waktu itu memang pakai undang-undang LH karena yang mengurus memang divisi LH. Nah, itu enggak ada eksplorasi. Baru setelah ribut-ribut, muncul ide agar dieksplorasi.

Apa kekurangan kebijakan-kebijakan sebelumnya?

Pemberian izinnya tidak diikuti oleh kontrol.

Idealnya pemda yang mengontrol?

Ada otoritasnya. Itu ada skema perizinannya dan diatur oleh peraturan menteri.

Yang terlibat pembakaran hutan ini kan perusahaan-perusahaan besar. Apa kesulitan pemerintah menindak mereka?

Kalau yang sekarang, saya enggak merasa ada kesulitan. Sebab, Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat juga kokoh mendukung, jadi saya anggap political will-nya ada. Kami enggak ada beban sama sekali.

Yang ditunggu warga kan pencabutan izin sementara.

Iya, itu ada. Ada kemungkinan Senin keluar untuk empat perusahaan. Tadinya saya minta Jumat, tapi ternyata mereka (personel Kementerian kehutanan–redaksi) terhambat pesawat. Mereka ini dua ke Riau, dua ke Sumsel. Kan, enggak mungkin kami mengeluarkan sanksi administratif tanpa berita acara lapangan. Rabu mungkin kami akan mengirim sekitar 70 PPLH untuk mengamati 286 entitas. PPLH itu didampingi polisi hutan dan pejabat fungsional lain dari Kementerian LHK.

Inisialnya apa saja empat perusahaan tersebut?

Ada HSL, yang harus dicabut izin lingkungannya karena lahan yang terbakar lebih dari 2.000 hektare.

Kalau PT Bumi Mekar Hijau?

BMH kan sudah di polisi, jadi kami lepas dan kasih datanya saja. Kami akan mengurus yang lain karena ada aspek lain yang mereka salah juga.

Seperti apa proses pencabutan izin lingkungan?

Kami nanti memakai hukum administratif, juga second layer law enforcement. Jadi yang otoritas izinnya di bupati akan kami rekomendasikan ke bupati untuk dicabut. Tapi, karena sudah ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, kewenangannya di gubernur. Kalau misalnya kepala daerah tidak melakukan rekomendasi kami, kami pakai second layer saja, law enforcement. Kalau kepala daerahnya menolak rekomendasi kami untuk mencabut izin, ada instrumen lain, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Undang-undang itu mengatur soal kepala daerah yang melanggar sumpah janji jabatannya atau yang kebijakannya menyakiti rakyatnya.

Ada kasus 2014 yang sudah ditangani penyidik dan statusnya P19, tapi setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melebur malah belum ada perkembangan...

Ya, kan saya baru beberapa bulan di sini. Tapi, yang jelas, tidak ada kasus yang dipetieskan.

Warga juga menuding Kementerian takut. Ini karena beberapa perusahaan yang diusut itu masuk grup besar.

Enggak, enggak. Saya kan sudah 35 tahun jadi birokrat, dan anak sekolahan juga. Jadi saya tidak mau sembarangan main hantam, main tabrak, karena ini berdimensi hukum. Kami juga kebetulan sedang menata organisasinya. Kalau saya mau ngaco-ngaco, ngapain saya membikin Direktorat Jenderal Penegakan Hukum, yang berarti saya harus terdepan memegang integritasnya?

Saat ini kami sedang mengembangkan sistem dan pendataannya. Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan Duta Besar Amerika kemarin menawarkan bantuan, dan kami minta cara forensik kebakaran: latihan, referensi, kemudian regulasi-regulasi. Saya sih tidak berkiblat ke Amerika atau ke mana pun, tapi kan mereka punya cukup pengalaman dengan kebakaran lahan di Amerika.

Singapura juga menawarkan bantuan seperti Amerika, tapi tidak diterima.

Mereka membantunya satu pesawat doang, padahal kita sudah punya 25. Kalau saya sih kepentingan ini kan sudah ditangani bareng, kok tiba-tiba masuk satu pesawat? Terus, kalau pesawat itu masuk, mau ditaruh mana? Jadi saya tidak melihat tawaran bantuan mereka harus diambil. Tentu keputusannya bukan di saya karena saya sudah konsultasi dengan Presiden dan Menteri Luar Negeri.

Apakah adanya perusahaan Singapura jadi pertimbangan tawaran pemerintah sana tak diambil?

Mempertimbangkan artinya apa? Menteri Lingkungan Hidup Singapura memang sempat telepon saya Senin lalu. Dia minta kita menaruh perhatian soal asap dari kebakaran hutan, penegakan hukumnya, dan tawaran bantuan tersebut. Saya bilang kita sudah sangat serius dan bekerja keras menangani ini.

Saya tidak omong kosong karena pada Juni, ketika mereka menggelar SEA Games, saya ikut menjaga Riau selama dua minggu. Itu sebetulnya bisa dikontrol dengan monitor hotspot dan monitor indeks standar pencemaran udara. Dua instrumen itu saja sudah bisa mengontrol kami mengambil keputusan. Saya bilang kepadanya, sewaktu SEA Games, "Kamu saya jagain." Yang ini saya lebih serius karena menyangkut rakyat Indonesia juga. Sekarang tentara dan polisi juga terlibat, jadi biarkanlah kami bekerja dengan itu.

Ada pembicaraan soal perusahaan Singapura terkait dengan kebakaran lahan?

Dia minta daftar nama yang berkaitan dengan perusahaan pembakar. Saya bilang oke, kalau nanti sudah mendapatkan profilnya. Kan, ini banyak ya, dari 149 dan 147 entitas berarti profilnya mesti dikumpulin satu per satu. Nanti kami kasih saja. Tapi saya mau kasihnya lewat Menlu.

Yang diminta hanya khusus untuk perusahaan yang berdomisili di Singapura?

Bukan. Dia tidak bilang berdomisili. Dia bilang berkaitan. Apakah manajemen, pengarahan, ataukah finance.

Tidak akan tumpang-tindih kalau mereka juga melakukan penegakan hukum?

Kena mereka itu. Makanya saya mesti tanya Menlu dulu. Sebab, mereka punya undang-undang yang mengatakan bahwa siapa pun warga yang menyebabkan kebakaran hutan, apakah warga negara Singapura atau warga negara lain, dapat dikenai sanksi hukum Singapura, diadili di sana. Nah, yang saya khawatirkan kalau saya sembarangan ngomong ini-itu, begitu ada orang kita ditangkap di bandara, kan kacau.

Kebakaran di lahan gambut kan restorasinya lama sekali, sementara di situ ada keanekaragaman hayati yang luar biasa. Apa rencana Kementerian untuk memperbaiki yang sudah rusak ini?

Yang sudah jelas kan moratorium. Mungkin, dengan adanya peristiwa ini, dipermanenkan saja moratoriumnya. Kedua, untuk memperbaiki ekosistem gambut, kita harus memetakan dulu kedalamannya dengan radar. Sedangkan untuk mempelajari hidrologi menggunakan LiDAR. Ketiga, sumber air di ekosistem gambut itu semestinya tidak diapa-apain sama sekali. Disodet saja seharusnya tidak boleh. Nah, itu hanya bisa terdeteksi dengan teknologi khusus.

Siti Nurbaya Bakar
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 28 Agustus 1956 Organisasi: Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah RI (2006-2013), Ketua DPP Partai NasDem (2013-sekarang) Karier: Pengajar Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (1981-1983), Kepala Subdirektorat Analisis Statistik Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Lampung (1983-1985), Kepala Seksi Penelitian Fisik Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Lampung (1985-1988), Kepala Seksi Pengairan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Lampung (1988-1990), Kepala Seksi Tata Ruang Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Lampung (1990-1995), Kepala Bidang Penelitian Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Lampung (1995-1996), Kepala Bidang Prasarana Fisik Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Lampung (1996-1998), Wakil Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Lampung (1998-2001), Kepala Biro Perencanaan Kementerian Dalam Negeri (2001-2004), Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (2011-sekarang), Dewan Komisaris Pusri (2014-2019), Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (2014-sekarang) Pendidikan: S-1 Institut Pertanian Bogor (1979), S-2 International Institute for Aerospace Survey and Earth Science Belanda (1988), S-3 Institut Pertanian Bogor dan Siegen University, Jerman (1998) Penghargaan, di antaranya: Pegawai Negeri Sipil Teladan (2004), Bintang Jasa Utama (2011)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus