Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Aceh Meredam Isu

Untuk pertama kalinya aceh merayakan ulang tahunnya yang ke-31. belum dipopulerkan di masyarakat. adanya penyerbuan dari sekelompok orang bukan karena tujuan politis tapi bermotif kriminalitas.

2 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAIN dari biasanya. Sabtu pekan lalu, semuanya yang hadir di gedung DPRD Aceh itu berpakaian adat lengkap, termasuk rencong di pinggang. Tampak bukan hanya para wakil rakyat di "Serambi Mekah" saja, juga Gubernur Ibrahim Hasan, para pemangku adat, serta pejabat provinsi. Dalam sidang istimewa DPRD di Banda Aceh itu, mereka mengikuti perhelatan hari ulang tahun Provinsi Aceh, yang 31 tahun silam diresmikan sebagai daerah istimewa. Maka, maklumilah kalau pakaian adat tersebut menguak muncul. Pasalnya, salah satu dari tiga "keistimewaan" yang berlaku di Aceh adalah perihal adat. Sedangkan dua yang lain yaitu otonomi di bidang agama (Islam) dan pendidikan. Namun, semaraknya acara dalam gedung DPRD tadi tidak bergema di bagian ibukota provinsi di ujung paling barat republik ini. Rupanya, acaranya belum saatnya dipopulerkan kepada masyarakat luas. "Kami mencobanya bertahap, karena selama 31 tahun, belun pernah dirayakan," kata Ibrahim Hasan. Profesor dan eks rektor Universitas Syah Kuala ini memahami kekhasan perilaku warganya. Mereka, terkadang, mudah bereaksi terhadap perubahan mendadak. Belakangan, bahkan ramai beredar isu seolah Aceh "bergolak". Ini terutama dikaitkan dengan kejadian sebelumnya, seperti ada pos aparat keamanan diserbu sehingga jatuh korban, dan senjata api petugas direbut. Walhasil, di belakang semua itu disangka berunsur politis. Makanya, isu tersebut dibantah Gubernur. "Mana ada lagi GPL. Paling-paling yang muda ada tiga, dan puluhan yang tua yang tak mampu berbuat apa-apa lagi," kata Ibrahim Hasan kepada Sarluhut Napitupulu dari TEMPO. GPL maksudnya adalah "Gerakan Pengacau Liar" -- sebutan yang biasa digunakan untuk kelompok gerakan separatis Hasan Tiro yang konon kini melanglangbuana di sebuah negara di Eropa. Motif berbagai peristiwa penyerbuan terhadap aparat keamanan itu, kata Gubernur, semata-mata kriminalitas biasa. "Pelakunya orang-orang yang desersi dan ada yang dipecat dari ABRI. Mereka mengerti menggunakan senjata," katanya. Hampir mirip dengan yang dikemukakan Gubernur, ada tambahannya dari Kolonel Muhammad Chan, Komandan Resimen 012/Teuku Umar. Ia membawahkan Kabupaten Aceh Besar, Banda Aceh, Aceh Tengah, Aceh Selatan, dan Kota Madya Sabang. "Motif penyerangan mereka itu ekonomi, karena periuk nasinya terganggu oleh operasi nila," katanya. Operasi Nila dua bulan lampau, berhasil memberantas ladang ganja di Aceh. Aparat keamanan memusnahkan 67,6 hektare ladang ganja, dan menangkap 129 tersangkanya. Sehabis pemberangusan itu muncul beberapa gangguan. Misalnya, Ahad lalu, pembunuhan terhadap Muhammad M. alias Cikut. Anggota DPRD Kabupaten Aceh Utara ini ketika dalam perjalanan pulang ke rumahnya, mobilnya disalip empat orang yang bersepeda motor. Ia ditembak di dadanya. Pada hari yang sama, seorang penjual jamu di sana juga ditemukan tewas tergorok. Tapi ini bukan berarti sedang suasana perang. Menurut Kolonel Muhammad Chan, situasi di Aceh sekarang aman dan terkendali. Sebagai bukti, Mayor Jenderal Djoko Pramono di Medan menunjuk fakta. "Tak ada satu pun angkutan bis ke Aceh yang menghentikan operasinya. Semuanya berjalan normal," kata Pangdam I/Bukit Barisan itu. Yang membuat keadaan merisaukan agaknya, karena beredarnya berbagai isu. Bahkan markas aparat keamanan tidak terlepas dari teror isu. Menurut sebuah sumber, ada juga upaya mengadu domba antara sesama aparat keamanan. Yaitu dengan menelepon markas polisi, dan mengaku berasal dari markas batalyon Lintas Udara (Linud). Si penelepon menuduh polisi menembak prajurit kesatuan itu. Di saat yang sama seseorang mengaku anggota polisi berbuat kebalikannya dengan menelepon ke markas batalyon tersebut. Tapi setelah dicek, terbukti "persoalannya" palsu. Itulah sebabnya Kolonel Sofian Effendi, Komandan Resimen 011/Lilawangsa di Lhokseumawe, mensinyalir ada pihak yang sengaja menyebarkan isu seolah keamanan di wilayah Aceh rapuh. "Karena itu, kami mengimbau masyarakat agar jangan mempercayai begitu saja pada isu tak berdasar tersebut," ujarnya. Perwira menengah baret merah ini bertanggung jawab atas keamanan wilayah Kabupaten Aceh Utara, Pidie, Aceh Timur, Aceh Tengah, dan Aceh Tenggara. Di wilayah resimen inilah tempat lima industri raksasa berada, termasuk kilang LNG Arun. Karenanya, menurut Kolonel Sofian Effendi, penjagaan keamanan dilakukan dengan lebih peka. "Kami tidak mau ambil risiko, karena di sini banyak proyek vital," katanya, seperti dikutip Antara. Keberadaan proyek vital itu kadangkala mengundang gejolak sosial. Sebab, biasanya, masuknya unsur kehidupan "modern" itu tak selalu diterima masyarakat di sana dengan tangan terbuka. Contohnya, muncul kompleks WTS dan ramainya kedai yang menjual minuman keras. Di pihak lain, secara ekonomis kehadiran proyek raksasa itu menguntungkan Aceh. Ibrahim Hasan mengatakan, 75% dari kehidupan Aceh bergantung kepada Aceh Utara. Akibatnya, wilayah yang diibaratkannya seperti "gula" ini segera menarik banyak semut, termasuk meningkatnya kriminalitas. Fakta belakangan ini sering muncul di Aceh Utara atau Timur memperkuat dugaan Gubernur tentang motif kriminalitas para pelakunya. Dari segi nonmiliter, pemerintah daerah juga melakukan upaya. Apalagi dengan tahun ini, Aceh memperoleh dana pembangunan 450 milyar rupiah, atau empat kali lipat dari anggaran sebelumnya. Dengan anggaran tersebut, Gubernur berharap dapat menjalankan sejumlah proyek membangun daerahnya yang selama ini terisolasi. Walhasil, ini mempersempit kesenjangan sosial yang acap menjadi akar gejolak . Memadamkan keresahan agaknya tidak bisa hanya dilakukan dengan bedil belaka. Di tangan yang lain diperlukan pula "gula" yang memang manis. BHM, Mukhlizardy Mukhtar (Jakarta), dan Irwan W. Siregar (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus