Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif The Indonesian Public Institute Karyono Wibowo menjelaskan, selama 20 tahun reformasi, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Indonesia belum sepenuhnya terlaksana. Bahkan ada kecenderungan KKN makin merajalela.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan judicial review undang-undang soal dinasti politik," kata Wibowo saat ditemui di Mampang, Jakarta Selatan, Ahad, 27 Mei 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti diketahui sebelumnya, pada 2015 lalu, MK menganulir Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Undang-undang itu mengatur orang yang memiliki ikatan perkawinan dan darah lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan kepala daerah inkumben tidak boleh menjabat, kecuali jeda satu periode.
Lebih lanjut, Karyono mengatakan, akibat hal tersebut, dinasti politik di Indonesia makin subur. Hal itu, kata dia, berimbas pada meningkatnya peluang KKN.
Hal tersebut tentu bertentangan dengan agenda reformasi 20 tahun silam, yakni mengenai pemberantasan KKN di Indonesia. Padahal, kata Karyono, penegakan supremasi hukum saat ini, yang menjadi salah satu agenda reformasi, sudah berjalan cukup baik. Salah satunya banyak pejabat pemerintah yang ditangkap dan masuk penjara karena melakukan korupsi. "Zaman orde baru dulu, hampir tidak ada pejabat ditangkap," ujarnya.
Selain itu, dia berpendapat munculnya lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah reformasi menjadi salah satu indikator penegakan hukum lebih baik dibanding era sebelumnya.