Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Besi untuk kerangka bangunan berserakan di sebidang lahan di Jalan Trowulan 186, Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jumat tiga pekan lalu. Sejumlah pekerja membangun fondasi untuk tiang-tiang penyangga. "Kami meneruskan pembangunan fondasi untuk gudang penyimpanan," kata Udin, salah seorang mandor. Gudang itu bagian dari bakal pabrik baja milik PT Manunggal Sentral Baja.
Pembangunan inilah yang jadi perhatian para seniman, pencinta budaya, dan masyarakat sekitar. Pada 19 Juli lalu, mereka berunjuk rasa ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Mojokerto, menuntut bupati menghentikan pembangunan pabrik. Dewan sebenarnya mendukung penghentian pembangunan. Tapi, menurut Udin, "Tidak ada surat dari pemerintah kabupaten ataupun DPRD."
Sebenarnya warga tidak mempersoalkan penggunaan lahan untuk usaha. Di kawasan itu banyak terdapat industri kecil kerajinan besi cor, kuningan, dan patung batu. "Asalkan bukan untuk industri yang bisa menimbulkan pencemaran lingkungan dan merusak cagar budaya," kata salah seorang perangkat dusun dan perajin patung di Desa Wates Umpak, Trowulan.
Deddy Endarto, warga Surabaya yang aktif mengadvokasi masyarakat setempat, mengatakan pabrik itu berada di kawasan Kota Majapahit. "Jika digali dua hingga tiga meter saja, pasti akan ditemukan benda peninggalan Majapahit." Penduduk kerap menemukan mata uang kuno, gerabah, bahkan emas.
Kepala Bagian Humas Kabupaten Mojokerto Lutfi Ariyono mengatakan luas lahan untuk industri baja yang berkantor pusat di Jalan Sikatan, Surabaya, itu 36 ribu meter persegi dengan lahan yang dimanfaatkan 6.000 meter persegi. "Kapasitas produksi pabrik dengan nilai investasi Rp 4,9 miliar itu sekitar 500 ton per tahun." Lutfi menjawab pertanyaan Tempo melalui jawaban tertulis.
Pembangunan pabrik itu dikerjakan setelah Bupati Mojokerto mengeluarkan izin prinsip. PT Manunggal juga telah mengantongi izin mendirikan bangunan. Perusahaan itu membutuhkan beberapa izin lain agar bisa beroperasi, antara lain izin gangguan, yang dikeluarkan setelah mendapat persetujuan penduduk sekitar.
Izin gangguan itu tampaknya akan sulit diperoleh. Penduduk setempat menentang pendirian pabrik baja itu lantaran lokasinya tak jauh dari Gapura Wringin Lawang, peninggalan Kerajaan Majapahit. Jaraknya hanya sekitar 500 meter. Aktivitas pabrik dikhawatirkan merusak lingkungan yang kaya akan cagar budaya peninggalan Majapahit.
Daud Aristanudirjo, arkeolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, membenarkan Deddy. Menurut Daud, kawasan itu kaya sumur dari batu bata yang bentuknya persegi atau bundar. Ada juga bekas saluran air, meski sudah tidak utuh. "Itu pertanda kawasan itu permukiman." Diperkirakan Wringin Lawang adalah pintu masuk sebuah kampung.
Gapura Wringin Lawang dan sekitarnya, kata Daud, termasuk Kota Majapahit yang ditandai empat batas. Empat batas itu adalah situs Tugu Badas arah barat laut Trowulan, Yoni Klinterejo arah timur laut, Yoni Lebak Jabung di tenggara, dan situs Sedah atau Yoni Japanan di barat daya.
Batas-batas itu membentuk bidang persegi ukuran 11 x 9 kilometer, meliputi Kecamatan Trowulan dan Sooko di Mojokerto serta Kecamatan Mojoagung dan Mojowarno di Kabupaten Jombang. "Seharusnya Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan menyadari itu," kata Daud.
Namun arkeolog yang juga Kepala Tata Usaha Balai Pelestarian Cagar Budaya, Trowulan, Danang Wahyu Utomo mengatakan hingga kini belum ada peraturan khusus yang menetapkan Trowulan sebagai kawasan cagar budaya. Balai Pelestarian Trowulan, kata Danang, sudah lama mengusulkan penetapan itu berdasarkan kajian ahli sejak 30 tahun lalu. Tapi pengajuan itu belum dijawab hingga kini. "Selama belum ada penetapan, kami tidak bisa melarang apa-apa."
Pernyataan Danang dibantah Deddy dkk. Trowulan sebagai kawasan cagar budaya, kata Deddy, telah disebut dalam sejumlah peraturan. Di antaranya Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2012 tentang Tata Ruang Pulau Jawa-Bali, Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tentang Rencana Strategis Kementerian 2010-2014, dan Peraturan Daerah Jawa Timur Nomor 5 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi 2011-2031.
Dalam peraturan daerah itu disebutkan Trowulan sebagai kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan. Perda itu juga menentukan kegiatan, pemanfaatan, dan pendirian bangunan yang dibolehkan hanya untuk pendidikan, penelitian, dan wisata. Sedangkan kegiatan yang dilarang adalah yang bisa mengubah, mengganggu, atau merusak peninggalan sejarah dan bangunan arkeologis.
Aturan itu sepertinya tidak digubris. Dasarnya adalah surat bertanggal 18 Juli 2012 yang dikeluarkan Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Aris Soviyani atas pertanyaan PT Manunggal mengenai peninggalan arkeologis di kawasan itu. Aris menyatakan lahan itu berada di luar wilayah pelestarian utama situs Gapura Wringin Lawang. Aris menampik jika suratnya dianggap rekomendasi. "Hanya penjelasan, kami tidak berhak memberi izin," katanya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Mojokerto Ketut Ambara, melalui Lutfi, mengatakan persetujuan pendirian pabrik telah mempertimbangkan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah. Menurut Lutfi, sebelum dibeli Manunggal, lahan itu bekas penggilingan padi milik PT Pembangkit Ekonomi Desa. "Sesuai dengan surat Balai Pelestarian, lahan itu tidak termasuk cagar budaya. Termasuk kawasan industri," ujar Lutfi.
Daud menyayangkan langkah lamban otoritas kepurbakalaan di Trowulan. Menurut dia, Balai Pelestarian seharusnya tidak hanya menunggu penetapan. "Semestinya proaktif melindungi kawasan itu dan mempertimbangkan tata ruang."
Sebelum izin dikeluarkan, pemilik usaha harus mengecek tinggalan arkeologis. Pengecekan merupakan bagian dari analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Amdal juga meliputi penelitian dampaknya terhadap masyarakat. Penolakan masyarakat terhadap pabrik baja itu, kata Daud, membuat legalitas amdal pabrik baja itu layak dipertanyakan.
Adapun Direktur PT Manunggal Sentral Baja Sundoro Sasongko tidak bisa dimintai konfirmasi mengenai masalah ini. Tempo tak berhasil menemuinya di kantornya. "Jarang ngantor di sini. Kantornya di Mojokerto, masih dibangun," kata Siti, resepsionis PT Sinar Energy, perusahaan yang satu grup dengan Manunggal Sentral Baja, di bawah naungan Manunggal Sejati Group. Si bos, kata Siti, sedang berada di Singapura.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Mojokerto Afandi Abdul Hadi mengaku belum tahu skala dan dampak industri pabrik baja itu dengan dalih dokumennya masih berada di Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal. "Jika dokumen sudah kami terima, baru bisa dipastikan, termasuk industri ringan atau berat."
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kacung Marijan telah berkali-kali meminta pembangunan pabrik itu dihentikan. Menurut dia, kawasan yang diduga sebagai cagar budaya tidak boleh diperlakukan sembarangan. Bupati diminta tidak hanya memikirkan investasi. "Cagar budaya itu tak ternilai harganya, bisa lebih besar daripada nilai investasi."
Penduduk setempat yang tergabung dalam Lembaga Adat dan Budaya Majapahit pesimistis keberatan mereka didengar pemerintah daerah. "Kami akan mengirim surat somasi ke Kementerian Pendidikan, DPR, dan Badan Pertanahan Nasional," ujar Ketua Lembaga Adat dan Budaya Majapahit Agus Purwanto. Lembaga ini akan menggalang dukungan dari pencinta budaya Nusantara dan kerabat keraton se-Indonesia. Kacung pun mengancam, "Jika pembangunan dilanjutkan, akan menimbulkan implikasi hukum."
Endri Kurniawati, Agita Sukma Listyanti, Ishomuddin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo