PERJALANAN panjang Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang mangkat di Amerika Serikat, berhenti abadi di Imogiri. Itu setelah usal upacara kenegaraan di Jakarta dan serangkaian lainn.ya di Keraton Yogya. Jenazah dimakamkan di Saptorenggo -- satu dari delapan bagian kompleks makam yang dikhususkan untuk jenazah para raja. Bagian makam Saptorenggo ini dibangun pada masa HB VII. Saptoreno berukuran 20 X 100 meter, terletak paling timur atau sebelah kanan Kasuwargan dan Besiyaran. Tempat pemakaman Sri Sultan HB IX, menurut penjaganya, sudah disiapkan sejak dua tahun lalu. Liang lahad yang sudah digali itu diisi lagi pasir dan ditutup marmar. "Sekarang tinggal mengangkat marmar dan mengeluarkan pasirnya saja," katanya. Makam Sultan HB IX dinaungi sebuah cungkup berbentuk kubah yang diberi nama Purborekso. "Makamnya bersebelahan dengan permaisuri HB VII," kata Djogobudojo -- juru kunci yang sudah mengabdi di Imogiri sejak 1946. Setelah upacara, lalu urutan makam di Saptorenggo jadi seperti berikut: paling kiri HB IX, di sebelah kanannya makam permaisuri HB VII, HB VII, HB VIII, dan di ujung kanan Pangeran Pati, Putra HB VII. Di selatan jajaran itu ada sederetan makam istri kedua HB IX, istri keempat HB IX, Pangeran Bei (putra HB VIII), istri Pangeran Bei, dan istri Pangeran Pati. Imogiri adalah kompleks makam keluarga raja-raja Yogyakarta dan Surakarta, di pegunungan Girilaya. Keseluruhan kompleks itu mulai dibangun ketika Sultan Agung (1627-1647). Sebelum siap dibangun, syahdan, pamannya yang bernama Gusti Pangeran Juminah datang, lalu "pesan tempat". Ia minta untuk bisa dimakamkan di pemakaman raja itu. "Sebagaimana kau ketahui, kelak aku juga ikut dimakamkan di sini," katanya pada sang keponakan. Rupanya, Sultan Agung jengkel atas permintaan pamannya, dan langsung menjawab, "Baiklah sekarang saja saya silakan." Tak lama, pamannya itu meninggal. Sultan melemparkan pasir - konon asal Mekah yang jatuh di pegunungan Merak dan tempat pemakaman Imogiri itu. Tanah yang kejatuhan pasir berubah jadi pegunungan cukup tinggi, kemudian dipakai sebagai pemakaman. Setelah memerintah 13 tahun, Sultan Agung mulai sakit sampai akhirnya ia meninggal (1647). Baginda pula raja pertama yang dimakamkan di Imogiri. Makamnya dibangun di bagian Kasultanagungan -- bagian paling utara di kompleks tersebut. Sejak itu, Imogiri resmi menjadi tempat pemakaman para raja Yogyakarta dan Surakarta berikut keluarga dekatnya. Di bagian Kasultanagungan -- kecuali makam Sultan Agung ada makam Sri Ratu Batang, Hamangkurat Amral dan Hamangkurat Mas. Keduanya yang terakhir ini adalah raja pengganti Sultan Agung. Ketika keraton pindah ke Kartasura dengan raja Pangeran Puger atau bergelar Paku Buwana I 1797-1893), Imogiri tetap menjadi makam raja. Setelah rneninggal, PB I dikebumikan di bagian Paku Buwanan, sebelah selatan dan agak ke timur bagian Kasultanagungan. Di Paku Buwanan itu juga ada makam raja Kartasura yang lain yakni Hamangkurat Jawa dan PB II. Masih ada lagi beberapa bagian yang dikhususkan bagi raja Yogyakarta, terutama setelah Pangeran Mangkubumi memisahkan diri dari Surakarta dan menjadi Hamengku Buwono I. Bagian makam untuk raja Yogyakarta, yaitu Kasuwargan Yogyakarta, Besiyaran Yogyakarta, dan Saptorenggo Yogyakarta. Untuk raja Surakarta adalah Kasuwargan Surakarta, Kapingsangan Surakarta, dan Girimulya Surakarta. Berdasarkan pembagian tempatnya, bisa dikatakan makam Sultan Agung berada di tengah dan menjorok ke depan (utara). Di arah selatan -- agak ke kanan -- Kasultanagungan ada bagian makam Paku Buwanan. Kompleks ini berisi para raja yang memerintah sebelum Mataram pecah menjadi Yogyakarta dan Surakarta. Agak menjorok di sebelah selatannya, makam dipisahkan untuk raja Yogyakarta (sayap kanan) dan Surakarta (sayap kiri). Di jajaran makam raja, tampak tempat untuk HB IX -- merupakan yang terakhir. Di sayap kanan, masih kosong, tinggal Kasuwargan Yogyakarta untuk satu makam saja. Kebetulan HB II dimakamkan di Kotagede. Sementara di sayap kiri, juga tinggal tersedia satu tempat makam raja di Girimulya. Kemungkinan, untuk raja selanjutnya (jika ada) akan dimakamkan di jajaran sebelah selatan yang disebut tadi, karena masih ada yang kosong. Tapi bisa juga tidak diperlukan lagi seandainya raja untuk kedua keraton itu tak dinobatkan lagi, setelah HB IX di Yogyakarta dan PB XII di Surakarta. Terlepas ada tidaknya raja yang dimakamkan, agaknya, tempat itu tetap dianggap keramat oleh masyarakat Jawa. Mereka akan datang berziarah ke Imogiri, sembari mengenakan kain peranakan -- pakaian yang menyimbolkan kesucian dan kebersihan hati. A. Margana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini