TAK kurang dari 500 orang petani dipanggil dan dikumpulkan di
hadapan kantor Kabupaten Lombok Timur. Ini terjadi bulan lalu.
Maka Bupati R. Roesdi pun dengan setengah berang angkat bicara.
"Sebagai orang yang cukup mengerti, saudara-saudara seharusnya
memberi contoh yang baik kepada masyarakat," ucap Bupati.
Sebab, sambungnya dengan nada lebih tinggi, yang rajin
mengembalikan kredit bimas justru petani awam.
Nah, siapakah petani tak awam yang malas mencicil kredit bimas
itu? Ternyata sekitar 500 orang petani itu terdiri dari para
pegawai negeri, pamong desa serta guru-guru. Tunggakan mereka
seluruhnya mencapai jumlah Rp 146 juta, terhitung sejak musim
tanam 1971/1972 hingga 1976/1977 ini. Untuk jangka waktu itu
seluruh kredit bimas yang dilepas ke tangan para petani
berjumlah Rp 974 juta. Dari jumlah ini yang tertunggak tercatat
hampir seperduanya.
Mendengar hentakan Bupati Roesdi tentu saja para petani intelek
itu tak banyak berkutik. Namun ada juga yang mengeluh kepada TM
10 bahwa penunggakan itu karena "hasil sawah mereka dalam
beberapa tahun terakhir ini sering di bawah target." Alasan
mereka hampir senada, "musim kemarau panjang dan serangan
hama." Roesdi diam-diam mengakui ada benarnya alasan itu. Tapi,
katanya, ada beberapa dari penunggak kredit itu yang tergolong
petani nakal. Maksudnya, kredit mereka terima namun tidak untuk
sawahnya. Melainkan diberikan kepada orang lain, tentu dengan
imbalan yang lebih menguntungkan. Ada juga sebaliknya. Yaitu
menggunakan kredit orang lain untuk menggarap sawahnya. Terhadap
para penunggak itu Roesdi mengancam akan menindak mereka jika
tak melunasinya dalam waktu dekat. Di samping rnereka tak akan
mendapat kesempatan dalam penyaluran kredit-kredit selanjutnya.
Tanah Membatu
Kabupaten Lombok Timur di Propinsi Nusa Tenggara Barat itu
memiliki 10 buah kecamatan dengan penduduk hampir 700.000 jiwa.
Di sini terdapat 18.014 ha sawah herpengairan teknis 8.103 ha
setengah teknis, 8.000 ha berpengairan sederhana dan 1.700 ha
tanah sawah tadah hujan. Areal terakhir ini umumnya terdapat di
3 kecamatan kritis yang terkenal dengan prcdikat daerali Lombok
Selatan.
Memasuki musim kemarau sekarang ini di kawasan 3 kecamatan
kritis itu sudah mulai terlihat tanda-tanda tak menyenangkan.
Tanah-tanah pertanian telah keras seperti batu sehingga tak
mungkin menumbuhkan tanaman apapun. Untung berdasar pengalaman
tahun-tahun lampau yang hampir selalu melaparkan penduduk, di
sekitar wilayah itu telah diadakan proyek-proyek padat karya.
Terutama proyek-proyek bangunan, pembuatan jalan dan sebagainya.
Sehingga selama tanah membatu itu para petani mengubah profesi
masing-masing menjadi buruh kasar.
Menurut Bupati Roesdi usaha untuk menormalisir daerah kritis itu
sudah dimulai sejak 1967. Sarana irigasi, perhubungan dan
kesehatan serta pendidikan telah dibuat. Namun, kata sang
bupati, kesulitan yang tetap belum terpecahkan bagi kabupaten
yang pernah mendapat Parasamya Purnakarya Nugraha ini tetap
sama, yaitu ketiadaan sumber air yang mantap. "Oleh karena itu,
saya berpendapat bahwa masalah itu perlu ditangani secara
nasional baik dengan dana internasional," kata Roesdi kepada Oka
Sunandi dari TEMPO. Sebab, tambahnya lagi, mengatur, menyalurkan
dan memanfaatkan air untuk daerah selatan itu secara memadai
dapat diatasi dalam waktu 5 atau 10 tahun lagi. Tapi, lanjut
Roesdi, mengadakan air yang akan disalurkan ke wilayah itu,
bukan saja akan menelan biaya dan tenaga, tapi juga waktu yang
lebih lama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini