Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Desas Dan Desus

Seolah-olah jalan cendana itu sebagai markas besar untuk memenangkan tender dsb. ada permintaan agar menjernihkan isu itu. (nas)

26 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESAS-DESUS di Indonesia kini sudah ganti nama jadi "isu". Tapi, seperti hama wereng, tetap saja jahat dan tak mudah untuk membasminya. Isu tentang Presiden Soeharto dan keluarganya, yang sudah beberapa kali dibantah oleh Kepala Negara sendiri, pekan lalu kembali jadi topik. Rabu, di depan upacara ulangtahun ke-28 pasukan baret merah Kopasandha yang tersohor itu, Presiden sambil memberi wejangan tanpa teks menyebut contoh beberapa isu itu. Misalnya, bahwa Ny. Tien Soeharto menerima komisi, menentukan kemenangan tender, "dan seolah-olah Jalan Cendana itu sebagai markas besar untuk memenangkan tender, komisi dan sebagainya." "Jangankan memikirkan itu," kata Presiden, "waktu untuk memikirkan kegiatan sosial saja tidak cukup." Presiden menertawakan tidak masuk-akalnya isu-isu yang ditujukan kepada dirinya, tapi makna pidatonya serius. Isu itu, kata Presiden, berlatar belakang maksud untuk menyingkirkan dirinya. "Karena mungkin mereka itu menilai kalau saya jadi penghalang utama politik mereka. Karena itu saya harus ditiadakan." Pidato itu jelas merupakan pidato yang terasa kuat nadanya -- di tengah suasana politik yang sedang sepi berita kini. Namun masalah "ancaman" sebenarnya juga sudah dikemukakan Presiden sebelumnya, yakni di depan Rapat Pimpinan ABRI di Pakanbaru menjelang akhir Maret. Di sana, Kepala Negara --juga dalam suatu pidato tanpa teks -- menyebut masih adanya kekuatan anti-Pancasila. Orang melihat ucapan ini sebagai peringatan dini menjelang pemilu 1982 -- dan juga sebagai pernyataan sikap ABRI dalam masalah ideologi. Melongo Agaknya karena disampaikan oleh Kepala Negara sendiri, perkara isu tersebut langsung ditanggapi pelbagai sumber. Sabam Sirait dari Fraksi PDI dalam keterangannya yang dimuat KNI pekan lalu nampaknya menyarankan agar isu semacam itu sebaiknya tak ditanggapi sendiri oleh Presiden, karena sifatnya yang "tak merupakan soal strategis". Namun benarkah jatuhnya nama baik seorang kepala negara bukan soal "strategis"? Sejumlah orang, yang menamakan diri "eksponen pemuda Indonesia", rupanya berpendapat lain. Mereka, 13 orang banyaknya, mengirim surat terbuka yang antara lain menyerukan agar DPR "menjernihkan hal-hal yang dikonstatir Presiden". Kata mereka pula, "martabat dan harga diri Presiden selaku Kepala Negar perlu dijunjung tinggi oleh setiap warganegara." Yang menarik ialah bahwa di antara ke-13 pengirim surat itu terdapat nama A.M. Fatwa dan Ibrahim G. Zakir -- keduanya pernah ditahan karena kegiatan mereka di sekitar Sidang Umum MPR yang lalu. Apa maksud mereka sebenarnya? Jawab Fatwa Pidato Presiden itu agak "lain dari biasa", dan karena itu "DPR perlu mengclearkan apa yang diucapkan Presiden." Jawab Ibrahim ("Bram") Zakir "Masyarakat biar jangan melongo saja." Kalangan DPR sendiri, seperti dikatakan Darjatmo, Ketuanya, kepada Sinar Harapan, belum pernah "menangkap" adanya isu itu. Tapi ia nampaknya prihatin bila aturan permainan yang bersih dilanggar oleh satu pihak, yang tentunya akan dibalas pihak yang lain. "Ini akhirnya tak akan ada habisnya," kata Darjatmo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus