Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAJA Muda Dissan Maulana bersungut-sungut. Tangan Sultan Bulungan, Kalimantan Timur, ini menunjuk songkok dan baju kastim hitam bersulam emas berenda di dekatnya. ”Tidak jadi saya pakai. Padahal sudah saya siapkan jauh hari,” kata Maulana, Selasa pekan lalu.
Ia juga telah mengemas rapi sepasang lambang Kesultanan Bulungan dan logo Bulungan dari emas murni. Ini cendera mata untuk sang Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Tapi benda kenangan itu batal ia serahkan kepada Sultan.
Maulana, bersama 46 raja Nusantara lainnya, sebenarnya sudah berada di Hotel Melia Purosani, Yogyakarta, dua hari sebelum Pisowanan Agung. Panitia pisowanan-lah yang menyiapkan akomodasi para raja itu. Menurut Sekretaris Jenderal Forum Silaturahmi Keraton Nusantara Pangeran Haryo Gunarso Kusumodiningrat, mereka ini mewakili 118 raja di seluruh Indonesia yang akan hadir dalam acara pisowanan.
Tapi para petinggi itu tak muncul. Boikot? Sumber Tempo menyebut Sultan Surakarta Hadiningrat Sri Susuhunan Pakubuwono XIII Tedjowulan yang memulai semuanya. Sejak awal, kata sumber itu, Tedjowulan berniat menggembosi Pisowanan Agung. Saat ini Tedjo adalah anggota Dewan Penasihat Partai Gerindra, yang menyokong Prabowo Subianto sebagai calon presiden.
Tedjowulan tak sepenuhnya menampik tudingan itu. Ia menyatakan ingin memberikan pemahaman makna Pisowanan Agung kepada raja-raja di luar Jawa. ”Mereka tidak tahu apa arti pisowanan,” kata Tedjowulan, Jumat pekan lalu.
Menurut dia, raja-raja Nusantara berposisi sederajat. Pisowanan adalah kegiatan rakyat menghadap raja. Karena itu, kata dia, untuk menghormati raja-raja lain yang hadir sebagai tamu, pada saat pisowanan mestinya Sultan memakai baju kebesaran. Sebab, kata dia, raja-raja yang diundang juga mengenakan baju kebesaran. ”Kita ini sama-sama trahing kusuma rembesing madu (keturunan orang terpilih),” katanya.
Apalagi, dalam surat kabar dan televisi Yogyakarta, Sultan diberitakan tidak mengundang raja-raja. Tedjowulan lalu mengumpulkan raja-raja di Hotel Melia. Sebagai Ketua Dewan Pembina dan Penasihat Forum Silaturahmi Keraton, suara Tedjo memang cukup didengar. Rapat dadakan pun digelar. ”La, kami ini dianggap apa? Kami datang diundang, kok,” kata Tedjowulan. ”Ucapan Sultan mempermalukan kami,” Haryo Gunarso menambahkan.
Ketika itu, dua jam lagi acara dimulai. Para raja pun sudah siap di Hotel Melia, yang berjarak sekitar satu kilometer dari Alun-alun Utara, tempat pisowanan. Meth Kusumohadi, orang dekat Sultan yang mendapat tugas mengundang raja-raja, berusaha mencairkan suasana. Menurut Meth, yang mengundang para raja memang panitia, bukan Sultan. ”Sebab, bila Sultan yang mengundang, kesannya Sultan mencari dukungan,” katanya.
Tapi Sultan akhirnya mengalah. Buru-buru ia membuat undangan tulisan tangan. Isinya meminta para raja datang ke pisowanan. Dalam kertas yang sama, Sultan mengundang makan pada malam harinya di Hotel Melia. ”Saya wegah (ogah) baca undangan itu,” kata Tedjowulan. Rupanya, para raja menuntut Sultan minta maaf. ”Tapi Sultan tidak minta maaf,” kata Maulana. Meth rupanya tak meneruskan permintaan ini ke Sultan.
Empat hari sebelum pisowanan, sejumlah orang yang tergabung dalam Kawula Pendherek Sultan membuat aksi tandingan. Kawula adalah sekelompok warga Yogya yang mengaku tak ingin Sultan masuk dunia politik agar keluhuran raja mereka tak ternoda. Mereka menggelar Pisowanan Ijen di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Yogyakarta di Jalan Malioboro. Mereka mengkritik pisowanan, yang mestinya bermakna budaya dan kebatinan tapi dijadikan alat politik. ”Ini pelecehan budaya,” kata Ketua Kawula, Nang Sri Roekmadi.
Yang di Yogya memprotes, yang jauh tak datang ke Yogya. Sultan Ternate Mudaffar Syah, misalnya, sejak awal ogah hadir ke pusat Kerajaan Mataram itu. Katanya, ia tidak ingin menjadi dagangan politik. ”Saya tidak mendukung Sultan,” ujar Mudaffar, Kamis pekan lalu. Sukardi Rinakit, orang dekat Sultan, menyatakan memang Sultan berseberangan dengan sejumlah raja. ”Dinamikanya sangat tinggi,” katanya.
Sunudyantoro (Jakarta), Bernarda Rurit (Yogyakarta), Verrianto Madjowa (Ternate)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo