Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"Operasi ini Sudah Gagal"

18 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"SAYA akan datang ke Kandang, kalau perlu saya cium tangan ibunya," tekad Kolonel (Infanteri) Johnny Wahab, setelah aparatnya menggebuk tewas empat orang warga Desa Kandang di Gedung KNPI Lhokseumawe, Sabtu pekan lalu. Orang Lampung yang lahir di Kotabumi pada 1950 itu sangat kecewa terhadap kelakuan tentara menghajar tahanan tadi. "Saya merasa kecopetan," katanya singkat. Rumah Kolonel Johnny memang hanya 50 meter dari Gedung KNPI, dan ia tengah berbuka puasa saat tahanannya digebuki.

Lulus Akabri tahun 1974--seangkatan dengan Prabowo Subianto, yang sebelum berhenti dari ABRI berpangkat letnan jenderal--Johnny yang baru dua bulan menjabat itu masih punya tugas berat, yaitu membebaskan Mayor (Marinir) Edianto dan seorang bintara pembina desa masih di tangan para penculik. Aceh memang daerah baru baginya. Sebelumnya ia adalah Asisten Logistik di Kodam Udayana.

Johnny adalah perwira yang karirnya tergolong bagus. Di Sesko AD, ia terpilih sebagai ketua senat. Ada "kebiasaan" bahwa ketua senat di Sesko AD biasanya pasti akan menyandang pangkat jenderal, paling tidak bintang satu. Dan Johnny optimis bisa meraihnya.

Jika Operasi Satgas Wibawa 99 berhasil, barangkali terwujudnya impian Johnny tak perlu ditunggu terlalu lama. Sebagai komandan korem, ia memang punya kewenangan menggelar sebuah operasi. "Kalau saya mau, saya pun bisa membentuk operasi tukang cukur," ujarnya. Ia menggelar operasi karena dianggapnya "rakyat sudah tak mau mendengar omongan saya lagi." Dan dikerahkanlah seribu personel, dan korban pun jatuh, termasuk yang jatuh di bawah sepatu lars.

Ketika ditemui Setiyardi dari TEMPO sehari setelah insiden Gedung KNPI, Kolonel Johnny tampak pucat. "Saya cuma tidur satu jam," ujarnya mengawali wawancara. Perwira simpatik ini dengan jujur mengatakan bahwa operasi yang dilancarkannya gagal total. Akankah ini menghambat langkahnya meraih bintang? Petikan wawancara itu.


Anda tak mengetahui adanya penyerbuan ke Gedung KNPI?

Sabtu itu, ketika mau berbuka puasa, datanglah Tengku Abdul Rahman. Ia kiai muda ekstrem yang pernah ditahan delapan tahun. Kami berbuka bersama. Cerita sana, cerita sini. Kami ngobrol sampai pukul 10 malam.

Setelah itu saya keluar. Saya melihat seorang PM dan saya tegur dia: Ngapain lu, pakaian rapi? Ternyata dia melaporkan peristiwa penyerbuan itu. Masya Allah, saya terkejut sekali. Kok, kejadiannya bisa begini. Saya seperti orang yang kecopetan, padahal sudah dijaga rapi.

Sikap Anda?

Ini cara-cara yang tak dibenarkan ABRI. Pelakunya harus diadili. Korban yang meninggal diberi santunan dan yang luka-luka diobati sampai sembuh.

Sesungguhnya siapa pelakunya?

Sekarang sedang dilakukan pengusutan. Namun saya yakin, pelakunya bukan polisi. Polisi tahu aturan hukum. Hal ini jelas dilakukan oleh anak-anak Angkatan Darat yang tidak pakai baju seragam. Mereka hanya mengenakan kaus. Anak-anak itu menyerbu masuk ke situ. Jumlahnya 50-an orang.

Dari kesatuan mana?

Dari kesatuan yang ada di sini. Saya katakan bahwa tindakan mereka itu biadab! Saya tidak ingin mengatakan bahwa anggota kami baik.

Jadi gedung itu diserbu?

Petugas provost tak berhasil menghalangi anggota ABRI yang menerobos masuk, begitu juga polisi. Dan terjadilah pemukulan dan penganiayaan itu. Bayangkan, 50 orang memukul 40 orang. Satu orang sipil dipukul lebih dari satu orang tentara.

Dari peristiwa itu, masyarakat menjadi bertanya-tanya. Mengapa ABRI main hakim sendiri. Padahal, mereka ditahan dan dibawa dengan baik-baik. Ada serah-terimanya secara hukum. Setelah di tempat pemeriksaan, kok, malah dipukuli.

Kira-kira kenapa bisa terjadi?

Ketika itu para perwira sedang berbuka puasa. Jadi tak ada komandannya. Mereka menganggap enteng tugas dan terjadilah penyerbuan tanpa komando.

Operasi Satgas Wibawa ingin mendekatkan ABRI dengan rakyat, tapi bagaimana setelah kejadian Sabtu malam?

Ini ulah sekelompok tentara liar. Tidak terkendali dan hanya mengikuti emosi. Jadi, di luar rencana. Saya menyesalkannya, prihatin, dan turut berduka cita. Bolehlah dibilang operasi ini gagal.

Anda akan datang ke Kandang untuk menjelaskan masalah ini?

Jika kedatangan saya menenangkan masyarakat, saya akan datang. Kalau perlu mencium tangan ibunya dan meminta maaf.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus