Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AGUS Wijanarko, anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Tegal, Jawa Tengah, cemas. Ia khawatir tak mampu memenuhi tahapan pemilihan umum sesuai tenggat.
Mestinya, awal Januari ini, Komisi sudah menggarap sosialisasi mekanisme pemungutan dan penghitungan suara ke pengurus partai-partai politik di Kota Tegal. Namun, sampai akhir pekan lalu, Agus dan kawan-kawan belum bergerak.
Mereka mengeluhkan aturan main pemilihan umum yang tak kunjung turun dari Komisi pusat. Padahal hajatan besar itu tinggal 83 hari. "Saya belum berani mengundang mereka," kata Agus, Jumat pekan lalu.
Menurut dia, keterlambatan proses sosialisasi ini berawal dari keputusan Mahkamah Konstitusi, 23 Desember lalu. Ketika itu, Mahkamah membatalkan aturan soal penentuan pemenang kursi Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan nomor urut calon di Pasal 214 Undang-Undang Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2008.
Artinya, hanya calon dengan suara terbanyak yang berhak duduk di kursi Dewan 2009-2014. Tapi belum jelas bagaimana mengoperasikannya. Seha-rusnya, kata Agus, terbit peraturan Komisi sebagai acuan pelaksanaan keputusan Mahkamah itu.
Anggota Komisi, Abdul Aziz, mengakui soal ini belum jernih. Komisi sebenarnya telah merampungkan aturan mainnya. Tapi keputusan Mahkamah Konstitusi memaksa Komisi menarik mundur pengesahannya. "Beberapa pasal harus disesuaikan lagi dengan sistem suara terbanyak," kata Aziz.
KETUA Komisi, Abdul Hafiz Anshary, menyimak pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Sabtu, 27 Desember 2008. Ketika itu, Presiden mengundang rapat konsultasi sejumlah pemimpin lembaga tinggi negara.
Hadir antara lain Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono, Ketua Mahkamah Konstitusi Mohammad Mahfud Md., dan Ketua Badan Peng-awas Pemilihan Umum Nur Hidayat Sardini. Rapat membahas keputusan Mahkamah Konstitusi soal suara terbanyak.
Di forum itu, Hafiz meminta pemerintah merevisi Undang-Undang Pemilu atau menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Pemilu-biasanya dibuat dalam keadaan mendesak-sebagai payung hukum pelaksanaan keputusan Mahkamah Konstitusi.
Mekanisme pemilihan umum akan mengacu pada payung hukum itu. "Namun Ketua Mahkamah Konstitusi menyatakan tak perlu Perpu atau revisi undang-undang," kata Hafiz. "Sebab, kekuatan hukum putusan Mahkamah sama dengan undang-undang."
Oleh-oleh dari Istana itu dibawa Hafiz ke rapat pleno Komisi. Ternyata anggota Komisi lainnya tetap tak sepakat. Komisi kembali gamang, dan akhirnya kesimpulan rapat tetap memandang perlunya Perpu.
Ketika bertemu lagi dengan Mahkamah Konstitusi di kantor Mahkamah pada 31 Desember, Hafiz kembali menyampaikan persoalan itu. Begitu pula dalam pertemuan tiga pihak dengan Menteri Dalam Negeri dan Badan Pengawas Pemilu di Hotel Borobudur, Jakarta, pada hari yang sama.
Hafiz kembali menyampaikan usulan Perpu. "Saya sampaikan bahwa ini kan masalah khilafiyah, beda pendapat, bisa menimbulkan rawan perdebatan," katanya. "Sepanjang masih diperdebatkan, ya, baiknya di-Perpu-kan saja."
Wakil Ketua Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat Sayuti Asyathri, yang hadir dalam pertemuan Hotel Borobudur, mengungkapkan pemerintah dan Komisi Pemilihan gagal menyelesaikan polemik itu. Ada kesan pemerintah ogah-ogahan.
Komisi Pemilihan, sebaliknya, tak mau mengambil risiko. "Kami mengkhawatirkan gugatan-gugatan atas penetapan calon itu," kata anggota Komisi, Abdul Aziz.
Aziz berdalih, pasal yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi hanya menca-kup pasal 214, sementara pasal lain yang disusun dengan semangat proporsional terbuka terbatas-sistem nomor urut-tak dicabut. "Sebab, memang tidak diminta uji materinya."
Ia mencontohkan pasal-pasal yang tak dicabut itu. Misalnya di penjelasan pasal tentang "proporsional terbuka terbatas". Lalu pasal 55 tentang ketentuan mengenai affirmative action-taktik mempercepat keterwakilan calon perempuan di legislatif.
Pasal itu mewajibkan tiap partai menempatkan minimal satu nama perempuan di tiga nomor jadi. Idenya agar keterwakilan perempuan meningkat. "Kalau dibikin mutlak (suara terbanyak), kan ide affirmative-nya jadi enggak berarti?" kata Aziz.
Sekretaris Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Ganjar Pranowo menambahkan, pasal 218 mengenai pergantian antarwaktu anggota Dewan juga jadi ganjalan. Di pasal itu, yang menentukan penggantinya adalah partai berdasarkan nomor urut. Sedangkan di sistem suara terbanyak, belum jelas mekanismenya.
"Mestinya bisa dengan ranking, tapi pasal ini kan tidak dibatalkan?" kata Ganjar. Dia berkukuh: undang-undang harus digantikan oleh aturan setingkat undang-undang.
Sebagai preseden, ia mencontohkan keputusan Mahkamah Konstitusi tentang bakal calon perorangan untuk pemilihan kepala daerah, yang langsung disusul revisi undang-undang. Ia khawatir pihak-pihak yang tak puas dengan penetapan calon terpilih kelak berbondong-bondong menggugat Komisi Pemilihan.
Gugat-menggugat antarcalon juga bakal marak. "Bisa enggak beres-beres pemilunya," kata Ganjar. Semestinya, keputusan Mahkamah soal suara terbanyak diterapkan setelah Pemilu 2009.
Anggota Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Denny Indrayana, membantah Ganjar. "Tak perlu revisi undang-undang, bisa langsung dilaksanakan," ujar Denny. Contohnya Undang-Undang Pemilu Legislatif yang mensyaratkan calon tidak terlibat G30S dan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah harus berasal dari provinsi bersangkutan, yang dibatalkan Mahkamah.
Denny menyarankan Presiden tak menerbitkan Perpu soal penetapan suara terbanyak. Kalaupun dibuat aturan, biar dilakukan Komisi Pemilihan saja, karena sudah menyangkut hal-hal teknis. Misalnya soal penentuan calon terpilih ketika dua calon mengantongi suara sama banyak untuk memperebutkan satu kursi. Soal menandai gambar partai, bukan nama atau nomor calon, juga perlu diatur.
Menteri Dalam Negeri Mardiyanto menyatakan akan terus berkonsultasi dengan Komisi Pemilihan. "Kami akan mengakomodasi semuanya," kata Mardiyanto. "Sejak awal kita tidak menang-menangan."
Toh, Tim Kecil Perumus Draf Perpu, yang dibentuk Departemen Dalam Negeri dan Biro Hukum Komisi Pemilihan, berhasil menyusun draf Perpu Nomor 10/2008. Draf itu mencantumkan aturan tambahan soal tambahan daftar pemilih tetap, pengesahan penandaan gambar partai dan nama atau nomor calon sekaligus, penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, serta keterwakilan calon perempuan.
"Ini baru kesepakatan di Tim Kecil," kata anggota Komisi, Andi Nurpati Baharuddin. "Saya tidak tahu apakah di tataran Sekretaris Negara ke atas sampai Presiden usul itu diterima."
Ia berharap sebelum akhir bulan ini semua sudah kelar. Komisi juga telah merampungkan draf aturan pelaksanaannya. "Kami buat opsi satu dan dua, jaga-jaga kalau usulnya ditolak," kata Andi.
Agus Supriyanto, Pramono, Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Edi Faisol (Tegal)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo