Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Ketika jaket kuning merebut jalanan

Pemain : umar kayam,amoroso katamsi, dll skenario : bur rasuanto & arifin c noer sutradara : arifin c noer resensi oleh : putu wijaya.

18 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA 1966 Pemain: Umar Kayam, Amoroso Katamsi, Ikranegara, Cok Simbara, Ratna Riantiarno Penata Artistik: Jufri Tanissan Skenario: Bur Rasuanto & Arifin C. Noer Sutradara: Arifin C. Noer Produksi PPFN MEMBUAT film sejarah tantangannya banyak. Khususnya yang menyangkut politik. Namun, Arifin C. Noer bertindak taktis. Ia menyutradarai Jakarta 1966, kisah yang menyangkut demonstrasi mahasiswa dan lahirnya Surat Perintah 11 Maret, dengan cerita yang disusunnya bersama novelis Bur Rasuanto. Bur memerlukan riset ke negeri Belanda dan Universitas Cornell sebelum membuat cerita. Hasilnya bukan sebuah analisa baru atau interpretasi kontroversial tentang kejadian di tahun 1966 itu. Ini adalah cerita sejumlah mahasiswa fiktif dalam satu asrama yang berbeda posisi secara politis dalam demonstrasi. Arifin mau tak mau menggeber kembali salah satu puncak dalam sejarah Indonesia sesudah merdeka. Ketika mahasiswa UI dengan jaket kuningnya turun ke jalan raya menggembosi mobil-mobil, sebagai perlawanan terhadap sikap politik Bung Karno. Sampai pada peristiwa lahirnya SP 11 Maret. Ikranegara bermain baik sebagai seorang tokoh GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia). Ia bukan saja berhadapan dengan orang-orang KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) tetapi juga dengan rival cintanya. Persoalan cinta yang dimunculkan agaknya sebagai tanda bahwa kehidupan biasa tetap berjalan, sementara situasi politik panas terasa, sekaligus meredam agar film ini tidak menjadi propaganda politik. Arifin C. Noer, yang telah menunjukkan kemampuannya menciptakan adegan-adegan spektakuler dalam Serangan Fajar dan gambar padat dalam Pemberontakan G30S-PKI kali ini kembali muncul dengan semangat kolosal. Adegan demonstrasi mahasiswa yang menjadi dasar film ini dikerjakan dengan tidak tanggung-tanggung. Penata artistik Djufri Tanissan telah bekerja keras untuk mengembalikan suasana Jakarta dan kampus UI ke tahun 1966. Ribuan figuran dikerahkan. Dalam ketegangan demonstrasi, Arifin masih dapat menitipkan humor. Misalnya, ketika mahasiswa kesulitan menggemboskan ban mobil, seorang lelaki keturunan Cina cepat turun dari mobil dan memperagakan, "Begini caranya, Dik." Peran Bung Karno, yang kembali dimainkan Umar Kayam, kali ini dapat porsi agak leluasa. Tokoh itu seperti tidak dicegah lagi untuk bicara. Bahkan sempat muncul dan memarahi Soeharto dengan gerutuan, "Kamu ini kopeh." Ia juga memberikan hadiah kepada Soeharto yang kini Presiden RI itu, sebuah kaus oblong putih dengan pesan bahwa berpakaian itu harus selalu rapi. Adegan itu menarik. Umar Kayam nampak serupa dengan Pemimpin Besar Revolusi itu, meskipun kadang kala kurang energetik. Terutama pada bagian awal, ketika berbicara dengan Soeharto, bagaikan jejer wayang, ia begitu kaku. Suara Bung Karno, yang dipinjam dari suara aktor Abdi Wijono, kadang kala tidak pas. Itulah sulitnya kalau Bung Karno dibiarkan bicara, karena suaranya sudah terlalu terkenal. Serangan Fajar terasa sebagai sebuah puisi panjang, Pemberontakan G30S-PKI sebuah sketsa, dan Jakarta 1966 adalah sebuah epik demonstrasi yang bimbang. Serangan Fajar lebih unggul dalam cerita dan skenario, Pemberontakan G30S-PKI untuk penyutradaraan. Sedang Jakarta 1966 menang gambar, musik, dan permainan para pendukungnya. Musik yang digarap Embi C. Noer mengiringi parade sejarah itu dengan aksentuasi yang tekun, membantu meletupkan adegan-adegan. Gambar dengan komposisi menarik bahu-membahu dengan musik. Dua elemen ini amat menonjol dalam karya Arifin kali ini, di samping kecermatannya mengolah akting pemain yang sebagian besar adalah anggota Teater Kecil. Amoroso Katamsi, yang bermain sebagai Soeharto, terasa semakin larut ke dalam perannya. Kita berhadapan dengan sosok perwira yang tak banyak omong, tetapi kuat kepribadiannya. Ia menghadapi Bung Karno seakan-akan sebagai seorang anak menghadapi seorang tua yang sudah mulai pikun. Amoroso tampil cermat, meskipun belum sampai gemilang. Sosok tokoh yang dihidupinya terasa dominan. Arifin telah kerja keras untuk lahan yang memang sulit. Ia sudah melakukan yang bisa ia kerjakan, untuk menegakkan sebuah kisah fiktif mahasiswa dalam seting sejarah. Justru pada adegan-adegan di luar demonstrasi, seperti adegan kampung, tukang becak, kekuatan Arifin yang sebenarnya menonjol. Di sana ia terasa bebas, kreatif, begitu kenal, dan fasih pada yang ditampilkannya. Adegan demonstrasi mahasiswa, perkelahian antarorganisasi -- dalam hal ini KAMI dan GMNI -- sedikit tak menguntungkan. Terutama demonstrasi, yang berulang-ulang -- boleh dikata menjadi hampir separuh dari film yang bermasa putar 2 jam 15 menit ini --terasa mencapekkan. Bahkan terasa menggeser perjuangan sekelompok mahasiswa di kampus yang dipimpin Barkah (dimainkan Cok Simbara), yang mestinya menjadi inti cerita.Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum