DESAS-DESUS di Indonesia kini sudah ganti nama jadi "isu". Tapi,
seperti hama wereng, tetap saja jahat dan tak mudah untuk
membasminya. Isu tentang Presiden Soeharto dan keluarganya, yang
sudah beberapa kali dibantah oleh Kepala Negara sendiri, pekan
lalu kembali jadi topik.
Rabu, di depan upacara ulangtahun ke-28 pasukan baret merah
Kopasandha yang tersohor itu, Presiden sambil memberi wejangan
tanpa teks menyebut contoh beberapa isu itu. Misalnya, bahwa
Ny. Tien Soeharto menerima komisi, menentukan kemenangan tender,
"dan seolah-olah Jalan Cendana itu sebagai markas besar untuk
memenangkan tender, komisi dan sebagainya."
"Jangankan memikirkan itu," kata Presiden, "waktu untuk
memikirkan kegiatan sosial saja tidak cukup." Presiden
menertawakan tidak masuk-akalnya isu-isu yang ditujukan kepada
dirinya, tapi makna pidatonya serius. Isu itu, kata Presiden,
berlatar belakang maksud untuk menyingkirkan dirinya. "Karena
mungkin mereka itu menilai kalau saya jadi penghalang utama
politik mereka. Karena itu saya harus ditiadakan."
Pidato itu jelas merupakan pidato yang terasa kuat nadanya -- di
tengah suasana politik yang sedang sepi berita kini. Namun
masalah "ancaman" sebenarnya juga sudah dikemukakan Presiden
sebelumnya, yakni di depan Rapat Pimpinan ABRI di Pakanbaru
menjelang akhir Maret. Di sana, Kepala Negara --juga dalam suatu
pidato tanpa teks -- menyebut masih adanya kekuatan
anti-Pancasila. Orang melihat ucapan ini sebagai peringatan dini
menjelang pemilu 1982 -- dan juga sebagai pernyataan sikap ABRI
dalam masalah ideologi.
Melongo
Agaknya karena disampaikan oleh Kepala Negara sendiri, perkara
isu tersebut langsung ditanggapi pelbagai sumber. Sabam Sirait
dari Fraksi PDI dalam keterangannya yang dimuat KNI pekan lalu
nampaknya menyarankan agar isu semacam itu sebaiknya tak
ditanggapi sendiri oleh Presiden, karena sifatnya yang "tak
merupakan soal strategis".
Namun benarkah jatuhnya nama baik seorang kepala negara bukan
soal "strategis"? Sejumlah orang, yang menamakan diri "eksponen
pemuda Indonesia", rupanya berpendapat lain. Mereka, 13 orang
banyaknya, mengirim surat terbuka yang antara lain menyerukan
agar DPR "menjernihkan hal-hal yang dikonstatir Presiden". Kata
mereka pula, "martabat dan harga diri Presiden selaku Kepala
Negar perlu dijunjung tinggi oleh setiap warganegara."
Yang menarik ialah bahwa di antara ke-13 pengirim surat itu
terdapat nama A.M. Fatwa dan Ibrahim G. Zakir -- keduanya
pernah ditahan karena kegiatan mereka di sekitar Sidang Umum MPR
yang lalu. Apa maksud mereka sebenarnya? Jawab Fatwa Pidato
Presiden itu agak "lain dari biasa", dan karena itu "DPR perlu
mengclearkan apa yang diucapkan Presiden." Jawab Ibrahim
("Bram") Zakir "Masyarakat biar jangan melongo saja."
Kalangan DPR sendiri, seperti dikatakan Darjatmo, Ketuanya,
kepada Sinar Harapan, belum pernah "menangkap" adanya isu itu.
Tapi ia nampaknya prihatin bila aturan permainan yang bersih
dilanggar oleh satu pihak, yang tentunya akan dibalas pihak yang
lain. "Ini akhirnya tak akan ada habisnya," kata Darjatmo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini