Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Ali Wardhana, Jejak Kebijakan Keuangan Indonesia

21 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Membaca jejak kebijakan fiskal dan keuangan di Indonesia seperti membaca riwayat Ali Wardhana. Tapaknya begitu panjang. Ia tak ingar-bingar, tak meledak-ledak. Namun, ketika korupsi di Bea dan Cukai berlangsung begitu masif, ia mengambil langkah yang amat radikal: menutupnya. Ini adalah reformasi paling radikal yang pernah terjadi di negeri ini.

Saya tak pernah menjadi muridnya langsung. Rentang generasi kami terlalu jauh. Saya tak ingat pasti bagaimana perkenalan saya dengannya. Seingat saya, Widjojo Nitisastro yang memperkenalkan saya kepadanya. Semenjak itu, interaksi kami berjalan. Biasanya, jika saya menulis di media massa atau jurnal internasional, Ali menghubungi saya. Nada suaranya khas, "De, ini Ali. Terima kasih untuk makalahnya, tapi saya enggak ngerti tuh apa yang you tulis. Kamu pakai bahasa anak muda." Bahasa anak muda adalah istilah Ali Wardhana untuk analisis ekonomi yang banyak menggunakan model kuantitatif. Saya tahu Ali merendah karena intuisinya jauh lebih baik daripada model ekonometri. Kami tak harus selalu sependapat.

Saya ingat kami pernah berdebat panjang mengenai kenapa kebijakan ekonomi setelah 1998 menjadi sulit diimplementasikan. Saya katakan, "Pak Ali dulu hanya perlu meyakinkan Presiden. Dan, jika Presiden yakin, ia akan memberikan proteksi politik sehingga kebijakan seperti bergerak di ruang hampa, tanpa hambatan. Sedangkan dalam era demokrasi, kita harus meyakinkan kabinet, parlemen, media, dan masyarakat. Kebijakan harus diterima supaya ia bisa diimplementasikan." Diskusi ditutup dengan tawanya.

Sejarah deregulasi di Indonesia tak bisa dilepaskan dari Ali Wardhana. Tak banyak yang menyadari, deregulasi dan masalah dwelling time—yang kembali lagi disebut dalam paket kebijakan pemerintah Jokowi—dilakukan pertama kali dengan mempermudah proses perizinan Bea dan Cukai di Tanjung Priok awal 1970-an. Namun mereka yang menganggap mekanisme pasar adalah segalanya mungkin akan kecewa kepada Ali. Ia bukan penganut pasar bebas sejati. Ia percaya kepada intervensi pemerintah untuk kesejahteraan rakyat desa. Ali adalah orang yang berada di balik kelahiran kredit usaha mikro.

Prestasi Ali yang luar biasa adalah ketika ia mampu mengatasi hyper inflation dalam waktu tiga tahun (1966-1969). Tingkat inflasi 650 persen pada 1966 bisa dikendalikan menjadi 10 persen pada 1969 melalui disiplin fiskal. Disiplin fiskal pulalah yang membuat stabilitas ekonomi makro terjaga. Indonesia juga berhasil memanfaatkan "rezeki uang minyak/oil boom" selama 1973-1982 untuk pembangunan infrastruktur serta inpres kesehatan dan sekolah dasar.

Ali memang sudah brilian sejak muda. Setidaknya kesan itu yang saya tangkap dari Henry Rosovsky, guru besar emeritus di Harvard University. Dalam surat elektroniknya kepada saya setelah Ali Wardhana meninggal, Rosovsky menyampaikan rasa dukanya. Ia mengatakan mengenal Ali saat ia mengajar di University of California at Berkeley. Saya bisa membayangkan jika Henry Rosovsky, ekonom kelas dunia, Acting President Harvard University 1984-1987, masih mengingat seorang muridnya dengan baik, tentu Ali adalah mahasiswa yang luar biasa. Ali sendiri kerap merendah. Ia pernah bercerita kepada saya, "De, saya itu naik ke tingkat dua di FE UI dengan judicium 'ragu-ragu'"!

Satu cerita yang selalu saya ingat: bagaimana ia mengetik sendiri surat keputusan mengenai devaluasi. Ketika saya tanyakan mengapa, ia menjawab sambil tertawa, "Kalau kamu membuat devaluasi dan kamu minta orang lain yang mengetik surat keputusannya, pasti bocor dan orang akan menukar rupiahnya ke dolar Amerika. Karena itu, saya ketik sendiri."

Ali begitu rinci dan hati-hati. Ia terkesan amat serius, tapi sesungguhnya ia berwarna. Saya tak akan pernah lupa kalimatnya yang mengalir ringan dengan nada canda jika berbicara tentang Partagas, cerutu kegemarannya, "Partagas itu penting. Itu yang buat saya masih bisa mikir."

Pak Ali kini tak perlu lagi berpikir. Namun kita tahu jejak pemikirannya begitu panjang dan masih terasa sangat relevan.

Muhamad Chatib Basri, Senior Fellow Harvard Kennedy School, mantan Menteri Keuangan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus