CINA sedang berubah. Kalimat ini yang paling sering terdengar selama 11 hari mengunjungi RRC, yang berakhir pekan lalu. Ucapan itu terlontar dari mulut banyak orang: sejumlah orang Indonesia yang pernah mengunjungi RRC pada 1970-an, beberapa pejabat RRC, wartawan asing yang bertugas di Beijing, serta sejumlah penduduk RRC sendiri. Perubahan apa? "Tentu saja perubahan ke arah yang lebih baik," kata seorang pegawai pemerintah. Terkesan ada nada bangga waktu ia mengatakan itu. "Lihat saja suasana diluar. Kehidupan sekarang lebih baik. Suasana juga lebih terbuka dan bebas," tambahnya. Atau, mengutip ucapan Wang Yaoting, ketua CCPIT (Badan Promosi Perdagangan Luar Negeri RRC), "Dibanding 1977, situasi sekarang sudah tenteram". Membandingkan RRC yang sekarang dengan sebuah film, yang diputar televisi RRC yang menggambarkan kemajuan negeri itu pada tahun 1970-an, memang tampak ada perubahan. Yang paling mencolok: hampir tidak tampak lagi orang yang berseragam biru atau hijau di jalan-jalan. Pakaian yang paling banyak dipakai adalah baju putih lengan pendek yang dipakai di luar celana. Banyak sekali pria yang memakai celana pendek, termasuk pemuda-pemuda yang menggandeng pacarnya. Sepatu yang paling populer tampaknya sepatu sandal (dengan kaus kaki), termasuk untuk para pejabat pemerintah. Hingga tatkala para anggota delegasi Kadin, yang hampir semuanya memakai setelan jas dan dasi, bertemu dengan pihak RRC dengan celana berwarna gelap dan baju putih lusuh serta sepatu sandal, mencolok sekali kesederhanaan mereka. Kesederhanaan memang tampak di mana-mana. Lapangan terbang, bangunan umum, dan kantor memberi kesan dibangun seperlunya. Tidak ada hiasan atau ornamen yang berlebihan, karpet dan sebagainya, hingga ada kesan semuanya serba telanjang. Toh pada kesan pertama tampaknya hampir semuanya berfungsi. Air di WC umum mengalir, begitu juga di kereta api. Beberapa menit setelah kereta api berangkat, seorang petugas mengepel lantai. Tidak kelihatan sampah berserakan. "Di sini ada semacam polisi kesehatan yang bisa mendenda orang yang meludah sembarangan atau membuang sampah seenaknya," kata seseorang. Kesederhanaan itu agaknya bukan karena disengaja, tapi karena taraf hidup mereka memang mengharuskan mereka begitu. Seorang pegawai pemerintah yang berpendidikan akademis mengaku, setelah bekerja hampir sepuluh tahun menerima gaji sekitar 100 yuan (sekitar Rp 40 ribu). Tapi pengeluaran untuk hidup cukup rendah. Sewa apartemen (dua kamar, di flat yang bertingkat) hanya 3 yuan (Rp 1.200), harga beras Rp 120-Rp 160 per kilo, sedang daging babi paling murah 5 yuan per kilo. Seorang pegawai mengaku, dengan gaji itu ia bisa hidup bersama istri dan seorang anaknya, malah bisa menabung 10 sampai 20 yuan sebulan. Seorang sopir taksi di Guangzhou menunjukkan perincian gaji yang diterimanya. Ternyata, di samping gaji pokok yang cuma 47 yuan, ia bisa memperoleh 19 macam tunjangan. Antara lain tunjangan kemahalan, tunjangan keluarga berencana (bila anaknya satu, bila anaknya dua tunjangan dihentikan, bila anaknya tiga, ia malah didenda), dan tunjangan buat yang beragama Islam ("Karena mereka hanya bisa makan daging sapi, yang lebih mahal dari daging babi"). Keseluruhannya ia menerima gaji sekitar 120 yuan, ditambah bonus yang lebih dari 150 yuan. Lonjakan hampir tiga kali lipat dalam jangka lima tahun itu, konon, disebabkan oleh program "empat modernisasi" yang dicetuskan Almarhum Zhou En-lai pada 1975, serta "politik pintu terbuka" yang dilancarkan Deng Xiao-ping pada 1980. Dengan bangga kini para pejabat RRC mengumumkan bahwa sejak kebijaksanaan itu dilancarkan, volume perdagangan luar negeri RRC telah berlipat dua, penanaman modal asing telah mencapai AS$ 12 milyar dan 2 ribu PMA telah dibangun. Politik pintu terbuka itu memang telah mengubah wajah luar RRC. Suasana keterbukaan memang terasa. Di tempat-tempat umum, penduduk tak takut-takut lagi mendekat dan berbicara dengan orang asing, sesuatu yang beberapa tahun yang lalu bisa menyebabkan seseorang bisa ditangkap. Toko-toko - hampir semuanya milik negara atau koperasi - penuh konsumsi, bermacam pakaian, sampai radio dan televisi. Namun, kelihatan, yang tersedia barulah barang kelas rendah dan menengah. Kerumunan orang memang ada di mana-mana. Satu-satunya yang tampaknya RRC tak mungkin bakal kekurangan adalah manusia. Di mana-mana manusia menyemut. Di jalan-jalan Beijing, atau Shanghai (penduduknya 12 juta), misalnya, di saat pagi atau sore hari orang bisa melihat ratusan ribu, mungkin jutaan, manusia bersepeda. Meski untuk mereka disediakan jalur tersendiri yang cukup lebar, kemacetan sering terjadi. Di Beijing, yang berpenduduk 9 juta, kabarnya ada 4 juta sepeda. Untuk menghindari kecelakaan, penunggang sepeda dilarang berboncengan. Harga sepeda yang sekitar 150 yuan memang terjangkau semua penduduk. Banyaknya manusia ternyata bisa membuat pemandangan yang menakjubkan. Di suatu pagi di lapangan Tian An Men - yang dengan luas 40 hektar merupakan yang terbesar di dunia - saya menyaksikan itu. Sekitar pukul 7 pagi, mendadak barisan bersaf empat itu terbentuk. Dalam beberapa menit barisan itu sudah memanjang sampai puluhan meter. Dengan tertib mereka berbaris memasuki mausoleum Mao Ze-dong. Dan barisan itu seakan tak berakhir. Puluhan ribu orang, entah dari mana asalnya terus bermunculan dan membentuk saf baru. Tatkala beberapa jam kemudian saya melewati Tian An Men lagi, barisan yang ratusan meter panjangnya itu masih terus tumbuh dan bergerak. Jumlah penduduk RRC yang 1,1 milyar memang sering memberi bobot lain pada negara itu. Jumlah penduduk besar sering dianggap sebagai potensi, kekuatan, dan pasar. Tapi juga merupakan masalah, kepusingan, dan beban. Memberi makan penduduk 1,1 milyar itu merupakan masalah besar buat pemerintah RRC. Setelah berkali-kali mengalami kemelut intern yang berdarah, kini resep "pintu terbuka" serta "empat modernisasi" dipandang sebagai cara terampuh untuk menyejajarkan diri dengan dunia internasional. Deng Xiao-ping jelas menjadi tokoh pujaan banyak rakyat jelata yang memperoleh manfaat dari kebijaksanaan baru ini. Hampir semua penduduk RRC yang ditanya memuji Deng. Bagaimana kalau orang tua berusia 81 tahun ini meninggal? Apakah RRC akan tertutup kembali? "Dia sudah menyiapkan penggantinya, hingga kebijaksanaan itu akan berjalan terus. Kami tidak bisa balik kembali ke cara yang dulu," kata beberapa orang yang ditanya. Lantas, bila kini RRC mulai menempuh "jalan kapitalis", bagaimana dengan "jalan sosialis-komunis" yang selama ini dipegang. Seorang pegawai pemerintah menjelaskan, "Sistem kapitalis juga punya kelebihan. Kelebihan inilah yang sekarang dimanfaatkan sistem sosialis kami." "Jalan kapitalis" yang sekarang mulai dilakukan pemerintah RRC memang belum pasti arah dan lama dijalankannya, hingga praktis kebijaksanaan ini belum bisa "dipegang". Makin ke selatan, suasana "kapitalis" makin terasa. Bila di Beijing warna pakaian yang populer adalah putih, di Shanghai, pakaian muda-mudi sudah lebih berwarna-warni. Di Guangzhou, mulai terlihat banyak muda-mudi memasang walkman di kuping. Sedang di Shenzhen, yang terletak berseberangan dengan Hong Kong dan dijadikan daerah ekonomi khusus, suasana RRC hampir tak terasa lagi. Pelayan restoran langsung menghitung bon makan dalam dolar Hong Kong, bukan lagi mata uang RRC (renminbi). Sopir taksi minta dibayar dalam dolar Hong Kong juga. Calo-calo berkeliaran, juga wanita pelacur. Bagaimanapun tampaknya komunisme masih tetap berakar di RRC. Tatkala seorang warga RRC saya tanya, apakah ia percaya pada Tuhan, dengan tertawa ia menjawab, "Saya punya pendidikan cukup. Bagaimana mungkin saya percaya pada Tuhan." Tapi dengan bangga ia bercerita bahwa pemerintah RRC sekarang memberikan kebebasan beribadat pada penduduknya. Gereja, masjid, dan kuil kini memang telah dibuka kembali. Di kuil Long Hua, Shanghai, saya menyaksikan puluhan orang, tua dan muda, berdoa dan membakar hio. Seorang pengantar yang mendampingi saya mengomentari, "Mereka umumnya petani yang tidak memperoleh pendidikan, hingga masih percaya hal-hal seperti itu." Berbagai penyakit masyarakat tetap bertahan. Awal Agustus ini, misalnya, koran China Daily melaporkan: dalam setengah tahun 1985 ini telah terbongkar 12.700 kasus penyelundupan. Kejahatan seks juga dilaporkan meningkat, tanpa disebut angkanya. Tapi kasus yang paling menggegerkan RRC saat ini adalah manipulasi sebesar US$ 1,1 milyar oleh sejumlah pejabat Pulau Hainan, yang memasukkan secara tak sah 89 ribu mobil dan 2,8 juta pesawat televisi. Namun, berita semacam itu jarang sekali muncul di koran atau media massa lainnya, yang semuanya dikontrol pemerintah. Cina memang sedang berubah. Di televisi ada siaran iklan. Di jalan-jalan suasana tampak damai. Hanya sedikit tentara yang kelihatan, dan paling-paling bersenjatakan pistol. Petani, yang bisa menjual sebagian hasil kebunnya di pasar bebas, kelihatannya lebih makmur. Di taman-taman, pemuda-pemudi bebas berpacaran, lebih seru dibanding muda-mudi Jakarta. Tapi semuanya itu cuma kesan sekilas, setelah mengunjungi Beijing, Shanghai, Guangzhou, dan Shenzhen selama 11 hari. Apa yang bergolak di dalam, apa yang sesungguhnya terjadi, tentu mesti dikaji lebih dalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini