DUA lelaki muda itu berserban, memakai jubah cokelat, memelihara jenggot, tak berkumis. Mereka duduk menghadapi pesawat video. Di layar tampak pembacaan puisi tentang proses penciptaan manusia. Sinar laser yang merah-biru-bergumpal-meledak-memancar-membara berkebyaran untuk kemudian memunculkan bentuk janin. Sebuah "pameran Islam" cara mereka. "Kami berusaha mengamalkan Islam dalam berbagai segi. Kami pelajari teknologi, kami bertani, kami menyelenggarakan pendidikan, kami menggiatkan produksi " kata Amal Arifin, salah seorang dari mereka. Amal adalah Ketua Yayasan Al-Arqam Indonesia. Sebagai tokoh Al-Arqam, ia getol "mendakwahkan" organisasinya. Sekarang, kesibukannya tadi bertambah: ia juga harus menepis gambaran buruk tentang Arqam. Maka, ia membawa-bawa rekaman video itu, menjelaskan soal Arqam. Nama Arqam menjadi berita sejak pekan lalu. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bukittinggi, Sumatera Barat, baru membahas Aurad Muhammadiyah, buku pegangan Arqam. Disimpulkan, buku itu dianggap menyimpang dari Islam. Maka, Badan Koordinasi Pengendalian Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) Bukittinggi pun melarang buku dan ajaran Aurad Muhammadiyah. Aparat di Padang pun menyusul menindak serupa. Mereka juga menutup sebuah toko milik Arqam, "karena tak memiliki Surat Izin Tempat Usaha." Kemudian MUI dan Bakor Pakem tingkat Sumatera Barat memperkuat sikap itu. Sesat? Para ulama tak mengatakan demikian. Namun, di kalangan umum tersiar anggapan: MUI Sumatera Barat melarang Darul Arqam, sebutan panjang Arqam. Suara pro dan kontra pun bermunculan. Mulanya sekitar enam bulan lalu. Tujuh pemuda berjubah muncul di Padang mengendarai Toyota Hardtop. Mereka mendatangi berbagai kantor pemerintah dan tokoh masyarakat: Gubernur Hasan Basri Durin, Wali Kota Syahrul Udjud. para ulama, pejabat perguruan tinggi, dan kemudian membuat "Pameran Kebudayaan Islam" di pekarangan Masjid Al-Azhar Air Tawar. Para pemuda Arqam tadi menyebar brosur. Juga memperlihatkan foto-foto kegiatan mereka di Malaysia -- negeri asalnya -- dan di beberapa kota Eropa. Mereka pun memajang foto saat mereka bertemu dengan Menteri Fuad Hassan, Azwar Anas, dan Munawir Sjadzali di Jakarta. Mereka lalu menyewa sebuah rumah yang kemudian mereka sebut Wisma Arqam. Ahmad Yani, seorang asal Pariaman yang lebih banyak berada di Jakarta, memimpin "kantor cabang" itu. Tak ada kursi tamu, tapi ada rak buku, pesawat video dan kasetnya, serta rehal di hadapan guru yang duduk memberi pengajian. Di dinding ditempel doa ajaran Muhammad Suhaimi, pendiri Arqam, serta potret Ashari Muhammad, "Syekhul Arqam" sekarang. Sehari-hari, suasana rumah itu nampak sepi. Dua kali seminggu, banyak anak muda berkunjung, kebanyakan pelajar SMTA dan mahasiswa. Ada di antaranya yang berserban, bercadar, ada pula berpakaian biasa. Mereka mendengarkan orang berjubah itu berceramah, mendengar kaset, menonton video. Yakni tentang cara anggota Arqam beribadah dan beramal. Di Bukittinggi juga banyak pemuda menghadiri ceramah Arqam. Di antara mereka ada yang "kurang pas" dengan Arqam. Mereka bertanya pada H. Syamsyudin, Ketua MUI setempat. Buya minta agar pemuda itu terus mengikuti pengajian Arqam, sampai ia mendapat buku Aurad Muhammadiyah. Buku itu difotokopi, disebarkan pada sejumlah ulama. Hasilnya: pelarangan tadi. "Banyak yang bertentangan dengan Quran," kata Buya Syamsyudin. Antara lain bahwa ajaran itu diterima langsung oleh Syekh Muhammad Suhaimi, warga Malaysia keturunan Wonosobo, Jawa Tengah, yang mereka yakini sebagai Imam Mahdi, dari roh Nabi Muhammad. Pertemuan itu, kabarnya, terjadi dalam Ka'bah lewat tengah malam saat almarhum Suhaimi terjaga. Juga bahwa tokoh itu dianggap macam santo dalam Katolik. Buku itu, kata Syamsyudin, mengajarkan agar umat ber-tawasul pada Suhaimi. Artinya. menjadikan Suhaimi perantara dalam berdoa dengan cara menyebut namanya. Bagi banyak ulama, soal tawasul, Imam Mahdi, dan pertemuan dengan roh Muhammad dianggap "bertolak belakang dengan ajaran Islam". Namun, pada berbagai kelompok eksklusif, pandangan begini justru "keyakinan wajib". Tak terkecuali pada Arqam. Inilah yang tampaknya pangkal persoalan di Sumatera Barat, selain yang oleh Amal disebut "kurangnya komunikasi sosial saja". Tapi banyaknya minat kalangan muda terhadap Arqam tampaknya karena programnya. Arqam mengajak para sarjana bekerja nyata: membuka ladang, beternak, menghidupkan industri ringan seperti membuat sabun, sampo, kecap, sambil meningkatkan iman. Bagi banyak pemuda, kehadiran Arqam seolah menjawab kebingungannya akan masa depan. "Banyak sarjana muslim menghabiskan umur menunggu eska pengangkatan pegawai negeri. Saya tak tahan menunggu," kata Ali Hanafiah, anggota Arqam. Ali pun membutuhkan pegangan spiritual sederhana. Yakni "pemahaman Islam yang telah dirumuskan oleh seseorang". Arqam memenuhi kebutuhan kalangan itu. Jadi, ya, harap maklum. ZU, Priyono B.S. (Jakarta), Bersihar Lubis (Palembang), Fachrul Rasyid (Padang), dan E.H. Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini