Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=arial size=1 color=brown><B>Lumpur Lapindo</B></font><BR />Satu Wilayah, Beda Nasib

Ribuan warga Sidoarjo menunggu uluran tangan pemerintah. Menuntut wilayah mereka dimasukkan peta terdampak lumpur.

3 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAPAN merah setengah meteran persegi itu bertulisan ”Awas bahaya gas, dilarang merokok atau menyalakan api”. Di depan lahan kosong itu terbentang garis polisi, memperkuat larangan.

Di lahan kosong di Desa Siring bagian barat itu, sebuah pipa berdiameter 20 sentimeter menjulang bagai menuding langit. Pipa itu terhunjam kukuh dengan baluran beton mengitarinya. Tepat di bawahnya, pipa berdiameter sama tampak menjulur horizontal menuju sebuah got.

Dua pipa itu dibangun oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo untuk mengatasi gas yang menyembur di Desa Siring Barat, Kecamatan Porong. Pipa vertikal digunakan untuk membuang kandungan gas metana, sedangkan pipa horizontal mengalirkan air ke saluran di perkampungan Siring.

Di kawasan Siring Barat tak sulit menemukan pipa-pipa yang berfungsi ”mengendalikan” gas liar ini. Sejak gelembung gas menyembur di lahan milik warga Desa Siring Barat, setahun lalu, setidaknya telah bermunculan 98 semburan gas liar. Munculnya bisa di persawahan, pekarangan, bahkan di dalam rumah penduduk.

Karena itu, tak mengherankan jika sejumlah warga Siring Barat merasa terancam hidupnya karena gas sewaktu-waktu bisa mendadak muncrat. ”Saya lebih suka di luar rumah,” kata Sriatun, 45 tahun, warga Desa Siring Barat. ”Kalau di dalam, takut rumahnya meledak.”

Kekhawatiran Sriatun masuk akal. Rumahnya hanya terpaut satu rumah dari sumber gas tersebut. Apalagi sumur bor miliknya kadang juga mengeluarkan bau gas. Untuk memasak saja, Sriatun harus menggotong kompor dan peralatan dapur ke emperan rumah. ”Kalau enggak hati-hati, rumah saya bisa terbakar.”

l l l

KETAKUTAN terhadap semburan gas hanyalah satu dari sejumlah masalah yang kini melilit ribuan warga Siring Barat. Jarak desa itu, yang hanya sekitar 1,5 kilometer dari pusat semburan lumpur Lapindo, membuat hampir seluruh rumah retak-retak. Sejumlah tanah warga juga mulai ambles.

Hingga kini pemerintah tak kunjung menetapkan wilayah itu sebagai kawasan terdampak lumpur Lapindo. Padahal, selain Siring Barat, kondisi serupa dialami warga yang tinggal di wilayah Jatirejo bagian barat dan Desa Mindi di Kecamatan Porong.

”Kami tidak tahu mengapa pemerintah diam saja, mungkin menunggu kami mati perlahan,” kata Bambang Kuswanto, warga Desa Siring Barat. Selain puluhan kali menggelar unjuk rasa, perwakilan warga sudah ke Jakarta, menuntut agar desa mereka dimasukkan peta terdampak lumpur.

Tiga wilayah ini—Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi—sebetulnya sudah pernah diteliti tim yang dibentuk Gubernur Jawa Timur—saat itu Imam Utomo. Tim waktu itu menyimpulkan tiga wilayah tersebut sebagai area yang berbahaya untuk dihuni.

Tim meminta agar wilayah tersebut dikosongkan dan pemerintah segera merumuskan ganti rugi bagi warga. ”Tapi, hingga sekarang pemerintah belum memberikan keputusan,” kata Bambang.

Hingga kini, tiga wilayah itu masih dihuni ribuan warga. Wilayah Siring Barat, 27 hektare, masih dihuni 350 keluarga. Jatirejo Barat, 7 hektare, masih dihuni 300 keluarga. Desa Mindi, 30,5 hektare, dihuni 1.280 keluarga.

Nasib tak pasti yang dialami warga Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi kini juga menimpa 343 keluarga yang tinggal di wilayah Desa Besuki bagian timur tol, Kecamatan Jabon. Meskipun belum seluruhnya direndam lumpur, wilayah Besuki timur tol sudah dikepung tanggul lumpur dan tanggul Sungai Porong. ”Kami seolah berada di dalam tempurung, di kanan-kiri ada tanggul,” ujar Irsyad, warga Besuki Timur.

Menurut Irsyad, dari 38 hektare sawah milik warga Besuki Timur, 30 hektare sudah terendam lumpur, dan tinggal 8 hektare tanah pekarangan yang belum terendam. Akibat lumpur pula, setengah hektare sawah milik Irsyad kini berubah menjadi kubangan.

Dengan ”hilang”-nya sawah ini, praktis Irsyad menganggur. Untuk memberi makan istri dan tiga anaknya, Irsyad sudah melego sepeda motor Honda Grand 2004, lemari, kulkas, televisi, dan perabot lain miliknya.

Bersama Irsyad, kini nasib ratusan warga di Besuki timur tol tak menentu. Untuk menyambung hidup, sebagian ”bekerja” menjadi penjaga portal di bekas jalan tol Porong atau mengemis di setiap perempatan jalan.

l l l

Karena nasib yang tak jelas itu, Irsyad menuduh pemerintah menganaktirikan mereka. Setelah pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 dan Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2008, belum ada kepastian pemberian ganti rugi bagi warga yang tinggal di wilayah Siring Barat, Jatirejo Barat, Mindi, dan wilayah Besuki bagian timur.

Padahal, dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, pemerintah menjamin warga Desa Siring, Jetirejo, Kedungcangkring, Renokenongo, dan Ketapang, Kecamatan Porong, mendapat ganti rugi dari PT Lapindo. Adapun dengan Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2008, warga di Desa Pejarakan, Kedungcangkring, dan Besuki, Kecamatan Jabon, akan diberi ganti rugi dengan anggaran pendapatan dan belanja negara.

Menurut Irsyad, wilayah Besuki Timur adalah satu wilayah di dalam Desa Besuki. Yang membedakan, dua wilayah ini hanya dipisahkan oleh bekas jalan tol Porong. Hanya, nasib warga Besuki bagian barat jalan tol lebih beruntung karena dimasukkan ke peta terdampak lumpur yang ganti ruginya diambil dari kas negara.

Karena itu, kini warga di Siring Barat, Jatirejo Barat, Mindi, dan wilayah Besuki bagian timur menuntut wilayah mereka dimasukkan peta terdampak lumpur Lapindo. Untuk memperjuangkan nasib mereka, sudah dua pekan ini sepuluh perwakilan warga bergerilya ke gedung DPR di Jakarta.

”Kami meminta Dewan memasukkan Besuki Timur, Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi untuk mendapat ganti rugi,” kata Adib Roisadi, salah satu wakil warga Desa Besuki Timur, kepada Tempo.

Bupati Sidoarjo Win Hendrarso sudah lama berharap warga di empat wilayah itu mendapat payung hukum dan ganti rugi. Begitu juga Sunaryo, Ketua Badan Penanggulangan Lumpur. Cuma, ”Pemerintah belum memberi jawaban,” katanya.

Zed Abidien, Rohman Taufiq (Sidoarjo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus