Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mengusap wajah Yogya

Yogyakarta dari tahun ke tahun dikunjungi turis yang makin meningkat. sambil menikmati wajah kota dengan andong, mereka dapat menyaksikan lintasan sejarah & kekayaan budaya jawa. misal: malioboro, dll.

18 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YOGYA berseri di bulan Maret. Seorang sultan baru telah dinobatkan. Daerah tingkat I termiskin di Indonesia, pada Pelita I, itu sudah memoles wajahnya. Kini, tingkat kemakmuran Daerah Istimewa Yogyakarta menduduki peringkat ke-3, setelah DKI Jakarta dan Sumatera Barat -- seperti diungkapkan oleh Prof. Mubyarto, pada Seminar Ekonomi Kesehatan di Yogya 8 Februari lalu. Tidak banyak daerah seberhasil Yogya, dalam meningkatkan kemakmuran daerahnya dalam masa empat Pelita. Daerah yang juga dikenal sebagai kota perjuangan dan kota pendidikan itu sedang sibuk berbenah. Yogya sedang dalam proses peralihan," kata Budayawan Umar Kayam. "Tempo Yogyanya masih Jawa. Cuma Jawanya sudah tak Jawa lagi, sementara Indonesianya belum jadi. Yogya merupakan ekspresi kebudayaan Indonesia." Pendapat ini tidak sulit dibuktikan. Alasannya, dari 200 ribu mahasiswa yang belajar di 40 perguruan tinggi Yogya, banyak yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Dan itu pula yang merupakan salah satu alasan Wali Kota Yogyakarta, Djatmikanto, untuk mengusap wajah kotanya. Sekitar 1.500 batang kenanga dan melati telah siap ditanam di sepanjang jalan utama. "Bau wangi bunga bisa menetralisasi bau asap knalpot," katanya. "Jika kota terasa nyaman, para pelajar dan mahasiswa akan cepat berhasil. Dan produktivitas warga kota juga bisa meningkat." Tidak berlebihan kalau Djatmikanto begitu memperhatikan pelajar dan mahasiswa karena setiap tahun Yogya menerima wesel sejumlah 20 milyar rupiah. Uang yang dikirim orangtua pelajar dan mahasiswa dari luar Yogya itu mampu menghidupkan denyut nadi perekonomian kota, yang kini dihuni 420 ribu jiwa -- belum termasuk mahasiswa pendatang. Tidak hanya pelajar dan mahasiswa yang membuka ladang rezeki bagi Yogya. Turis pun, dari tahun ke tahun, terus mengalir. Pada tahun 1987, jumlahnya mencapai 60 ribu orang, di tahun 1988 meluap menjadi 70 ribu orang. Itu baru pelancong asing. "Turis domestik bisa mencapai sepuluh kali lipat. Terutama kalau libur sekolah," kata sebuah sumber di Kanwil Parpostel Yogya. Sekitar 2.760 hotel di Yogya (termasuk home slay), kewalahan menampung tumpahan wisatawan. Sambil menikmati wajah kota dengan andong, mereka dapat menyaksikan lintasan sejarah dan kekayaan budaya Jawa, melalui 14 museum Yogya. Di antaranya museum Sudirman, Affandi, Biologi, Batik. Tapi yang paling populer adalah Malioboro. Urat nadi perdagangan Kota Gudek itu berdenyut terus, 24 jam setiap hari. "Meski jalanan semrawut, Yogya aman dari segala gangguan," kata Munandar, seorang pedagang kaki lima, yang sudah 12 tahun berpangkal di Malioboro. "Mirip jalanan di Prancis. Kota lain di Indonesia tidak mempedulikan pejalan kaki, tapi Yogya begitu penuh perhatian," kata Jean Giscard, pelancong dari Prancis.BP, Aries Margono, Slamet Subagyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum