Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soal gugat-menggugat tak pernah lepas dari Ketua Dewan Pertimbangan Agung, Dr. H. Ahmad Arnold Baramuli, S.H. Dulu, orang Bugis ini boleh gagah berani membongkar kasus megakorupsi Eddy Tansil. Sekarang, mantan jaksa yang terkesan jadi "juru kampanye Habibie" itu giliran jadi obyek gugatan. Desember lalu, lima anggota DPA?Ahmad Syafii Maarif, Mario Viegas Carrascalao, Yahya Theo, Darussamin, dan Suryatna Subrata?mengajukan mosi tidak percaya atas sepak terjangnya yang dinilai kelewat batas. Khususnya, saat Desember lalu ia mengeluarkan "seruan primordial" di depan massa Golkar di Ujungpandang, "Kalau tidak mencoblos Golkar, Anda tidak akan punya presiden lagi dari Sulawesi Selatan."
Kemudian, 14 Januari lalu, dua tokoh Barisan Nasional, Kemal Idris dan Ali Sadikin, menggugat Rp 100 miliar sehubungan dengan pernyataan Baramuli untuk "me-Nusakambangan-kan" mereka yang dianggap "makar". Meski terkesan jadi agak berhati-hati, toh ia menjawab lantang berbagai pertanyaan Karaniya Dharmasaputra dan Darmawan H. Sepriyossa dari TEMPO. Berikut petikannya.
Ahmad Syafii Maarif mengajukan mosi tidak percaya terhadap Anda sebagai Ketua DPA. Bagaimana kelanjutannya?
Tidak ada itu mosi tidak percaya, menurut perundangan-undangan, mengenai DPA. Syafii cuma bertanya, "Anda pergi ke daerah Indonesia Timur memakai baju kuning, sebagai Ketua DPA atau kader Golkar"? Semua di DPA harus didengar. Pada waktu saya sebagai Ketua DPA, saya tidak akan menjadikan pendirian Golkar sebagai pendirian saya di DPA. Akhirnya, Syafii pun bisa menerimanya. Lalu kita mengadakan rapat pleno. Tapi hasil rapat tanggal 14 Januari itu disepakati untuk tidak diberitakan kepada pers, karena sifatnya intern dan ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan.
Bukankah pernyataan Anda di Ujungpandang itu berbau primordial dan tidak mencerminkan sikap seorang negarawan?
Kalimat saya yang benar begini: "Dalam sejarah, baru kali ini ada seorang putra Sulawesi jadi presiden RI. Saudara-saudara bangga tidak?" Itu bukan primordialisme. Sama dengan orang Jawa, masa tidak bangga kalau ada orang Jawa jadi presiden. Itu justru wawasan kebangsaan yang besar, tidak sempit.
Tapi kenapa semasa Soeharto memerintah Anda selalu bilang bahwa presiden harus orang Jawa?
Itu betul. Karena banyak jumlahnya, sekitar 120 juta, wajar kalau orang Jawa menjadi presiden. Tapi kalau wakilnya juga dari Jawa, itu menghilangkan keseimbangan. Wakilnya mesti dari luar Jawa.
Kemal Idris dan Ali Sadikin menggugat Rp 100 miliar karena pernyataan Anda dinilai menghina. Itu benar pernyataan Anda?
Saya menjelaskan, kalau seseorang diperiksa polisi dan dituduh makar, arti makar itu berarti pemberontakan, pengkhianatan terhadap negara. Saya tidak menghina mereka. Mereka saja yang merasa dihinakan, bukan cuma oleh saya, mungkin oleh semua orang. Ucapannya jadi seperti orang Pasar Senen, lepas kontrol seperti tidak erpendidikan saja. Bilang mau menempeleng, apalagi saya disuruh mencium kakinya,kampungan itu. Saya ini Ketua DPA. Yang dia hina bukan saya, tapi lembaga DPA. Jangan menjadikannya urusan pribadi dengan saya. Bisa celaka orang itu. Terhadap orang lain boleh, tapi tidak dengan Baramuli.
Anda juga menyatakan akan mengirim mereka ke Nusakambangan?
Benar. Kalau saya jadi presiden, saya kirim ke Nusakambangan, bukan di Jakarta. Apa itu menghina dia? Itu pendapat saya. Untuk yang mau memberontak, kenapa tidak?
Apakah DPA sebaiknya dibubarkan saja, karena sejak tahun 1950-an pun Soepomo sudah menyatakan peran DPA tidak jelas....
Saya tidak ingat apa yang dikatakan Soepomo. Saya harus mengeceknya dulu. Tapi, pada saat merdeka, sistem ketatanegaraan kita hampir sama dengan Belanda, yang memiliki DPA, disebut raad van state. Begitu juga di Prancis. Kalau dinilai tidak efisien, kenapa negara-negara maju itu mempertahankannya? Kalau pernyataan Ichlasul Amal (Rektor UGM Yogyakarta) yang juga menyarankan untuk membubarkan DPA, itu berkaitan dengan penilaiannya atas DPA yang lama.
Anda banyak dinilai melewati kewenangan sebagai Ketua DPA?
Banyak yang kaget melihat tindakan dan keputusan DPA di bawah kepemimpinan saya, yang bercorak reformasi dan terbuka. Berbeda dengan dulu masa Orde Baru yang sentralistis dan tertutup. Bayangkan, baru tujuh bulan, DPA telah menyerahkan 67 pertimbangan pada Presiden. Sebelumnya, di bawah Pak Domo, selama lima tahun cuma ada 53 pertimbangan.
Dari 67 pertimbangan, berapa yang dilaksanakan Presiden?
Hampir semuanya.
Pengaruh Anda pada pengambilan keputusan Habibie lebih besar daripada menteri?
Saya memberi masukan kepada Habibie karena dia kan baru menjadi presiden.Semua anggota DPA hakul yakin, kita harus membantu dan memberinya nasihat.
Kenapa Anda begitu gigih membela Habibie?
Salah lagi itu, ha-ha-ha.... Banyak pertimbangan saya yang cocok dengan Presiden Habibie.
Dalam seminggu, berapa kali Anda bertemu Habibie?
Bisa satu-dua kali seminggu atau melalui telepon. Tapi pertemuan rutin dan formal antara dua lembaga pemerintah tiap seminggu sekali.
Apakah perusahaan Anda, Grup Poleko, memiliki keterkaitan bisnis dengan keluarga Habibie?
Tidak ada. Banyak keluarga Presiden Habibie sudah berbisnis dari dulu. Jangan disamakan dengan menteri-menteri yang dekat dengan Pak Harto karena urusan keuangan. Kalau dia menerima dana dari Pak Harto, itu dalam kaitannya dengan teknologi. Kalau dia dituduh KKN, mungkin ada, tapi minimal sekali. Dalam arti, dia diperbolehkan menggunakan dana reboisasi, misalnya. Tetapi itu kan untuk IPTN.
Anggota DPA didominasi "orang dekat" Habibie?
Yang dekat itu cuma Ahmad Tirtosudiro dan Baramuli, dalam pengertian sering keluar-masuk rumahnya. Yang lain saya kira tidak. Kebetulan saja kita dipilih.
Apa tanggapan Anda terhadap calon presiden seperti Megawati, Amien Rais, dan Gus Dur?
Setiap orang boleh menjadi calon presiden, asal ada parpol yang mencalonkannya. Tidak ada masalah. Dari sekian banyak syarat menjadi presiden, saya ingin menambahkan satu syarat, yaitu: memiliki pengetahuan, pengalaman, dan bisa diterima secara internasional.
Maksudnya, yang paling tepat adalah Habibie?
Ya, dalam hal itu. Tapi kita harus obyektif. MPR kan belum tentu demikian, mungkin mereka bilang, "Kita pilih saja orang lain yang pendidikannya SMA."
Selain itu, apa yang menyebabkan Anda memilih Habibie?
Kesan saya, beliau seorang demokrat yang profesional. Dia berusaha betul-betul melakukan tugasnya secara tuntas, akurat, dan sempurna. Tak banyak orang yang begitu.
Lalu dari mana basis dukungannya?
Beliau adalah kader Golkar, sehingga yang harus mengusulkannya, ya, Golkar. Sampai saat ini memang belum ada keputusan. Tapi kecenderungannya saat ini sebagian besar mengarah demikian, meski belum resmi.
Ada suara di Golkar yang menginginkan presiden berasal dari ketua partai?
Tidak perlu, Presiden Habibie masih kader Golkar. Beliau itu kan malah pemimpinnya pemimpin partai karena dulu sudah jadi koordinator harian, adapun Akbar Tandjung cuma sekretaris. Jadi ia adalah leader of the leaders. Ini juga kalau Saudara bilang Akbar Tandjung adalah leader.
Benarkah ada ketidakserasian antara Habibie dan Akbar Tandjung saat ini? Soal status pegawai negeri sipil di RUU politik, misalnya?
Ah, itu wartawan yang bilang. Kalau soal pegawai negeri, rumusannya kan dari Mendagri. DPA juga mendukung pegawai negeri harus netral, dan kalau menjadi pengurus parpol, harus dibebastugaskan. Cuti di luar tanggungan.
Mengapa Akbar tak bisa mendisiplinkan jajarannya di FKP agar sesuai dengan garis pemerintah?
Tak tahulah, tanya saja sama Akbar. Mungkin yang lain-lain itu menganggap dirinya sama dengan Akbar. Hanya karena dia dipilih sebagai ketua umum, ia mempunyai kelebihan.
Perolehan suara Golkar diramalkan tidak akan lebih dari 20 persen?
Dibilang 20 persen atau kurang, boleh. Tapi, kalau tahun 1997 Golkar punya 36 juta anggota, bagaimana bisa dibilang cuma 10 persen? Pada pemilu ini, yang punya hak memilih 120 juta. Jadi, Golkar bisa sekitar 35 persen, kan? Pada 1997, simpatisan Golkar 67 juta lebih, sehingga Golkar memenangkan pemilu dengan 73 persen.
Itu kenyataan. Lepas dari curang atau tidak, itu hasil resmi pemilu. Itu kan baru sekitar dua tahun yang lalu. Banyak para intelektual, pejabat negara, pegawai negeri mencari partai yang betul-betul memperjuangkan kepentingan bangsa dan Pancasila. Tidak semua partai kan mau mencantumkan Pancasila sebagai asas?
Lalu siapa wakil presidennya?
Ini pertanyaan besar. Bagus kalau orang yang sudah bekerja sama dengan dia di bidang pertahanan dan keamanan. Menhankam/Pangab Wiranto itu bagus.
Alasannya?
Karena perlu ada kekuatan yang mampu menertibkan bangsa ini. Dan orang-orang semacam itu hanya terdapat di ABRI, yang memiliki disiplin tinggi. Dan di MPR, ABRI masih memiliki dukungan sekitar 40 orang. Itu alasannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo