"SAYA ini NU-nya K.H. Hasyim Asy'ari," kata Kiai As'ad Syamsul Arifin, 94 tahun, kepada wartawan TEMPO M. Baharun, yang menemuinya di Situbondo, Minggu pekan lalu. Dengan kata-kata itu, tampaknya As'ad, pimpinan Pondok Salafiyah Syafiiyah yang terkenal itu, ingin menegaskan bahwa ia masih tetap menjadi orang NU, tapi tak mengakui kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Ketua PB NU dalam muktamar di Krapyak, Yogyakarta, November 1989. Sejak itulah As'ad menyatakan dirinya mufaraqah (memisahkan diri) dari NU. Menjelang muktamar itu, secara terbuka Kiai As'ad sudah menyatakan keberatan kalau Abdurrahman Wahid -- biasa dipanggil Gus Dur -- dipilih kembali sebagai Ketua PB NU. Soalnya, antara lain, ia keberatan pada pernyataan Gus Dur yang memperbolehkan mengganti "assalamualaikum" dengan selamat pagi, selamat sore, dan sebagainya. Selain itu, ia tak bisa menerima pernyataan Gus Dur bahwa Islam perlu ditambah dengan keadilan sosial. Upaya kelompok Gus Dur untuk rujuk dengan Kiai As'ad seusai muktamar rupanya belum berhasil. Tapi, anehnya, beberapa hari sebelum pengurus PB NU (hasil muktamar) menghadap Presiden Soeharto, 26 Maret 1990, nama Kiai As'ad tercantum dalam daftar nomor satu dari sembilan pengurus mustasyar (penasihat) PB NU. Dalam keputusan PB NU itu, diangkat pula sebagai mustasyar beberapa tokoh tua NU lainnya seperti K.H. Masjkur, K.H. Anwar Musaddad, dan K.H. Idham Chalid. Pencantuman nama Kiai As'ad dalam mustasyar, menurut Abdurrahman Wahid kepada TEMPO, sudah tak ada soal. "Saya dikasih tahu bahwa beliau sudah bersedia duduk. Kami kan sudah menugasi orang untuk menghubungi Kiai As'ad," ujar Gus Dur, sembari menyebut nama para pengurus PB NU yang ditugasi untuk itu, antara lain Yusuf Hasyim, Munasir, Fahmi D. Syaifuddin, dan Hasyim Latief. Lantas menjelang pertemuan dengan Presiden itu, Fahmi D. Syaifuddin mengecek kesediaan Kiai As'ad. "Ternyata, laporannya, Kiai As'ad bersedia. Ya sudah, namanya kami cantumkan," kata Gus Dur. Kepada TEMPO, Fahmi D. Syaifuddin menceritakan pertemuannya dengan Kiai As'ad di Situbondo, 24 Maret 1990. Setelah berdiskusi beberapa jam (menjelang subuh sampai pukul 07.00 pagi), menurut Wakil Ketua PB NU itu, As'ad tak lagi mufaraqah. "Tadinya Kiai Masjkur juga menolak duduk, tapi setelah saya yakinkan, beliau bersedia," kata Fahmi. Maka, kesediaan Kiai As'ad itu ia sampaikan kepada para pengurus PB NU lainnya, sebelum mereka menghadap Presiden. Benarkah? "Ente mengerti arti mufaraqah apa nggak? Ngerti talak? Ini talak tiga. Artinya, baru bisa rujuk kalau sudah nikah dulu dengan orang lain," ujar Kiai As'ad, membantah cerita versi Fahmi itu. Dengan keras sang Kiai menyangkal kepengurusan mustasyar itu sudah dimusyawarahkan dengan dia. "Tanya dulu mereka itu, apakah sudah bermusyawarah dengan saya. Tanya dulu, apakah mereka sudah mendapat persetujuan saya," katanya. Yang jelas, susunan pengurus mustasyar itu -- termasuk nama Kiai As'ad -- sudah dilaporkan oleh pengurus NU kepada Presiden dalam pertemuan Maret lalu. Tapi Fahmi D. Syaifuddin membantah bahwa keterlambatan mereka diterima Presiden karena belum beresnya soal Kiai As'ad. "Itu anggapan yang salah. Keterlambatan itu bukan karena menunggu Kiai As'ad bergabung, tapi hanya karena Presiden baru memberi waktu saat itu," katanya. Amran Nasution, Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini