Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ABYADI Siregar, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Medan, Sumatera Utara, berpidato berapi-api. Saat itu, pertengahan Desember lalu, di depan seratusan warga di daerah pemilihannya, Abyadi menjelaskan apa saja yang akan dia lakukan jika terpilih menjadi anggota parlemen lokal di kota itu. Sepuluh rekannya, sesama calon anggota DPRD dari Partai Amanat Nasional, mengangguk-angguk. ”Mereka memang sengaja saya undang, tapi tidak ikut bicara,” katanya terus terang. ”Mereka cuma boleh menonton.”
Sikap Abyadi bukanlah hal tak lazim di antara para calon legislator di Medan. Edwin Nasution, juga calon legislator PAN di kota itu, bahkan lebih ekstrem. Dia haram menggandeng calon lain, meski satu partai, saat bertemu dengan pemilih.
Edwin punya alasan untuk sikap kerasnya. Agustus lalu, sejumlah spanduk kampanyenya dirusak orang. Padahal spanduk itu dipasang di rumah seorang simpatisan PAN di sebuah jalan protokol di Medan. ”Saya yakin yang merusak adalah rekan saya sesama calon legislator dari partai ini,” katanya.
Gara-gara Edwin mengumbar tudingan, pengurus PAN setempat sampai harus menggelar rapat khusus soal ini. ”Sudah selesai dibahas,” kata Sekretaris Umum PAN Medan Aripay Tambunan.
Kata Aripay, pelaku perobekan spanduk ternyata pendukung calon legislator PAN yang masih terhitung pendatang baru. Sanksi pun sudah diberikan. Sayangnya, para pengurus partai terkesan enggan berbicara soal kasus ini. ”Kejadiannya sudah lama,” kata Aripay mengelak.
Aripay menganggap ringan insiden itu. ”Ekses kompetisi seperti itu wajar terjadi. Ibarat olahraga, pemilihan kali ini bukan sepak bola, tapi lomba lari 100 meter,” katanya. ”Siapa cepat, dia yang menang.”
Di Tegal, Jawa Tengah, kompetisi bahkan memanas sampai meletus jadi baku pukul. Akhir November lalu, dua kubu pendukung calon legislator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sempat bentrok.
Saat itu, Abdul Wahab, pendukung Wiwik Mastutik, calon legislator PDI Perjuangan untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tegal, dipukuli sekelompok orang pendukung calon lain dari partai Banteng. Meski Wahab sempat membela diri, tak urung bibirnya jontor juga kena jotos. ”Padahal saya cuma mau pasang poster Mbak Wiwik,” kata Wahab polos.
”Kesalahan” Wahab adalah dia memasang poster bosnya di ”wilayah kekuasaan” calon legislator PDI Perjuangan lain. Kelurahan Pesurungan Lor, Kecamatan Margadana, Tegal, adalah basis partai Banteng di kota itu. Wiwik sendiri hanya menduduki nomor urut tiga di daftar calon anggota DPRD Tegal. Rupanya, pendukung dua calon lain yang nomornya di atas Wiwik tak terima jika poster perempuan itu ditempel di mana-mana.
Wiwik Mastutik sendiri tak ingin memperpanjang insiden memalukan ini. ”Sudah kami selesaikan secara internal,” katanya. Abdul Wahab juga tidak melapor ke polisi, meski benjut kena bogem kanan-kiri. Dia tampaknya sadar risiko tugasnya sebagai pemasang poster politikus.
Sekretaris Pengurus PDI Perjuangan Tegal Edy Suripno membenarkan ada insiden ini. Namun dia tak terlalu khawatir. ”Kompetisi memang tinggi, tapi PDIP Tegal masih aman,” katanya santai. ”Poster dan spanduk saya juga dirobek,” ujarnya ringan.
Selain memunculkan aksi perusakan atribut kampanye, kompetisi tajam antarcalon separtai mendorong maraknya kampanye negatif. Sesama calon anggota parlemen diam-diam saling serang dengan meniupkan kabar miring tentang pesaingnya.
Di Jawa Tengah, hal ini terjadi pada Partai Kebangkitan Bangsa. Situasi ini makin parah akibat konflik internal antara kubu pendukung Ketua Dewan Syura Abdurrahman Wahid dan Ketua Dewan Tanfidziyah Muhaimin Iskandar.
Di daerah pemilihan Jawa Tengah 10, yang meliputi Batang, Pekalongan, dan Pemalang, tiga calon legislator PKB, Sukirman, Ali Anshori, dan Saiful Bahri, bersaing ketat. Gosip yang beredar: Sukirman—mantan Ketua Partai Rakyat Demokratik Semarang—adalah anggota ”kaum kiri yang menyusup ke partai”. Sedangkan Ali Anshori diisukan sebagai ”kader plinplan”. Maklum, Ali sebelumnya dikenal sebagai pendukung kubu Abdurrahman Wahid, dan baru belakangan merapat pada Muhaimin.
Ketika ditemui Tempo pekan lalu, Saiful Bahri, mantan Ketua Nahdlatul Ulama Pekalongan, membantah kabar bahwa dia berperan menyebarkan isu-isu negatif itu. ”Tidak ada kampanye hitam di sini,” katanya yakin.
TAK semua calon legislator separtai saling potong seperti itu. Cerita berbeda muncul dari Yogyakarta. Ketua Partai Amanat Nasional Yogyakarta Imawan Wahyudi mengaku sudah mengantisipasi insiden ala Medan dan Tegal. ”Kami punya kode etik dan strategi khusus,” katanya.
Strategi itu mencakup kampanye bersama calon legislator tingkat kota, provinsi, dan pusat, serta pembagian tanggung jawab kampanye. ”Misalnya, kelurahan A adalah jatah calon A. Calon lain tidak boleh mendatangi wilayah itu saat calon A berkampanye,” katanya.
Nazaruddin, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Yogyakarta, termasuk yang mengikuti anjuran itu. Di berbagai sudut kota, tampak spanduk dan poster yang menampilkan dirinya bersama tujuh calon legislator PAN lain yang berkompetisi merebut kursi parlemen di tingkat provinsi. Di spanduk lain, Nazaruddin tampak berpose bersama calon legislator PAN untuk parlemen pusat di Senayan dan parlemen tingkat kota.
”Saya sendiri yang memilih rekan calon anggota DPR dan DPRD kota yang saya ajak berkampanye bersama,” katanya. Selain bisa menghemat biaya, model kampanye bersama tiga tingkat ini berpotensi mendongkrak suara. ”Ada calon yang memang diterima luas di masyarakat. Kalau saya dipaket dengan dia, otomatis bisa menambah dukungan untuk saya,” katanya berharap.
Aturan serupa diterapkan di Surabaya. Para calon legislator PAN untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur bahkan sudah membagi Kota Surabaya jadi sejumlah zona kampanye. ”Kalau saya pasang spanduk di satu perempatan, calon lain dari partai saya tidak boleh pasang di lokasi yang sama,” kata Suli Daim, salah satu calon partai itu.
Strategi kampanye bersama diterapkan juga oleh PDI Perjuangan Jawa Timur. Tak hanya itu, Ketua PDI Perjuangan Jawa Timur Sirmadji juga memeriksa setiap baliho, spanduk, dan poster yang dirilis calon legislator di wilayahnya. ”Kami tidak ingin ada pesan yang sama,” katanya.
Meski sudah ada penyaringan ketat, nuansa sikut-sikutan antarcalon separtai masih terasa. Sejumlah calon legislator partai Banteng berlomba memasang fotonya di kaca belakang mobil-mobil bemo di Surabaya. Satu bemo bisa dihiasi foto lebih dari satu calon. ”Saya sudah minta para calon tidak berebut bertarung di titik yang sama,” kata Sirmadji menyesalkan. ”Tapi rupanya bemo dianggap strategis.”
Di Makassar, untuk mengantisipasi rebutan titik kampanye, Golkar mempersiapkan baliho raksasa berisi foto semua calon legislator di wilayah itu. ”Supaya tidak ada pembusukan antarcalon dalam satu partai,” kata Ketua Golkar Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Namun itu pun bukan jaminan tak ada saling telikung. ”Kasus perusakan atribut kampanye bertambah 10 persen dalam sebulan terakhir,” kata Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Umum Makassar Abdul Haeba Ramli.
Wahyu Dhyatmika, Monang Hasibuan (Medan), Irmawati (Makassar), Edi Faisol (Tegal), Rohman Taufiq (Surabaya), Pito Agustin (Yogyakarta), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo