Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia dan dunia. Diperkirakan NU memiliki anggota lebih dari 90 juta jiwa.
Sebagai suatu organisasi kemasyarakatan disingkat ormas, NU tidak hanya bergerak dalam bidang keagamaan, tetapi juga banyak bergerak dalam bidang-bidang sosial dan pendidikan.
Nahdlatul Ulama didirkan pada 31 Januari 1926 dan hari ini NU sedang merayakan milad yang ke-96.
Namun, sudah tahukah Anda bagaimana sejarah di balik pendirian NU yang bermula di era kolonial Belanda?
Mengutip dari laman resmi milik NU, pendirian NU tidak bisa dilepaskan dari tiga sosok penting, yaitu santri As’ad (KHR As’ad Syamsul Arifin Situbondo), Kiai Hasyim Asy’ari (Hasyim Asyari), dan KH Cholil Bangkalan.
Saat itu, setibanya di Tebuireng, santri As’ad menyampaikan tasbih yang dikalungkan oleh dirinya dan mempersilakan kepada KH Hasyim Asy’ari untuk mengambilnya sendiri dari leher As’ad. As’ad tidak bermaksud untuk tidak mengambilkannya untuk KH Hasyim Asy’ari, tetapi karena As’ad tidak ingin menyentuh tasbih sebagai amanah dari KH Cholil Bangkalan kepada KH Hasyim Asy’ari.
Oleh karena itu, tasbih yang dibawa oleh As’ad tidak tersentuh tangan As’ad selama berjalan kaki dari Bangkalan menuju Tebuireng.
Dalam buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU karangan Choirul Anam disebutkan bahwa tasbih yang dibawa As’ad dari Bangkalan ke Tebuireng adalah sebuah tanda atau petunjuk di antara banyakanya petunjuk tentang berdirinya NU.
Pada akhir 1925. As’ad kembali diutus oleh Mbah Cholil untuk mengantarkan lagi seuntai tasbih yang lengkap dengan bacaan Asmaul Husna ke tempat yang sama dan ditujukan kepada Mbah Hasyim.
Sebelumnya, pada akhir 1924, As’ad diminta oleh Mbah Cholil untuk mengantar sebuah tongkat ke Tebuireng. Tongkat yang dibawa oleh As’ad disertai juga dengan seperangkat ayat Al-Quran Surat Thaha ayat 17-23 yang bercerita tentang Mukjizat Nabi Musa as.
Selanjutnya : Pada 1924, KH Abdul Wahab Chasbullah menggagas pendirian Jam'iyyah...
Pada 1924, KH Abdul Wahab Chasbullah menggagas pendirian Jam’iyyah yang langsung disampaikan kepada Mbah Hasyim untuk meminta persetujuan. Namun, Mbah Hasyim tidak lantas menyetujui usulan tersebut sebelum ia melakukan sholat istikharah.
Sikap bijakasana dan penuh kehati-hatian yang ditunjukan oleh Mbah Hasyim dalam menyambut permintaan Kiai Wahab dilandasi oleh banyak hal, salah satunya adalah posisi Mbah Hasyim saat itu lebih dikenal sebagai Bapak Umat Islam Indonesia (Jawa).
Mbah Hasyim juga menjadi tempat meminta nasihat oleh banyak tokoh pergerakan nasional. Mbah Hasyim menilai bahwa ide untuk mendirikan sebuah organisasi harus dikaji secara mendalam
Istikharah yang dilakukan oleh Mbah Hasyim dikisahkan oelh KH AS’ad Syamsul Arifin dan Kiai As’ad menceritakan bahwa petunjuk dari istikharah Mbah Hasyim justru tidak jatuh di tangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh Mbah Cholil.
Dari petunjuk tersebut, Kiai As’ad yang saat itu menjadi santri Mbah Cholil berperan sebagai mediator antara Mbah Cholil dan Mbah Hasyim. Ada dua petunjuk yang harus dilaksanakan oleh Kiai As’ad.
Proses lahir dan batin yang panjang serta berlika-liku menjadi suatu simbol bahwa pendirian NU tidaklah mudah karena harus melalui serangkaian perjuangan. Hal ini terjadi karena pendirian NU adalah suatu respons terhadap berbagai masalah keagamaan, peneguhan mazhab, dan alasan-alasan kebangsaan serta sosial masyarakat.
Selanjutnya: Bisa dikatakan bahwa NU adalah lanjutan dari komunitas-komunitas...
Sejatinya, bisa dikatakan bahwa NU adalah lanjutan dari komunitas-komunitas dan organisasi yang sudah berdiri sebelumnya, tetapi dengan cakupan dan segmen yang lebih luas. Komunitas dan organisasi tersebut, antara lain Nahdlatul Wathon dan Nahdlatul Tujjar.
Di samping itu, embrio lahirnya NU juga tidak bisa dilepaskan dari pembentukan Komite Hijaz. Masalah keagamaan global yang dihadapi oleh ara ulama pesantren adalah ketika Dinasti Saud di Arab Saudi ingin membongkar makam Nabi Muhammad SAW karena menjadi tujuan ziarah seluruh musim dan dianggap bid’ah.
Selain itu, Raja Saud ingin menerapkan kebijakan untuk menolak praktik bermazhab di wilayah kekuasaannya dan ia hanya ingin menrapakn Wahabi sebagai mazhab resmi kerajaan.
Rencana kebijakan yang dilempar oleh Raja Saud dibawa ke Muktamar Dunia Islam di Mekkah dan bagi banyak ulama pesantren, sentimen anti-mazhab adalah cenderung puritan dan memberangus tradisi serta budaya yang berkembang di dunia Islam dan menjadi ancaman bagi kemanjuan peradaban Islam.
Mbah Wahab bertindak cepat saat umat Islam yang tergabung dalam Centraal Comite Al-Islam (CCI) yang kemudian bertransformasi menjadi Centraal Comite Chilafat (CCC) hendak mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam di Mekkah tahun 1926.
Pada 1925, CCC pernah menyelenggrakan Kongres Al-Islam pada 21-27 Agustus 1925 di Yogyakarta. Dalam kongres tersebut, Mbah Wahab menyampaikan pendapatnya mengenai akan diselenggarakannya Muktamar Dunia Islam.
Selanjutnya: Saat itu, Mbah Wahab berpendapat bahwa delegasi CCC...
Saat itu, Mbah Wahab berpendapat bahwa delegasi CCC yang dikirimkan ke Muktamar di Mekkah harus bisa mendesak Raja Saud supaya melindungi kebebasan bermazhab dan sistem mahzab yang selama ini berjalan di tanah Hijaz harus dipertahanakan dan diberi kebebasan.
Selaian itu, Mbah Wahab juga melakukan pendekatan kepada banyak tokoh CCC, seperti Wondoamiseno, KH Mas Mansur, dan H.O.S Tjokroaminoto. Namun, diplomasi yang dilakukan oleh Mbah Wahab berujung kekecewaan karena sikap tidak kooperatif ditunjukan dari para kelompok modernis.
Sikap tersebut akhirnya membuat Mbah Wahab melakukan langkah strategis dengan membentuk panitia sendiri yang dikenal dengan nama Komite Hijaz pada 1926. Pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirimkan ke Muktamar Dunia Silam sudah mendapat restu dari Mbah Hasyim.
Dengan perhitungan yang sudah matang dan izin dari Mbah Hasyim maka pada 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama terkemuka dan mengadakan pembicaraan mengenai utusan yang akan dikirimkan ke Muktamar di Mekkah.
Ulama yang dipimpin oleh Mbah Hasyim datang ke Kertopaten, Surabaya dan sepakat untuk menunjuk KH Raden Asnawi sebagai delegasi Komite Hijaz.
Setelah terpilihnya Raden Asnawi maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama sebagai institutsi yang akan mengirm Raden Asnawi ke Mekkah dan sejak saat itu pada 31 Januari 1926, Nahdlatul Ulama resmi didirikan.
EIBEN HEIZIER
Baca: Riset CSIIS Munculkan 3 Kandidat Capres 2024 Pilihan Warga NU, Ada Erick Thohir
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini