Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Getir Ambon di Idul Fitri

Puluhan jiwa melayang setelah pertikaian berdarah di Ambon. Konflik menukik pada perkara sensitif: agama, juga suku. Ada jam malam dan instruksi tembak di tempat. Buntut setelah peristiwa Ketapang?

25 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Ambon, Lebaran memancarkan berkah, sekaligus amarah. Sekitar 20 ribu warga tampak ketakutan, lalu mengamankan diri di barak-barak militer. Sebagian penduduk terpaksa bersembunyi di masjid-masjid besar, juga gereja?yang sempat diamankan petugas. Selepas "kawasan aman" ini, bahaya menerkam: orang jadi beringas dan siap membantai sesamanya. Darah terlihat muncrat di mana-mana. Entah berapa kepala telah melayang sia-sia, usus terburai, organ tubuh tercabik pelor, parang, juga panah. Perang saudara? Seperti itulah, barangkali, untuk menyebut situasi gawat yang tengah melanda ibu kota Provinsi Maluku itu. Yang bertikai memang sesama warga setempat. Tapi belakangan konflik menjurus pada soal agama: warga Ambon beragama Islam melawan Kristen. Sampai-sampai, Panglima Daerah Militer VII Trikora Mayjen Amir Sembiring, di hadapan jemaah Gereja Rehobot, Sabtu petang pekan lalu, menginstruksikan tembak di tempat bagi para perusuh. "Itu sebenarnya bukan perintah, tapi peringatan agar mereka tak main-main," ujar Komandan Komando Resor Militer 074 Pattimura, Kolonel Hikayat, kepada Andari K. Anom dari TEMPO. Cukup banyak versi yang menyebutkan awal terjadinya tragedi ini. Pihak yang bertikai masing-masing mengklaim bahwa sang lawanlah yang menyulut gara-gara. Namun, titik tolak beragam versi ini menunjuk satu kisah. Adalah Jopie Saiya, sopir angkutan umum warga Desa Batumerah Atas, 19 Januari lalu, dicegat sekelompok pemuda dari Desa Batumerah Bawah untuk dimintai sejumlah uang. Jopie, yang merasa sudah menyetor uang palak, menolak tagihan ekstra dari para pemuda yang diduga preman ini. Akibatnya, Jopie diunjuki senjata tajam. Saat itu, ia memilih lari ke kampungnya. Jopie lantas mengadu kepada kerabatnya. Mereka panas hati mendengar cerita Jopie, lalu bersepakat mendatangi kampung tetangganya. Maksud mereka semula sekadar menanyakan mengapa Jopie diperlakukan buruk. Namun, karena para tamu ini datang dengan parang di tangan, alasan itu tentu sukar diterima oleh warga Batumerah Bawah, yang saat itu tengah merayakan Lebaran. Apalagi, para pemuda yang semula memalak Jopie berteriak gaduh memanaskan suasana. Maka, alih-alih menyelesaikan masalah, Jopie dan kawan-kawan justru dikejar-kejar warga Batumerah Bawah. Pengejaran berlanjut sampai Desa Batumerah Atas, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Karena buruan tak ditemukan, sasaran kegusaran warga Batumerah Bawah beralih ke rumah-rumah di tempat tersebut. Tentu saja warga setempat tidak bisa menerima. Bentrokan pun pecah. Berita perkelahian ini dengan cepat menjalar ke telinga warga Desa Mardika, yang berjarak 3 kilometer dari lokasi. Warga Mardika yang kebanyakan pendatang dari Bugis dan Buton itu dengan cepat bergerak karena terbetik kabar ada masjid yang dibakar. Sebaliknya, warga kampung-kampung yang mayoritas Kristen tak mau kalah karena mendengar ada gereja yang dibakar. Entah dari mana, tiba-tiba saja Ambon saat itu digelontor isu jahat yang sangat deras. Setelah itu, nyaris di setiap penjuru Ambon terbentuk dua kelompok massa yang berhadapan. Menurut Kace Mayaut, juru foto harian Suara Maluku yang meliput di Kampung Batugantung, perkelahian di sana mirip adegan film perang. Anak panah, tombak, dan batu besar beterbangan mencari mangsa. Bahkan, beberapa orang, yang bernyali lebih, berduel adu parang dengan serunya. Bedanya, para pelaku bentrokan di sini betul-betul menemui ajal. Usus terburai, tangan dan kaki putus, bahkan beberapa kepala menggelinding. Dan, astaga, sisa darah korban yang menempel di parang dijilat sebagai simbol kemenangan. Pihak aparat sendiri saat itu dianggap lamban bertindak. Bahkan, sebagian warga Kampung Batugantung, yang mayoritas Kristen, menuduh para polisi yang bertugas di tempat tersebut, yang kebetulan kebanyakan bersuku Bugis, memihak warga Pohon Beringin dan Swabali yang berasal dari suku yang sama. Tuduhan yang belum bisa dipastikan kebenarannya ini tak pelak hampir menyulut insiden sesama aparat. "Makanya, mereka menuntut agar warga Bugis itu diusir dari Ambon," ujar Kace Mayaut, melaporkan dari balik telepon?yang sempat diblokir atau jaringannya dirusak massa. Kerusuhan berlanjut sampai hari-hari berikutnya. Nyala api marak di beberapa tempat karena banyaknya aksi pembakaran. Jam malam yang diberlakukan membuat Ambon bagai kota mati. Listrik padam dan lalu lintas lumpuh. Pasar-pasar tutup sehingga penduduk Ambon yang berjumlah sekitar 310 ribu jiwa ini terpaksa mengonsumsi makanan seadanya karena tipisnya persediaan. Beras luar biasa mahal. Ikan laut susah didapat. Pada Jumat, 22 Januari, ada sedikit sinar terang yang melegakan ketika warga muslim bersembahyang di masjid dijaga warga Kristen. Namun, di sudut lain, saling merazia justru dilakukan. Akibatnya, korban baru pun jatuh. Sabtu, 23 Januari, pukul 11.00 WIT, truk polisi yang mengevakuasi lima warga muslim dicegat warga Kristen. Para penghadang ini tidak percaya perkataan petugas bahwa truk tersebut mengangkut beras. Konyolnya, para petugas justru ngacir melihat keberingasan penghadang. Tak ayal, lima warga muslim yang ada di truk itu akhirnya tewas terbunuh. Menurut sumber TEMPO, kebrutalan ini meluap karena baru saja terdengar kabar terbunuhnya seorang pendeta. Ambon pun kian membara. Sampai Sabtu malam, 23 Januari lalu, tercatat 48 orang tewas. Sebagian besar adalah korban bentrokan. Namun, menurut sumber TEMPO, ada beberapa korban yang tewas karena peluru petugas. Angka ini belum termasuk sebagian desa yang memilih langsung mengubur warganya yang menjadi korban tanpa melapor. Jumlah korban luka?termasuk aparat?lebih dari seratus orang. Sementara itu, 476 rumah penduduk, 19 kendaraan roda empat, 15 sepeda motor, 200 becak, tiga gereja, dan tiga masjid terbakar. Dan seperti satu keniscayaan, sebuah berita buruk saja tidak cukup bagi masyarakat luas. Selalu saja ada dugaan bahwa peristiwa tersebut tidak berdiri sendiri. Terkadang cerita sampingan ini bisa lebih seru dari yang dibayangkan. Untuk kasus Ambon ini, ada yang menuding ketegangan antara dua pemeluk agama ini diawali oleh adanya penggusuran 38 pejabat teras yang beragama Kristen oleh Gubernur M. Saleh Latuconsina. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid termasuk yang menyesalkan langkah ini. Menurut Gus Dur, sikap ini menimbulkan kemarahan warga Kristen. "Makanya, mbok mereka ingat di Indonesia ini serba berimbang. Jangan mau menang sendiri. Akibatnya jadi seperti ini," ujar Gus Dur. Dan seperti biasa, Gus Dur pun menyodorkan pernyataan yang menyengat. Ia mengatakan bahwa orang-orang Kristen yang bergerak adalah anak buah seorang tokoh di Jakarta yang kebetulan tinggal di Ciganjur, tak jauh dari rumah Gus Dur. Walaupun Gus Dur tidak menyebut nama, tak urung tafsiran orang mengarah kepada Ketua Pemuda Pancasila, Yorris Raweyai, yang kebetulan berumah di Ciganjur. Yorris yang terkena "sambitan" ini tentu menolak mentah-mentah. "Gus Dur kan tidak menyebut nama. Untuk apa saya membuat polemik baru?" ujar Yorris. Ia juga menolak bila organisasinya dikaitkan dengan kerusuhan Ambon. "Di seluruh Indonesia, DPP Ambon yang paling vakum," kata Yorris. Cerita lain yang tak kalah seram, perusuh di Ambon sebenarnya adalah para preman yang terusir dari Ketapang, Jakarta. Menurut sumber TEMPO, mereka mendendam kepada saudara sesukunya yang beragama Islam lantaran tidak membela ketika mereka terpojok saat kerusuhan tempo hari. Maka, untuk membalaskan sakit hati ini, mereka berbondong pulang kampung dan mengacau. Isapan jempol? Boleh saja disebut begitu karena belum adanya bukti yang kuat. Namun, nanti dulu. Masalahnya, setelah peristiwa Ketapang pecah, di Ambon sendiri sudah beredar isu serbuan ini. Bahkan, menurut sumber TEMPO, aparat militer juga sudah mendengar. Anehnya, Komandan Korem Pattimura Kolonel Hikayat, dalam diskusi dengan wartawan setempat, justru yakin tidak akan ada kerusuhan di wilayahnya. Tidak terlalu salah bila orang lantas menganggap fungsi intelijen aparat di Maluku lemah sekali. Pasalnya, pada 12 Desember 1998 lalu, di Desa Hative, Ambon, telah terjadi bentrokan yang melibatkan warga Kristen dan Islam yang menyebabkan beberapa rumah terbakar. Lalu, pada 15 Januari 1999, di Dobo, Maluku Tenggara, ada bentrokan serupa yang menyebabkan delapan orang tewas. Ekor cerita lain yang lebih hebat bukan tidak mungkin segera muncul. Namun, barangkali baik kita cermati pendapat Franz Magnis Suseno. Menurut rohaniwan ini, lebih baik kita berendah hati mengakui bahwa memang ada prasangka dalam hubungan Islam-Kristen di Indonesia. Tapi sangat disayangkan bila kita harus dilumpuhkan masa lampau. Sebab, potensi hubungan baik antarpemeluk agama ini sangat besar. Sebenarnya, di Ambon pun budaya pela gandong adalah cerminan keharmonisan ini. Namun, bingkai itu kini berantakan. Dan julukan Ambon Manise saat ini justru terasa sangat getir. Yusi A. Pareanom, Agus S. Riyanto, Ali Nur Yasin, Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus