Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Otomotif

Menjajal Mitsubishi Xpander di Ketinggian 1.500 MDPL

Menikmati kopi langsung di kebun memiliki sensasi yang berbeda. Kopi tanpa gula, alam segar khas pegunungan, dengan suhu di bawah 15 derajat celcius.

16 September 2018 | 14.46 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Malabar - Berkendara jauh hanya untuk menikmati kopi? Beberapa teman menyebut ide tersebut sebagai “kurang kerjaan”. Untuk mengopi, mereka mengatakan tak perlu mengeluarkan mobil dan menempuh perjalanan sampai 7-8 jam, harus melewati tol Cikampek yang macet parah pula.

Cukup dengan duduk di pekarangan rumah di pagi hari, lalu menyobek kopi sachet, secangkir kopi pun sudah terhidang. Apa istimewanya pergi ke Pengalengan, Bandung Selatan, hanya untuk menyeruput kopi?

“Mencari peserta untuk mau meluangkan waktu menikmati kopi di kebun kopi di pegunungan memang sebuah tantangan,” kata  Anggraito, salah satu Ketua Panitia “Keto-Coffee Camp”, pada Selasa, 28 Agustus lalu.

Baca: Uji Nyali Test Drive Mitsubishi Xpander di Sky Bridge IIMS 2018

Cara membujuk yang konvensional, bahkan terkesan datar, harus ditinggalkan. Apalagi pada akhir Agustus lalu, ada dua event penting yang menyita perhatian banyak orang. Pertama, momen Idul Qurban yang biasanya dimanfaatkan keluarga untuk berkumpul. Kedua, Asian Games yang menyedot simpati berbagai kalangan.

Maka, Anggraito dan kawan-kawan menyusun strategi agar agenda mengunjungi kebun kopi di pegunungan Malabar, Pengalengan pada pada 25-26 Agustus itu punya daya pikat. Pertama, panitia melibatkan komunitas yang kini sedang naik daun: komunitas keto, yang menerapkan pola makan dengan asupan rendah karbohidrat, tinggi lemak dan protein sedang. Komunitas ini punya ribuan anggota. Kopi menjadi minuman favorit pelaku diet ini.



Kedua, menjadikan kegiatan itu sebuah petualangan baru para peserta: petualangan rasa. Materi yang disodorkan pun punya daya tarik: touring, camping, trekking, coffee cupping, learning. Peserta akan menggelar kemping semalam dengan didahului touring sepanjang lebih dari 200 kilometer. Selanjutnya, mereka akan trekking ke kebun kopi pada pagi hari dan memetik cherry merah yang siap dipanen. Lalu, melalui coffee cupping, peserta akan mengobservasi rasa kopi Nusantara yang kaya. Seluruh proses—dari menanam sampai pasca panen--itu bisa dipelajari langsung dari petani.

Baca: Menjajal Mitsubishi Xpander Sejauh 208,9 Kilometer

Trip ke Malabar Mountain Coffee itu diikuti 30 peserta—termasuk dari Tempo. Rombongan berangkat pada Sabtu pagi pukul 06.00 dengan menggunakan lima mobil. Jalur yang ditempuh dari tempat berkumpul di Cilandak Mall, masuk JORR, kemudian melewati tol Cikampek, tol Cipularang, Soreang, Jalan Raya Pengalengan dan mendaki ke pegunungan Malabar. Kemacetan yang parah, membuat rombongan baru sampai di kantor Malabar di Pengalengan sore hari.

Mitsubishi Xpander Ultimate melaju di kebun teh Gunung Malabar, Bandung, Jawa Barat. Mobil bertransmisi otomatis ini mudah menanjak hingga ketinggian 1.400 mdpl, 25 Agustus 2018. TEMPO/Yos Rizal

Dari kantor itu, rombongan kemudian dibagi dalam empat mobil; dua unit double cabin Mitsubishi Strada, satu unit Mitsubishi Pajero Sport, dan satu unit Mitsubishi Xpander.

Dari ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut, empat mobil menanjak ke ketinggian sekitar 1.500 mdpl menuju camping ground. Berbagai pemandangan menarik ditemui sepanjang jalan. Selain kopi, Pengalengan juga dipenuhi perkebunan teh dan kina yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Pangalengan juga merupakan daerah penghasil susu sapi.

Dari Jakarta sampai Jalan Raya Pengalengan, praktis Mitsubishi Pajero Sport Dakar 4x4 A/T dan Xpander Ultimate A/T tak mendapat tantangan berarti. Pajero bermesin 2.442 cc dan tenaga 179 HP dan Xpander (1.499 cc dan 103 HP) dengan mudah melalap jalur-jalur datar, mulai dari tol JORR, Cikampek, Cipularang, Soreang sampai Pengalengan. Kenyamanan terutama dari suspensi, posisi mengemudi, kekedapan kabin dan kelengkapan dua kendaraan ini merupakan salah satu yang terbaik di kelasnya.

Baca: MPV Terlaris Januari, Mitsubishi Xpander Kejar Toyota Avanza

Kendaraan yang memanjakan penumpang itu baru menemui tantangan setelah mulai mendaki ke area kemping. Pajero Sport Dakar 4x4 AT praktis masih tak menemui tantangan berarti kendati harus melewati 3-4 tanjakan dengan ketinggian yang curam dari 8-10 tanjakan tanah dan berbatu antara perkebunan teh dan kopi, dan beberapa belokan tajam. Dengan enteng, kendaraan ini melaju sampai ke area perkemahan. “Harus ada tantangan yang lebih untuk Pajero,” kata Joni yang mengendarai Pajero itu.

Tantangan yang sebenarnya terjadi ada pada Xpander Ultimate. Low MPV bagi keluarga ini sengaja diisi penuh, 7 penumpang. Untuk perjalanan jarak jauh, memang mobil ini punya banyak titik penyimpanan yang kerap dibutuhkan penumpang, desain dudukan yang tepat, dan terutama redaman kabin yang sangat bagus, dengan kedap suara yang juga bagus untuk mobil di kelasnya, kendati berjalan dengan kecepatan tinggi.



Untuk tujuh penumpang, Xpander Ultimate cukup bisa diandalkan. Setiap menghantam gundukan di jalanan, redaman mobil yang bertenaga di putaran 4000 rpm itu tidak mengganggu kenyamanan kabin. Steeringnya juga enak. Setir sebenarnya juga bisa mengkonversi sudut putar dengan baik pada pergerakan roda, tapi buat pengendara amatir, ia bisa kerepotan dengan bobot putar kemudi.

Ketangkasan memindahkan gigi, dari gigi 2 saat menanjak tajam dan kemudian tiba-tiba menurun tajam—dengan gigi di posisi L—atau sebaliknya, diperlukan. Keterlambatan mengantisipasi tanjakan terjal sekitar 45 derajat membuat tenaga mesin menjadi lemah atau lambat. Tapi secara keseluruhan, ketika gas dinjak, sambutan tenaga Xpander terhitung responsif. Xpander pun sampai di ketinggian 1.500 mdpl dengan selamat. “Buat saya, kemudi mobil ini cukup ringan,” kata Anton, yang bergantian mengemudikan Xpander dengan Anggraito.

Pengalaman “off road” dengan mobil “kota”, dan berakhir sukses itu, membuat sebagian peserta yang semula sangsi bisa sampai ke tujuan menjadi kian bersemangat. Peserta pun berhamburan mengisi tenda-tenda yang sudah disediakan. Malam harinya mereka begitu antusias mengikuti coffee cupping dan ditutup dengan menikmati api unggun sembari mengudap kambing guling.

Mitsubishi Pajero Sport Dakar 4x4 saat menuju pegunungan Malabar, 25 Agustus 2018. TEMPO/Yos Rizal

Sesi coffee cupping dipandu oleh Q Grader Ananta Prastowo dari Malabar Mountain Coffee. Q Grader merupakan atribut tertinggi untuk ahli pemeringkat kopi. Di tangan ahli penilai kopi inilah para peserta diajak berpetualang rasa dan aroma, dengan cara menghirup dan mencecap rasa kopi yang dijajarkan di cangkir-cangkir yang sudah disediakan.

Di meja cupping itu, ada 5 macam proses pasca panen kopi Malabar, dengan masing-masing proses terdiri dari 2 cup. Peserta memulai ritual cupping dengan membaui aroma kopi bubuk. Ada yang menyebut menemukan aroma nangka di salah satu cup, ada lagi yang membaui sensasi jeruk di cup yang lain. Mereka diminta menandai aroma apa yang disuka.



Setelah itu kopi 12 gram di cup diguyur air panas. Peserta kembali membaui aroma kopi yang ditubruk itu. Setelah 4 menit, mereka kemudian diminta menyeruput kopi dengan kuat. Seluruh kawasan lidah dari ujung lidah hingga langit-langit mulut akan basah jika kita menyeruputnya dengan kuat. Di kawasan itu pula kita bisa mengenang seluruh rasa yang pernah kita jumpai sejak kanak-kanak—dari rasa manis buah, rasa asam, pahit dan bahkan asin. Peserta kembali diminta menandai kopi mana yang disuka.

Baca: Ini Keunggulan Mesin Mitsubishi Pajero Sport-DAKAR

Di akhir sesi, Ananta akan bertanya siapa suka kopi di kelompok 1, 2 sampai 5. Masing-masing angkat tangan. Ia kemudian menyebutkan kopi dengan proses apa di kelompok 1 dan peruntukannya: apa untuk manual brew atau espresso. Peserta pun bebas bertanya. Yang menarik, Ananta tak meluruskan kesan mencecap para peserta yang boleh jadi keliru. “Minum kopi adalah pengalaman personal. Setiap orang bisa berbeda-beda. Tak ada salah dan benar dalam kopi,” kata Ananta.

Coffee cupping adalah proses mengobservasi aroma dan rasa kopi. Proses ini dilakukan oleh roaster sebelum membeli green bean dari petani. Ia akan mengulanginya saat setelah menyangrainya. Di sinilah para roaster mencatatkan notes kopi. Proses yang sama dilakukan para barista sebelum membeli roasted bean dari para roaster. Lewat cupping, ia akan memilih kopi mana yang cocok disuguhkan ke para pelanggannya.

Proses yang sama semestinya dilakukan oleh pembeli yang mengunjungi kedai kopi. Ananta menekankan bahwa cupping adalah satu-satunya cara terukur untuk menilai cita rasa kopi. Bukan hasil seduhan barista yang terhidang di meja kafe. Dari coffee cupping kita bisa menghirup aroma kopi dan mencecap rasa sebenarnya sebelum ada campur tangan barista.

Perjalanan menikmati kopi di Pegunungan Malabar menggunakan Mitsubishi Strada, Pajero Sport, dan Xpander. 25 Agustus 2018. TEMPO/Yos Rizal

Pengetahuan baru itu begitu membekas buat para peserta. Apalagi keesokan paginya mereka menelusuri kebun kopi dan menemui para petani. Mereka memetik kopi yang sudah merah dan mencicipinya. “Ternyata manis,” kata salah seorang peserta yang mengelupas kulit kopi.

Petualangan rasa yang telah mendekatkan antarpeserta itu berakhir pada siang hari. Mereka mengakhiri kegiatan dengan merentangkan merah putih di pinggir danau dan bernyanyi bersama. Kegembiraan itu masih terasa hingga mereka kembali ke Jakarta.

“Saya menikmati sekali belajar ilmu kopi ini,” kata Gustiara Munir, peserta yang juga seorang radiolog dari Bandung. “Barangkali Allah menciptakan kopi supaya kita semua bisa berteman.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus