Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

58 Tahun Lalu Awal Orde Baru, MPRS Menunjuk Soeharto sebagai Pejabat Presiden

Pada 12 Maret 1967, MPRS secara resmi menunjuk Soeharto sebagai Pejabat Presiden menjadi tanda dimulainya Orde Baru.

13 Maret 2025 | 05.15 WIB

Presiden Sukarno dan Soeharto
Perbesar
Presiden Sukarno dan Soeharto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sudah 58 tahun berlalu sejak peristiwa bersejarah yang mengubah arah politik Indonesia. Pada 11 Maret 1966, Presiden Sukarno menandatangani secarik surat yang kelak dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Supersemar, menjadi surat yang membawa berakhirnya kekuasaan Sukarno dan mengantarkan Soeharto ke kursi kepemimpinan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dikutip dari buku Misteri Supersemar, surat tersebut berisi instruksi dari Sukarno kepada Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) saat itu, Soeharto mendapatkan wewenang untuk mengambil segala tindakan yang dianggap penting guna memulihkan ketertiban dan keamanan negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Supersemar tidak hanya secarik surat biasa, namun menjadi tonggak penting terhadap sejarah Indonesia. Berikut tiga poin yang terkandung dalam Supersemar:

  1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris M.P.R.S. demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.

  2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknya.

  3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.

Lahirnya Supersemar tidak terlepas dari peristiwa G30S. Setelah terjadinya peristiwa tersebut, keadaan Ibukota Jakarta pada 2 Oktober 1965 dikuasai oleh Pasukan (Resimen Para Komando Angkatan Darat) RPKAD.

Pada saat itu, Soeharto bertemu dengan Sukarno di Istana bogor. Dalam pertemuan itu, Sukarno memutuskan untuk mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat yang sejak 1 Oktober 1965 sementara dipegang oleh Mayor Jenderal Soeharto.

Namun situasi ekonomi di Indonesia semakin memburuk. Kebijakan devaluasi rupiah pada 13 Desember 1965 menyebabkan nilai tukar rupiah anjlok, sementara harga sembilan bahan pokok melonjak tajam di pasar. Di tengah ketidakpuasan dan meningkatnya ketegangan, lahirlah Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang membawa tiga tuntutan utama:

  1. Pembubaran PKI

  2. Perombakan Kabinet

  3. Penurunan harga/perbaikan ekonomi

Memahami kondisi negara semakin sulit dan menghadapi amukan dari rakyat, Presiden Sukarno kesehatannya kian melemah menghadapi tantangan besar. Dalam upaya mengatasi keadaan, diambil langkah-langkah penting untuk mengatasi masalah tersebut.

Pada sore hari tanggal 11 Maret 1966, tiga jenderal Angkatan Darat—Brigjen Amir Machmud (Panglima Kodam Jaya), Brigjen M. Yusuf (Menteri Perindustrian Dasar), dan Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Veteran dan Demobilisasi)—datang menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor. Malam itu juga, Presiden Sukarno yang saat itu masih memegang kendali sebagai Pemimpin Besar Revolusi, mengeluarkan sebuah surat perintah yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto.

Setelah Supersemar ditandatangani, Soeharto segera mengambil tindakan membubarkan PKI yang dianggap sebagai dalang di balik G30S. Selain itu, dia juga menangkap 15 menteri yang diduga ikut andil dalam penyerangan tersebut.

Namun, keputusan MPRS menjadi langkah final dalam mengukuhkan Supersemar sebagai dasar hukum yang mengalihkan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto. Sidang yang dilaksanakan pada 20 Juni hingga 5 Juli 1966, MPRS menetapkan Tap. No. IX/MPRS/1966, yang membuat Presiden Sukarno tidak bisa lagi memiliki wewenang untuk mencabut surat tersebut.

Berselang setahun, pada 7 Maret 1967, MPRS adakan sidang istimewa yang menghasilkan Tap. No. XXXIII/MPRS/1967. Ketetapan ini secara resmi mencabu Sukarno dari Jabatan presiden Indonesia. Hasil keputusan tersebut memuat:

  1. Mencabut kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Sukarno

  2. Menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Sukarno dengan segala kekuasaannya sesuai UUD 1945

  3. Mengangkat pengemban Tap Nomor IX/MPRS/1966 tentang supersemar itu sebagai pejabat Presiden hingga terpilihnya Presiden menurut hasil pemilihan umum.

Berdasarkan keputusan ini, pada 12 Maret 1967, MPRS secara resmi menunjuk Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Setahun setelahnya, dalam Sidang Umum MPRS pada 27 Maret 1968, Soeharto akhirnya dipilih sebagai Presiden Republik Indonesia melalui Tap. MPRS No. XLIV/MPRS/1968. Dimulailah era Orde baru.

Mohammad Hatta, Muarabagja Ellya Syafriani, dan Ananda Bintang Purwaramdhona berkontribusi dalam artikel ini.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus