DI kota, orang mesti bayar bila mau lewat jalan tol. Di desa, nantinya, --petani harus bayar agar air lewat di sawahnya. Sistem yang mewajibkan petani membayar air untuk sawah itu disebut iuran pelayanan irigasi, disingkat ipair. Sistem ipair yang diperkenalkan Pemerintah, tak lain, untuk mengumpulkan dana guna mengembangkan dan memelihara jaringan irigasi untuk lahan pertanian. Sebetulnya, pungutan atau iuran irigasi semacam itu, secara tak seragam, sudah ada di beberapa daerah. Salah satu berbentuk P3A (Persatuan Petani Pemakai Air). Setoran petani, ada yang berupa gabah atau uang. Hasilnya sering hanya cukup untuk membayar petugas pembagi air. Dengan cara itu pun petani belum tentu memenuhi kewajibannya membayar. Banyak yang menikmati fasilitas irigasi gratis. Memang, menurut catatan Ditjen Pengairan, lahan pertanian yang diairi oleh irigasi cukup luas, sekitar 5,5 juta hektare. Dan dana yang dibutuhkan untuk perawatan dan peningkatan irigasi setiap hektarenya Rp 30.000 setahun, lebih tinggi dari tarif PBB. Padahal, "Sumber dana untuk sektor irigasi, dari tahun ke tahun terus menurun," kata Dirjen Pengairan, Ir. Subandhi WS. Memang penyelenggaraan proyek ini diserahkan kepada pihak Ditjen Pengairan Departemen PU. Namun, pelaksanaan teknis di lapangan untuk ipair nantinya akan diserahkan kepada Ditjen PUOD, Departemen Dalam Negeri. Di tingkat daerah, pemungutan iuran itu dilakukan oleh sebuah tim yang diketuai oleh bupati. Menjelang pelaksanaan proyek ipair, Ditjen Pengairan telah melakukan serangkaian survei dan proyek uji coba. Empat kabupaten, Subang (Ja-Bar), Sukoharjo (Ja-Teng), Nganjuk (Ja-Tim), dan Sidrap (Sul-Sel) dijadikan pilot project sejak Maret lalu sampai akhir 1993. Survei dan uji coba yang dilakukan di Kabupaten Sukoharjo, yang dimulai Maret tahun ini, bisa berjalan dengan mulus. Uji coba dilakukan di tiga kecamatan yakni Grogol, Baki, dan Wonosari. Ketiganya dilewati saluran irigasi Jumenengan. Sawah yang diairi 1.100 hektare meliputi 3.244 petani penggarap dari 20 desa. Dalam uji coba itu, setiap hektare lahan pertanian yang dialiri irigasi dipungut biaya Rp 13.000 setiap tahunnya. Pemungutan ipair dilakukan oleh P3A. Uang kemudian diserahkan ke bendahara kecamatan. Iuran itu kemudian disetorkan ke Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kabupaten untuk disimpan di kas daerah. Dari musim tanam yang pertama yang lalu, terkumpul uang Rp 3 juta. Namun, tak semua iuran disetor ke kas. Sekitar 20 persen hasil pungutan disisihkan untuk P3A (15%) dan Dispenda sendiri (5%). Uang iuran yang terkumpul ini kemudian digunakan lagi untuk kepentingan petani sendiri. Misalnya, untuk merawat saluran yang rusak atau untuk meningkatkan kualitas saluran. Kebijaksanaan untuk menentukan alokasi dana yang terkumpul sepenuhnya diserahkan kepada Badan Musyawarah ipair yang diketuai bupati setempat. Petani yang memanfaatkan irigasi menyambutnya dengan gembira. Mereka tak perlu lagi berebut dengan tetangganya di sawah. "Panen saya meningkat 10 persen setiap hektarenya," kata Sastrowiyogo, petani pemilik sawah (dari Kecamatan Grogol. Tapi, bagi petani yang hanya punya lahan sepetak atau menyewa, iuran itu terasa memberatkan. "Hasil yang saya dapat hanya separo. Tapi, daripada diisolir oleh teman-teman, lebih baik saya bayar saja," kata Hartosumito. Mestinya, dari uji coba yang dilakukan sekarang ini, Ditjen Pengairan tak hanya terfokus pada berapa banyak dana yang terkumpul. Dan lagi, ipair untuk petani sangat ditentukan oleh jenis sawah dan kemampuan petani. Rustam F. Mandayun (Jakarta), dan Bandelan Amarudin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini