Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=arial size=1 color=brown><B>Pelanggaran Hak Asasi</B></font><BR />Masih Tetap Sebatas Janji

Pemerintah mempersiapkan proses penyelesaian orang hilang dan pelanggaran hak asasi manusia. Melalui konsep apologi publik.

24 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAWA lembap rumah 84 meter persegi itu kini terasa sedikit hangat. Satu komputer jinjing terletak manis di meja ruang tamu. ”Saya sempat ditolak mengajukan kredit laptop,” kata Dyah Sujirah di rumahnya di Jalan Juanda, Jebres, Surakarta, Jumat pekan lalu. Perempuan 43 tahun yang biasa disapa Sipon itu tak bisa menunjukkan kartu tanda penduduk suaminya.

Sipon tak mati akal. Istri Wiji Thukul, penyair yang hilang sejak Mei 1998 itu, menyodorkan buku Kebenaran Akan Terus Hidup kepada petugas bank. Buku yang disunting Wilson, bersampul hitam dengan gambar Thukul itu memuat esai, wawancara, puisi, kisah hilangnya Thukul, serta perjuangan Sipon dan kedua anaknya mencari sang kepala keluarga. Permohonan kreditnya akhirnya dikabulkan.

”Jika ada urusan yang terkait dengan KTP suami, buku itu saya tunjukkan,” kata Sipon. Tapi, ”Paling sedih jika ada petugas sensus penduduk.” Dia langsung lemas dicecar pertanyaan tentang keberadaan suaminya, kartu tanda penduduk, atau surat kematiannya.

Kini tiap bulan Sipon menyisihkan penghasilan menjahit dan kerja serabutan untuk mengangsur laptop. Perangkat itu memang mustahak bagi putri sulungnya, Fitri Ngantiwani, mahasiswi Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Kadang juga dipakai Fajar Merah, anak keduanya yang belajar di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Solo. ”Biar Wani dan adiknya bisa mengikuti perkembangan zaman,” kata Sipon.

Bagi Sipon, KTP suaminya bukan sekadar identitas atau prasyarat mencari utang. ”Kami perlu pengakuan bahwa negara bertanggung jawab atas penghilangan suami saya,” katanya. Dia siap menerima kenyataan, apakah suaminya masih hidup atau sudah mati. Selama 12 tahun, dia dan keluarga 13 korban orang hilang akibat pelanggaran hak asasi manusia menuntut negara mengakui kesalahan. Bagi mereka, bukan masalah kompensasi yang jadi soal. ”Janganlah tuntutan kami dinilai secara ekonomis semata,” kata Sipon.

Tak adanya kartu tanda penduduk atau surat kematian suaminya telah membuat hak sipil Sipon terampas. Karena itu hatinya berdebar kencang ketika menerima pesan pendek dari Denny Indrayana, staf khusus Presiden bidang hukum dan hak asasi manusia, beberapa waktu lalu. ”Mas Denny menyampaikan, soal suami saya dan yang lainnya akan segera diselesaikan,” kata Sipon. ”Semoga janji itu benar, biar anak-anak tahu bapaknya bukan minggat.”

Tentang rencana pemerintah menangani korban pelanggaran hak asasi manusia, Denny tak bersedia memberikan penjelasan. Menurut dia, masalah itu masih dalam proses. ”Semua off the record, biar prosesnya tak ribut dulu,” kata Denny kepada Tempo, melalui pesan pendek.

Usman Hamid lebih gamblang menerangkan. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) itu menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berniat menyelesaikan semua perkara pelanggaran hak asasi. ”Wacana permintaan maaf diatur melalui konsep apologi publik atas nama negara, akuntabilitas penegakan hukum, dan restorasi keadilan,” kata Usman.

Mulanya adalah pertemuan Yudhoyono dengan keluarga korban pelanggaran hak asasi dalam ulang tahun Kontras pada 2008. Ketika itu, ”Presiden berjanji menyelesaikan semua kasus,” kata Usman. Ketika janji Presiden masih di awang-awang, Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, 28 September 2009, menyepakati empat rekomendasi kasus penghilangan paksa aktivis prodemokrasi 1997-1998.

Pertama, merekomendasi pembentukan pengadilan ad hoc hak asasi manusia. Kedua, merekomendasi pencarian 13 aktivis yang hilang. Ketiga, merekomendasi rehabilitasi dan kompensasi bagi keluarga korban aktivis yang hilang. Keempat, merekomendasi ratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan menghentikan praktek serupa di Indonesia.

Ketiga belas aktivis yang hilang adalah Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser. ”Rekomendasi parlemen itu basis dukungan politik resmi, harus ditindaklanjuti,” kata Usman.

Ketika berpidato dalam rapat koordinasi para penegak hukum di Istana Negara, 4 Mei lalu, Yudhoyono kembali berjanji menegakkan keadilan. Forum itu menghasilkan koordinasi lintas lembaga Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, dan kepolisian—disingkat Mahkumjakpol. Setelah membuka forum itulah ide penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi dimatangkan.

Dua staf khusus Presiden, Denny Indrayana dan Andi Arief, diminta berdiskusi lebih lanjut. Ketika itu pula Usman Hamid dan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ifdhal Kasim, diajak berembuk. Pertemuan dilakukan beberapa kali, di Istana dan di ruang Sekretaris Kabinet. ”Kami menyusun empat draf keputusan presiden, sesuai dengan rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat,” kata Usman.

Draf pertama menyangkut pembentukan satuan tugas pencarian orang hilang. Kedua, pembentukan pengadilan ad hoc hak asasi. Ketiga, pembentukan badan pemulihan hak-hak korban pelanggaran hak asasi. Keempat, ratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa. Persoalan tahanan politik akibat dituduh terlibat Gerakan 30 September 1965 juga diakomodasi.

Prinsipnya, hubungan negara dan rakyat harus kembali setara. ”Seseorang yang akibat keterlibatannya dalam politik lalu menjadi sampah juga harus dipulihkan haknya,” kata Usman. Dia berharap rencana itu tak dijadikan komoditas politik Yudhoyono. ”Mari bersama-sama menyelesaikan kejahatan masa lalu,” katanya.

Ifdhal Kasim menargetkan, rencana itu berjalan tahun ini. Menurut dia, ini momentum Yudhoyono jika ingin disebut negarawan. ”Bagaimana caranya mengambil kotoran di atas tumpukan tepung tapi tepungnya tak tumpah,” kata Ifdhal. Komnas HAM sudah menyiapkan segudang data. Di antara yang sudah lengkap adalah kasus Talangsari, Semanggi I dan II, Mei 1998, dan kasus orang hilang.

Mugiyanto, Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia, berharap rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat segera diwujudkan. Demikian pula harapan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Patra M. Zen. Di Jebres, Sipon menggumam lirih, ”Kami tak lelah menuntut agar anak-anak kami tenang, terang menatap masa depan.”

Dwidjo U. Maksum

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus