Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESTINYA, rumah sakit adalah tempat yang hiruk oleh orang datang berobat. Tapi Rumah Sakit Umum Daerah Petala Bumi di Jalan Dr Sutomo, Pekanbaru, kosong melompong. Bangunan tiga lantai dengan halaman luas itu lengang, meski sudah diresmikan Gubernur Riau Rusli Zainal pada Juli tahun lalu. ”Sekarang baru pegawai saja yang datang,” kata Najib, staf rumah sakit itu. Pimpinan hospital juga mendadak sakit gigi ketika didatangi wartawan Tempo, Rabu pekan lalu. Satu-satunya penjelasan datang dari Najib. ”Sebaiknya minta penjelasan dari Dinas Kesehatan saja,” katanya.
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Petala Bumi memang belum beroperasi. Ini akibat kisruh kasus dana tabungan pesangon pekerja minyak dan gas bumi di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang dipakai untuk membangun rumah sakit itu. Dua pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi membenarkan dugaan penyimpangan dalam pengelolaan dana yang saat ini berjumlah Rp 139,4 miliar. Salah satunya adalah penggunaan Rp 39 miliar dana tabungan pesangon pada 2004, yang ditengarai bermasalah. ”Penyelidikan sedang dilakukan,” kata Wakil Ketua Komisi, Muhammad Jasin.
Pada Juni 2004, Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea memang menandatangani nota kesepahaman dengan rumah sakit di Medan, Pekanbaru, dan Sorong. Setiap rumah sakit mendapat bantuan Rp 10 miliar dengan imbalan bersedia beralih rupa menjadi rumah sakit khusus buruh. Di Pekanbaru, dana itu dipakai membangun gedung tiga lantai yang kini menjadi RSUD Petala Bumi.
DANA tabungan pesangon pekerja minyak dan gas bumi dikumpulkan pertama kali pada 1975 oleh Yayasan Dana Jaminan Sosial, berdasarkan surat keputusan bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pertambangan. Alasannya, sebagian besar pekerja sektor minyak dan gas bumi adalah buruh kontrak. Karena itu, ketika kontrak kerja mereka berakhir, perusahaan tidak punya kewajiban memberi mereka pesangon. Nah, pemerintah lalu mengambil alih kewajiban itu dengan membuat tabungan pesangon.
Baru berjalan dua tahun, Yayasan Dana Jaminan Sosial dibubarkan karena pemerintah kala itu punya program baru: Asuransi Sosial Tenaga Kerja. Tapi belakangan program ini pun tutup warung dan urusan pesangon buruh sektor minyak dan gas bumi kembali terkatung-katung.
Pada 1989 gagasan pengelolaan dana tabungan pesangon khusus untuk pekerja di sektor dihidupkan lagi. Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara dan Menteri Pertambangan Ginandjar Kartasasmita sepakat mendirikan Yayasan Dana Tabungan Pesangon Tenaga Kerja Pemborong Minyak dan Gas Bumi.
Dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan disebutkan bahwa dana tabungan pesangon dikumpulkan dari iuran perusahaan minyak dan gas bumi sebesar 8,33 persen dari total upah bulanan pekerja. Namun pemerintah tak mau upah pekerja dipotong untuk membayar iuran. Sebagai gantinya, perusahaan minyak dan gas bumi boleh menambahkan besaran iuran pada nilai kontrak kerja mereka kepada pemerintah. Dengan kata lain, duit iuran sebetulnya diambil dari kas negara.
Karena itulah, dalam laporan audit atas dana ini pada 2008, Badan Pemeriksa Keuangan ngotot meminta sisa dana yayasan dikembalikan saja ke kas negara. Belakangan, karena tidak pernah dilaporkan ke bendahara negara, Departemen Keuangan menyebut rekening yayasan dana tabungan pesangon ini sebagai rekening liar.
PADA 2000, monopoli Yayasan Dana Tabungan Pesangon dalam mengelola dana ini berakhir. Pemerintah memperbolehkan perusahaan minyak dan gas bumi bekerja sama dengan bank atau lembaga keuangan lain dalam mengelola tabungan pesangon pekerja mereka. Yayasan pun bubar. Pada saat dilikuidasi, total dana tabungan pesangon yang sudah terkumpul mencapai Rp 155 miliar.
Bibit masalah muncul ketika dana yayasan ternyata terus dipakai meski proses likuidasi tengah berlangsung. Salah satunya terjadi pada Juni 2004, ketika Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea menandatangani nota kesepahaman dengan pengelola RS Imelda Medan, Gubernur Riau Rusli Zainal, dan Wali Kota Sorong. Ketiganya setuju membangun rumah sakit khusus buruh dengan biaya Rp 10 miliar yang diambilkan dari dana tabungan pesangon. Inilah yang sekarang dipersoalkan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ditemui pekan lalu, Inspektur Jenderal Departemen Tenaga Kerja, Dyah Paramawartiningsih, menjelaskan kerja sama pembangunan tiga rumah sakit itu merupakan bagian dari program pemerintah memperbaiki kesejahteraan buruh. ”Medan, Pekanbaru, dan Sorong dipilih karena di sana ada kantong-kantong pekerja minyak dan gas,” katanya.
Dyah juga menegaskan dana bantuan itu tidak diambil dari dana tabungan pesangon yang disetor perusahaan minyak dan gas melainkan dari pengembangan kekayaan yayasan. ”Jadi, dana yang menjadi hak pekerja tetap utuh,” katanya.
Selain itu, Dyah menjamin penertiban rekening liar di departemennya terus berlangsung. Sebagian dana tabungan pesangon sebesar Rp 68,8 miliar sudah disetorkan ke Departemen Keuangan pada Oktober lalu. Sisanya Rp 65,5 miliar masih ada di Departemen Tenaga Kerja, menunggu klaim dari pekerja minyak dan gas. ”Dana itu merupakan hak lebih dari 135 ribu pekerja,” katanya. Jika tidak ada klaim, barulah dana itu bisa diserahkan ke negara. ”Saat ini kami sudah membentuk tim pengakhiran dengan melibatkan Departemen Keuangan, Departemen Energi, dan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi,” katanya.
Inspektur Jenderal Departemen Keuangan, Hekinus Manao, yang juga ketua tim penertiban rekening liar Departemen Keuangan, membenarkan ada koordinasi dengan Departemen Tenaga Kerja. Namun, ketika ditanya soal indikasi penyimpangan penggunaan dana itu di masa lalu, ia mengunci mulut. ”Untuk yang itu, sudah ada lembaga kompeten: Komisi Pemberantasan Korupsi,” katanya.
PENELUSURAN Tempo ke Rumah Sakit Imelda Pekerja Indonesia di Medan dan RSUD Petala Bumi di Pekanbaru menemukan fakta menarik. Kedua rumah sakit itu tidak berfungsi menjadi rumah sakit khusus untuk pekerja minyak dan gas bumi seperti gagasan semula.
Dari Medan, Wakil Direktur Rumah Sakit Imelda, Walman Ritonga, membenarkan rumah sakitnya menyediakan 250 kamar rawat-inap untuk melayani pekerja. Namun pelayanan medis hanya diberikan kepada buruh yang perusahaannya menjalin kerja sama dengan RS Imelda. Pada kenyataannya, 13 perusahaan yang bekerja sama tak satu pun perusahaan minyak dan gas.
Di Pekanbaru, RSUD Petala Bumi yang belum beroperasi kini diprotes buruh. ”Dulu, pemerintah berjanji akan menjadikannya rumah sakit khusus buruh. Nyatanya malah jadi rumah sakit umum,” kata Bambang Triwahyuno, aktivis Partai Buruh Sosial Demokrat yang juga anggota parlemen lokal di Riau.
Kepala Dinas Kesehatan Riau, Mursal Amir, membenarkan. ”Memang bukan rumah sakit pekerja,” katanya terus terang. Pasalnya, sumbangan Departemen Tenaga Kerja hanya membantu sebagian dari biaya pembangunan rumah sakit. Pembangunan gedung megah RSUD Petala Bumi menghabiskan dana Rp 42 miliar. Sisanya ditutup anggaran daerah.
Sayangnya, tokoh utama kasus ini, mantan Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea, tidak bisa dimintai konfirmasi. Pada April 2006, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini terserang stroke. Pekan lalu, putranya, Andi Gani Nuwa Wea, meminta Tempo tidak menemui ayahnya. Dia khawatir kesehatan Jacob memburuk. ”Apalagi agak berat kalau dia diminta mengingat-ingat sesuatu,” katanya.
Wahyu Dhyatmika, Sahala Lumbanraja (Jakarta), Jupernalis Samosir (Pekanbaru), dan Monang Hasibuan (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo