Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Acak-adul Situs Majapahit

Kawasan bersejarah Trowulan telah lama dikepung pembangunan tumpang-tindih, penggalian liar, dan bangunan baru. Penegakan aturan sangat lemah.

14 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Budi tampak cekatan menata satu per satu adonan tanah liat yang sudah dicetak di pelataran tak jauh dari situs Candi Tikus, Desa Temon, Trowulan, Mojokerto. Kamis siang dua pekan lalu, pria 25 tahun itu terus bekerja meski sedang berpuasa dan terik matahari menyengat ubun-ubun.

Di lahan seluas setengah hektare itu ada sepuluh gubuk perajin batu bata. Proses produksi batu bata, dari penggalian tanah hingga pembakaran, semua dilakukan di tempat itu. Gubuk Budi berdiri tak sampai tiga meter di belakang tembok Candi Tikus, salah satu situs sejarah penting peninggalan Kerajaan Majapahit. Tapi Budi dan perajin lain tampak cuek menggali tanah. "Menggali tanah tak pernah meminta izin siapa-siapa," kata Budi. Saban hari ia mampu menghasilkan sekitar seribu cetak adonan tanah liat itu, sebelum dibakar menjadi bata siap pakai.

Budi bercerita, belum lama ini salah satu rekannya menemukan bangunan yang diduga candi ketika menggali tanah. Namun mereka tak berhenti menggali. Mereka juga tak pernah melaporkan temuan itu ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan. Apalagi bila menemukan perhiasan emas atau perak, mereka menganggap temuan itu rezeki mereka. "Biasanya kalau nemu emas, ya, dijual ke pasar," kata Budi, yang mengaku patungan menyewa lahan itu Rp 120 juta selama tiga tahun.

Selama masa kontrak, penyewa dibiarkan menggali dan mencetak bata sebanyak mereka mampu. Bila sewa lahan telah berakhir, mereka akan pindah ke lokasi lain. "Usaha batu bata di sini memang laris. Produksinya dikirim sampai ke luar kota," kata Ribut, tokoh masyarakat Desa Wates Umpak, Trowulan, tak jauh dari Desa Temon.

Kondisi ini sungguh ironis karena hingga sekarang tak ada pembatasan penggalian tanah. Kepala Tata Usaha BPCB Trowulan Danang Wahyu Utomo mengatakan industri pembuatan batu bata ini sangat masif dan sangat mengancam kelestarian situs bekas ibu kota Kerajaan Majapahit. Di Kecamatan Trowulan saja, kata arkeolog ini, sedikitnya ada 3.000 perajin batu bata. "Hampir di semua desa ada," ujarnya.

Selain pembuatan bata, kata Danang, pertumbuhan permukiman dan investasi industri juga menjadi ancaman. Berbagai bangunan resmi dan liar memenuhi Trowulan. Tak hanya pabrik baja PT Manunggal Sentral Baja, di sana sudah ada hotel dan restoran serta bangunan besar lain, termasuk gudang dan stasiun pengisian bahan bakar. Semakin ke pusat kota, di sekitar situs Pendapa Agung dan Museum Majapahit, semakin padat dengan bangunan beton permanen.

Danang menyayangkan keberadaan kompleks pemakaman yang dibangun di samping situs Pendapa Agung. Di belakangnya ada Makam Panggung, yang konon merupakan petilasan para Raja Majapahit. Di tempat ini pula diyakini Mahapatih Gajah Mada mengucapkan Sumpah Hamukti Palapa. Meski belum ada jasad yang dikubur di situ, kompleks pemakaman seluas satu hektare itu sudah dikelilingi pagar tembok. "Tidak ada pemberitahuan apa-apa bahwa tempat itu akan digunakan untuk makam keluarga," kata Danang. Ia menyebutkan tanah itu dimiliki oleh seorang mantan Gubernur Jawa Timur.

Juru kunci petilasan, Suroto, juga mengatakan pagar di tanah itu dibangun keluarga sang gubernur pada 2008. Dia mengatakan lokasi itu seharusnya steril dari bangunan karena Pendapa Agung dipercaya sebagai salah satu tempat musyawarah atau pertemuan petinggi kerajaan. Sedangkan petilasan tempat bersemadi para raja yang kini dinamakan Makam Panggung. Pada zaman Majapahit tempat itu bernama Sanggar Agung Songsong Bawana. "Ini tempat bersemadinya Raden Wijaya menerima wahyu kenegaraan untuk mendirikan Majapahit," kata Suroto.

Pendapa yang berdiri sekarang bukan bangunan asli, melainkan bangunan baru. Selain pendapa dan tempat petilasan, di lokasi ini terdapat peninggalan benda purbakala lain, seperti umpak atau batu fondasi tiang bangunan, dan tiang pancang dari batu untuk pengikat gajah putih peliharaan raja.

Danang mengatakan hal ini menjadi tantangan pemerintah, khususnya para arkeolog, untuk segera menyelamatkan aset sejarah dan budaya masa lalu bangsa. BPCB Trowulan, sebagai pihak yang berwenang menjalankan program pelestarian, mengaku tidak bisa berbuat banyak. Danang beralasan pihaknya tidak memiliki landasan hukum yang kuat untuk melarang penggalian liar. "Sebab, sampai sekarang tidak ada penetapan Trowulan sebagai kawasan cagar budaya," ujarnya.

Padahal usul penepatan itu sudah diajukan berdasarkan kajian para ahli sejak 30 tahun lalu. Penetapan yang dia maksud adalah sebuah surat keputusan atau peraturan khusus yang mengatur perihal tata ruang Trowulan.

Menurut Danang, Peraturan Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa-Bali, Provinsi Jawa Timur, dan Kabupaten Mojokerto menyatakan Trowulan sebagai cagar budaya. Tapi aturan itu tidak cukup. "Belum ada aturan yang lebih rinci, misalnya luasnya, kegiatan apa yang dilarang, dan sebagainya," tuturnya. Apalagi, di era otonomi daerah, pengaturan dan pemanfaatan tanah diserahkan sepenuhnya ke pemerintah kabupaten/kota setempat.

Dalam keterangan tertulis, Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa melalui Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Lutfi Ariyono membantah tak memperhatikan nasib cagar budaya. Lutfi mengatakan pemerintah sudah membagi wilayahnya menjadi tiga kawasan, yakni kawasan industri, pariwisata, dan purbakala. "Ketiganya harus berjalan seimbang," ujarnya. Pemerintah juga selalu meminta persetujuan BPCB perihal lokasi yang akan diberi izin bangunan.

Danang mengakui Pemerintah Kabupaten Mojokerto memberi kesempatan BPCB Trowulan ikut menyampaikan pertimbangan bila ada pemanfaatan atau penggunaan lahan di Trowulan. Namun kebijakan ini tak sepenuhnya berlaku. "Banyak bangunan yang berdiri di dekat situs tanpa meminta pertimbangan kami," kata Danang.

Ia menyayangkan sikap pemerintah yang abai. Bila tak ada pengaturan ketat, dikhawatirkan peninggalan kebudayaan Nusantara bakal hancur.

Agus Supriyanto, Ishomuddin (Mojokerto), Arief Rizqi Hidayat (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus