Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"jangan kaku dan militeristis"

Wawancara tempo dengan surjadi sudirdja. ia menjadi gubernur dki jakarta menggantikan wiyogo atmodarminto. langkah-langkah yang akan diambil dalam membenahi jakarta.

10 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GUBERNUR Surjadi Sudirdja dilantik Selasa pekan ini. Berbeda dengan yang sebelumnya, gubernur yang baru ini tak suka menyanyi. Bagaimana ia memimpin Jakarta? Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Tapi ibunya, waktu zaman revolusi, 1949, dari Serang, Jawa Barat, nekat menyelundupkannya ke Jakarta, hanya agar ia bisa meneruskan sekolahnya. "Kalau tidak begitu, bagaimana saya bisa menjadi gubernur," ujar Surjadi Sudirdja menceritakan masa kecilnya, beberapa hari menjelang dilantik Selasa pekan ini. Bagi Surjadi, gubernur yang digantikannya pun bukan orang asing. Ketika berpangkat mayor di Siliwangi, 1971, ia sudah kenal dengan Brigjen. Wiyogo, yang waktu itu menjabat Pangkopur Linud Kostrad. Bahkan ketika Wiyogo menjadi gubernur, Surjadi menjadi partnernya sebagai Pangdam Jaya. Di rumahnya, sejumlah karangan bunga memenuhi ruangan. Salah satu di antaranya dikirim oleh sejumlah ulama Banten. "Jabatan gubernur itu anggap saja salah satu jalan ke akhirat," begitu pesan para ulama Banten kepada Surjadi. Pesan ini, menurut Surjadi, akan diingatnya betul. "Insya Allah, saya tahan godaan," katanya. Seperti Wiyogo, apakah ia akan sering menyanyi? Ayah dua orang anak yang masih kuliah itu mengaku tak suka menyanyi. "Tapi saya suka musik apa saja," ujar gubernur yang beristrikan Srie Soemarsih, seorang psikolog. Berikut ini petikan wawancara Linda Djalil dengan Surjadi Sudirdja. Bagaimana Anda melihat Jakarta sekarang ini? Apa yang akan dibenahi pertama kali? Jakarta harus dilihat sebagai ibu kota negara dengan banyak peran. Ada kegiatan politiknya, kegiatan ekonomi, budaya. Pokoknya, sebagai pusat segala kegiatan. Jakarta juga jendela Republik, pusat kontak dengan bangsa lain. Dengan sendirinya ada berbagai aspek: kontak sosial, kontak ekonomi budaya. Yang jelas ada kontak nilai. Juga dengan segala pengaruhnya yang positif dan negatif. Secara geografis, Jakarta tidak terlalu luas. Tapi penduduknya sangat besar dan heterogen. Mencakup segala aspek, dari kehidupan sosial ekonomisnya, etnisnya, agama, ras. Semua kan menimbulkan kompleksitas persoalan. Komplesitas persoalan ini lebih dipengaruhi dengan berkembangnya interes-interes. Sebutlah semacam persaingan. Ada benturan interes, tapi juga ada pertemuan-pertemuan interes. Jadi, kesimpulannya, persoalan Jakarta memang kompleks berat! Siapa pun memimpin Jakarta akan dihadapkan pada persoalan persoalan yang tidak ringan. Inilah gambaran umum kesan saya tentang Jakarta. Masih banyakkah masalah di Jakarta yang belum teratasi? Saya berasumsi, Jakarta kan sudah dikelola, dibangun minimal selama Pembangunan Jangka Panjang Tahap (PJPT) I. Dan pembangunan jangka panjang sifatnya komprehensif integral. Juga ada master plan Jakarta. Peranti-peranti lunaknya untuk membangun Jakarta sudah ada. Kalau dari segi perencanaan, keinginan-keinginan ideal, saya merasa pasti semua sudah tercakup. Semua aspek sudah mendapatkan perhatian. Mengapa masih terasa belum ada yang tercakup? Kan ini persoalannya. Tentu banyak hal. Saya mungkin akan mengamati, dengan logika saja. Saya selalu mengatakan begini, hidup ini bergerak antara idealisme dan kenyataan. Jadi, kalau kita ingin maju, ingin berubah sesuai dengan sifat dan watak pembangunan, kita harus tetap punya idealisme. Tapi di lain pihak kita juga harus mampu menghadapi realita. Kalau memang terasa ada yang belum tercakup, ini adalah suatu kenyataan yang harus kita hadapi. Karena apa? Tuntutan hidup kita tinggi tapi kemampuan terbatas. Misalnya, kendaraan tambah banyak sedangkan jalan yang dibuat tidak bisa mengejar. Ini memang dilema. Akhirnya kita harus berpacu untuk menjembatani agar dilema itu tidak terlalu lebar, dan pada suatu saat bisa pada kondisi yang mendekati idealisme. Tapi apakah realita akan sesuai dengan idealisme? Tidak akan. Ini sudah hukum dunia ..., ha-ha-ha! Dalam menjalankan pemerintahan, Anda akan melakukan pendekatan sosial atau keamanan? Kita harus mendekati secara seimbang. Dalam arti kata, yang terpenting ada itikad, ada keinginan dari seluruh warga Jakarta untuk tertib. Dengan cara bagaimana? Tentu tidak mudah. Harus dengan pendidikan, penyuluhan, gerakan disiplin. Tapi jangan disiplin dalam arti kata sempit yang kaku dan militeristis. Tapi taat pada aturan dalam hal apa pun. Aturan ini kan kita adakan sendiri, agar hidup bermasyarakat ini enak, tidak bertabrakan. Saya rasa dengan pendekatan agama juga tak kalah penting. Sesungguhnya orang kita kan punya modal, yaitu religius. Apa pun agamanya. Apakah akan ada kebijaksanaan gubernur lama yang akan Anda langkahi begitu saja? Prinsip saya, apa yang sudah dicapai, dari satu gubernur ke gubernur lain, harus ada kontinuitasnya. Kebijaksanaan satu gubernur ke gubenur berikutnya harus nyambung, dong. Saya punya filosofi, yaitu filosofi naik tangga. Untuk naik tangga berikutnya, kita tidak akan bisa tanpa menaiki tangga di bawahnya. Tanpa ada pijakan sebelumnya, kita kan nggak bisa naik ke pijakan berikutnya. Nah, anggaplah pijakan itu sudah tersedia. Kalau itu kita copot, kita kan bisa turun ke bawah lagi. Bagaimana dengan masalah tanah di Jakarta yang selalu rawan? Sengketa ini kan tetap seru. Ya, dan akan semakin seru. Karena lahannya segitu segitu terus, orangnya bertambah. Saya tahu, banyak orang tidak bisa mengendalikan diri. Tidak taat kepada hukum yang berlaku, menghalalkan cara. Memang kacau kan kalau begitu? Maka kita harus kembali pada penegakan aturan itu. Bagaimana dengan tanggapan orang tentang aparat Pemda yang doyan dilayani ketimbang melayani? Intinya, aparat harus memberikan pengabdian. Kalau sekarang dirasakan belum bagus, mari kita tingkatkan, tapi kan tidak sesederhana itu. Public service memang belum memuaskan. Saya mengerti. Wiyogo punya motto Bersih, Manusiawi, dan Berwibawa (BMW). Lalu motto Anda apa? Saya belum tahu. Tapi saya rasa BMW itu sudah cukup baik, tinggal diperbaiki di sana-sini. Tiga aspek itu, menurut saya, bagus. Apa harus diganti lagi? Ah, untuk apa ...?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus