Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dalam perjalanan 50 tahun Tempo, semua bermula dari Sabtu, 6 Maret 1971. Saat itulah hari di mana edisi perdana Majalah Tempo diterbitkan. Selama perjalanannya menjadi media pemberitaan, hingga dua kali Tempo mengalami pembredelan oleh rezim orde baru yang berkuasa saat itu. Pertama pada 12 April 1982 dan yang kedua pada 21 Juni 1994. Para pendiri Tempo tidak tinggal diam menolak keputusan pembredelan dengan menggugat pemerintah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Janet Steele dari George Washington University menuliskan dalam bukunya Wars Within tentang suasana dalam gedung Tempo yang saat itu berada di Jalan HR Rasuna Said dekat kantor Kedutaan Besar Australia. Ia menggambarkan suasana di dalam gedung Tempo saat itu panik dan riuh.
Bahkan Pendiri Tempo, Goenawan Mohamad langsung membatalkan perjalanannya ke Jawa Tengah dan lekas kembali ke kantor Tempo setelah mendengar kabar pembredelan itu, padahal saat itu dirinya sudah berada di Bandar Udara Soekarno-Hatta.
Pelaksana Pemimpin Redaksi Tempo ketika itu, Fikri Jufri, menggelar konferensi pers dadakan. Fikri berkata di depan para awak media televisi, “Pembredelan ini adalah pelanggaran atas kebebasan pers,” kata Fikri, yang disambut sorakan para awak media Tempo.
Peristiwa pembredelan itu masih terekam baik pula dalam di ingatan Mantan Pemimpin Redaksi Tempo Bambang Harymurti. Saat pembredelan itu tersiar, ia tengah berada di Amerika Serikat. “Antara sedih dan marah,” kata Bambang saat dihubungi Tempo, pada Rabu 21 Juni 2017.
Baca: 50 tahun Tempo, Satu Kisah Di belakang Layar Pembredelan Majalah Tempo
Bambang Harymurti, menceritakan saat itu sejumlah karyawan tampak menangis. Goenawan Mohamad, bersama dengan pendiri Tempo lainnya bersikukuh untuk tidak akan tinggal diam menanggapi sikap sepihak pemerintah tersebut. Goenawan Mohamad menyampaikan pidatonya pascapembredelan, “Kita boleh kalah, tapi tidak boleh takluk.”
Pencabutan SIUPP Tempo mendapat protes keras dan membangkitkan amarah para wartawan muda dan mahasiswa pada masa itu. Sehari setelah pencabutan surat izin tersebut, protes terus bermunculan, di Jakarta, ratusan aktivis dan wartawan melakukan long march atau jalan jauh ke kantor Kementerian Penerangan di Jalan Medan Merdeka Barat. Mereka mendesak Harmoko untuk membatalkan pencabutan SIUPP Tempo, Detik, dan Editor. Aksi ini terus berjalan hingga beberapa hari setelahnya karena pemerintah enggan menuruti permintaan demonstran.
Sementara di Yogyakarta, mahasiswa melakukan aksi membungkus kantor biro Tempo di sana dengan kertas putih. Kepala Biro Tempo di Yogyakarta, Rustam F. Mandayun, menceritakan, akibat ulah aksi mahasiswa itu, semua jendela kantor tertutup rapat. “Hawa di dalam kantor menjadi sangat panas,” kata dia , mengenang. Kemudian pada 27 Juni 1994, saat polisi membubarkan paksa demonstran terjadi kerusuhan yang menyebabkan puluhan orang terluka dalam insiden tersebut.
Namun, alih-alih menjadi titik nadir sejarah pers Indonesia, momentum itu malah menjadi tonggak awal perlawanan memperjuangkan kebebasan pers. Pada 21 Juni 1994 menjadi momentum bagi kebebasan pers di Indonesia, untuk pertama kalinya dalam sejarah, wartawan melawan setelah sering terjadi pembredelan yang dilakukan pemerintah.
Dan, hari ini 50 tahun Tempo, meneguhkan saat itu majalah Tempo menolak keputusan pembredelan dengan menggugat pemerintah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ketika itu, tanpa diduga, hakim Benyamin Mangkoedilaga memenangkan Tempo.
HENDRIK KHOIRUL MUHID