Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto mengisahkan keputusannya untuk tak mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soeharto pada peristiwa reformasi 1998 di depan mahasiswa Institut Teknologi Bandung atau ITB, Rabu 31 Oktober 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada kesempatan kuliah umum itu, Wiranto memutar video rekaman peristiwa politik 1998. Saat peristiwa reformasi 1998, Wiranto tercatat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Menurut pensiunan jenderal kelahiran 1947 itu, ia tidak pernah melupakan masa lalu karena itu pengalaman berharga.
Saat itu ketika Soeharto lengser, terbuka kesempatan bagi Wiranto mengambil alih kekuasaan dengan alasan kondisi darurat. "Waktu itu saya Panglima TNI, gampang jadi presiden," katanya.
Wiranto pada situasi itu mengaku bertanya ke Mayor Jenderal Zacky Anwar Makarim bawahannya soal apa saja risikonya kalau Wiranto menjadi Presiden. "Pertama menurunkan nilai tukar dollar yang saat itu Rp15 ribu ke posisi semula Rp2.500," kata Wiranto.
Pertimbangan lain yaitu kondisi ekonomi Indonesia terpuruk, dan pemerintahan militer bakal ditolak dunia internasional. Selain itu jika ingin menduduki gedung DPR/MPR yang dipenuhi mahasiswa, perhitungannya bakal jatuh korban jiwa. "Sekitar 200-250 mahasiswa mati kalau (tentara) ambil alih gedung DPR MPR," kata Wiranto.
Orang terakhir yang menanyakan keputusan Wiranto saat itu Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. "Saya putuskan tidak ambil, dan serahkan ke Wakil Presiden (BJ Habibie)," ujarnya.
Menurut Wiranto saat itu ia menghindari rivalitas dan mendukung wakil presiden BJ Habibie sebagai presiden. "Saya tidak menyesal tidak mengambil alih (kekuasaan)," kata Wiranto.